Dunia maya kembali dihebohkan dengan munculnya sosok konten kreator muda OnlyFans bernama Dea. Ia dikenal lantaran aktivitasnya menjual konten-konten seksi atau topless di aplikasi OnlyFans. Melalui aplikasi terbsebut, ia meraup pendapatan belasan juta rupiah. Hal tersebut ia sampaikan dalam podcast Dedy Corbuzier beberapa waktu lalu.
OnlyFans adalah semacam platform yang dapat digunakan untuk menjual konten-konten tertentu kepada publik. Biasanya, konten tersebut berupa foto atau video. Namun, oleh sebagian orang, platform tersebut juga digunakan untuk menjual foto atau video yang bermuatan pornografi. Hal ini bukan rahasia umum, beberapa studi pun telah mengkonfirmasi jika aplikasi tersebut memang dijadikan sebagai sarana transaksi seksual (Umbara & Purwati, 2020).
Baca juga:
Dalam peredarannya di Indonesia, aplikasi tersebut belum dapat diakses melalui market aplikasi resmi, namun bisa mengaksesnya melalui VPN. Hingga saat ini, OnlyFans memiliki pengguna sekitar 30 juta lebih yang tersebar di seluruh dunia. Sebetulnya, sudah banyak aplikasi yang beredar di Indonesia yang memiliki karakter serupa, terutama dalam fungsinya menjadi tempat transaksi seksual.
Dalam podcastnya bersama Dedy tersebut, Dea mengatakan jika apa yang ia lakukan bukan karena keinginannya untuk mencari uang (karena uang sakunya lebih dari cukup), akan tetapi karena ia memiliki hobi berfoto seksi dan melakukan serangkaian cosplay.
Sudah tentu apa yang dilakukan Dea pasti akan memantik respon publik. Tidak hanya mereka yang menjadi pengguna OnlyFans, melainkan juga yang menyaksikan dalam video podcast ataupun membaca beberapa pemberitaan seputar dirinya. Yang jelas, banyak respon negatif yang bermunculan.
Cinta Diri atau Komodifikasi?
Interaksi Dea dengan para pengguna OnlyFans dalam hal transaksi konten-konten seksi dan topless-nya adalah perwujudan nyata kuasa atas tubuh perempuan. Kuasa atas tubuh dapat dipahami sebagai otoritas penuh yang dimiliki sesorang terhadap tubuhnya dalam posisi tawar menawar atau negosiasi dalam sebuah relasi (Benedicta, 2015).
Hal ini, bila merujuk Foucault, dikarenakan pada dasarnya kekuasaan tidaklah dimiliki, melainkan dipraktikkan baik untuk tujuan konstruktif ataupun sebaliknya. Kuasa atas tubuh menjadi agenda penting yang hendak diwujudkan serta ditegakkan oleh gerakan feminisme pada umumnya. Hal ini mengingat posisi perempuan yang cenderung subordinatif atau dianggap sebagai kelompok kelas dua setelah laki-laki.
Baca juga: Masturbasi dalam Jerat Kekuasaan
Belakangan ini, kuasa atas tubuh seringkali diasosiasikan dengan tindakan ekspresif perempuan, salah satunya dalam bentuk “self-love.” Self love atau cinta diri adalah cara-cara yang ditempuh manusia dalam usaha untuk menerima dirinya sendiri secara utuh berdasarkan pada lingkungan sosial budaya. Wacana tersebut semakin menguat di Indonesia ketika Tara Basro mengunggah foto terbuka yang memeluk dirinya sendiri beberapa tahun silam. Foto itu memperlihatkan bagian tubuhnya yang kurang sempurna (menurutnya) sebagai bentuk penerimaan sepenuhnya atas kekurangan dirinya. Setalah itu, banyak perempuan melakukan hal serupa untuk mengekspresikan cinta terhadap dirinya.
Namun, tidak sedikit perempuan yang terjebak dalam pemahaman yang keliru mengenai self love. Ketimbang dijadikan upaya ekspresif untuk mencintai diri sendiri, self love cinderung dijadikan dalih untuk melakukan hal-hal yang kontraproduktif terhadap tujuan mulanya. Misalnya seperti ini: dikarenakan adanya semacam ketidakpuasan akan dirinya sendiri, mereka akan mengunggah foto-foto vulgar tubuhnya ataupun konten topeless ke media sosial, baik dengan akun pribadi ataupun samaran untuk mencari semacam validasi bahwa tubuhnya sempurna dan layak dipuji. Selepas mendapatkan pujian dalam proses interaktif, mereka tergiur melakukan hal yang lebih jauh, yakni dengan menkomersialisasikan konten-kontennya (Purwanti, 2020). Bahkan, beberapa dari mereka melakukan open BO. Hal serupa juga dapat dilihat dalam kasus Dea yang terjun dalam OnlyFans atas dasar hobi. Dapat dipahami pula jika hal tersebut merupakan perwujudan bentuk cinta dirinya akan hobinya melakukan poto-poto seksi dan cosplay.
Ketimbang dilihat sebagai kuasa tubuh untuk melakukan self love, fenomena ini lebih layak dianggap sebagai bentuk upaya komodifikasi diri sendiri (self-commodification). Tindakan memposting konten diri sendiri yang menjurus ke arah pornografi dan menjadikan komoditas untuk diperjualbelikan adalah kuasa atas tubuh yang bersifat destruktif dan juga kontraproduktif terhadap agenda gerakan feminisme. Pada satu sisi, segenap kekuatan dikerahkan untuk mencapai kesetaraan gender dengan menjamin kuasa tubuh dan melawan objektifikasi serta komodifikasi. Pada lain sisi, perempuan secara sadar melakukan objektifikasi dan komodifikasi atas dirinya sendiri.
Baca juga: Kamu Benci Feminisme Karena Ketidaktahuanmu
Dalam hal ini, kita harus bersepakat jika perempuan bukanlah komoditas. Marx mengungkapkan jika komoditas adalah sesuatu di luar manusia yang berfungsi memenuhi kebutuhan manusia. Komoditas memiliki nilai pakai dan nilai sosial untuk dipertukarkan (diperjualbelikan). Ini artinya, upaya menjadikan perempuan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan, baik secara langsung ataupun dengan konten-konten pornografi, adalah tindakan yang patut dikecam. Hal ini bukan karena tidak sesuai norma ataupun budaya timur, melainkan telah merenggut kehormatannya sebagai manusia.
Dalam rangka memperjuangkan keadilan yang transformatif, terang saja jika kuasa atas tubuh harus diarahkan untuk memproduksi kekuasaan yang konstruktif. Terlebih mereka melakukan hal tersebut karena murni pilihan. Berbeda dengan mereka yang melakukan hal serupa karena keterbelakangan ekonomi. Dalam hal ini, mereka tidak memiliki pilihan, sehingga mereka terampas kuasa tubuhnya dan terkomodifikasi oleh situasi. Meskipun demikian, tindakan yang merampas kuasa tubuh dan mengkomodifikasi perempuan harus ditentang. Jika situasi ekonomi yang menyebabkan hal itu, maka tiada pihak lain yang patut ditentang dan dituntut selain negara yang telah gagal menjamin hak ekonomi warganya.
Mencuatnya fenomena Dea di dunia maya adalah momentum untuk membangun narasi sehat mengenai konsep kuasa atas tubuh perempuan yang konstruktif. Dan, meluruskan pemaknaan-pemaknaan miring terhadap tindakan ekspresif “self love” yang terdistorsi ke arah komodifikasi diri sendiri.