Di sebuah forum internet, saya membaca pengakuan seseorang yang selalu merasa bersalah setelah melakukan masturbasi, meskipun beberapa hari ke depan dia akan mengulangi aktivitasnya tersebut. Bagaikan repetisi abadi, siklus itu selalu berputar tanpa henti. Di satu sisi, masturbasi memiliki efek candu. Di sisi lain, masturbasi menyebabkan overthinking dan perasaan bersalah yang amat mendalam. Dari banyak perbincangan saya bersama kawan pun masturbasi dianggap memiliki efek yang dominan untuk membuat seseorang terjerembab dalam kungkungan perasaan malu dan bersalah.
Membicarakan persoalan ini mengingatkan saya pada anggapan masturbasi sebagai aktivitas yang menyimpang. Kepercayaan Yahudi adalah aliran pertama yang menganggap masturbasi atau onani sebagai bentuk penyimpangan. Hal ini muncul dari kisah Onan dalam Kitab Genesis 38:7-10, yang mengungkapkan alasan kematiannya secara tiba-tiba. Dikisahkan Onan—seorang pemuda yang merupakan putra kedua Yehuda dari Bani Israil—yang diperintahkan untuk menikahi istri kakaknya yang telah menjadi janda. Onan tidak bisa menolaknya, sebab hukum pernikahan yang disebut sebagai “hukum pernikahan levirat” itu mengharuskan bagi adik laki-laki untuk menikahi janda dari kakaknya yang sudah meninggal tanpa meninggalkan seorang anak. Dalam hukum pernikahan ini, keturunan yang dibuat oleh Onan nantinya tidak dianggap sebagai anaknya, namun menjadi milik kakaknya yang sudah meninggal tersebut. Walhasil, setiap melakukan hubungan seksual, Onan selalu membuang spermanya agar tidak berujung kehamilan pada mantan istri kakaknya tersebut. Pada akhirnya, Tuhan membunuh Onan. Sebagaimana dalam Kitab Genesis 38:10, bahwa apa yang dilakukan Onan merupakan sesuatu yang jahat di mata-Nya, maka Dia membunuhnya.
Sampai sekarang, masturbasi atau onani dianggap sebagai sesuatu yang menggelikan, memalukan, dan tidak wajar. Bahkan perbincangan umum seputar masturbasi menjadi topik yang tabu untuk dibicarakan. Meskipun sebagian besar orang melakukannya, namun kenyataan tentang pernah atau tidaknya masturbasi adalah sesuatu yang memalukan bagi diri sendiri. Sementara seorang laki-laki merasa bangga karena berhasil memanipulasi kekasihnya untuk berhubungan seks yang tidak bertanggung jawab; atau ketika menceritakan pengalamannya saat berpura-pura tidak sengaja menyentuh payudara seorang perempuan di sekolahnya.
Masturbasi menjadi topik yang paling tidak wajar sekaligus memalukan untuk disadari, dan seseorang lebih merasa bangga jika bisa melakukan pelecehan dengan melanggar otoritas tubuh orang lain. Padahal, jika kita memiliki otoritas atas tubuh sendiri, mengapa perlu merasa bersalah setelah bermasturbasi? Apa dasar epistemologis yang membuat masturbasi dianggap sebagai aktivitas yang memalukan, tidak wajar, dan menyimpang?
Baca juga: Pornografi sebagai Industri, Pornografi sebagai Bahasa
Pada masa kekuasaan Victoria (1837-1901), masturbasi dianggap sebagai penyebab utama dari kemunduran Britania Raya. Kebencian rezim Victoria pada masturbasi ini dilegitimasi oleh kemunculan wacana-wacana ilmiah sehingga orang-orang mulai berpikir untuk mencari cara mengatasi kebiasaan “buruk” itu. Bahkan wacana tentang buruknya masturbasi semakin diperkuat oleh legitimasi religius yang turut mendorong argumen bahwa masturbasi adalah aktivitas yang tidak senonoh—sebuah degradasi moral yang menyebabkan banyak permasalahan, seperti kesehatan, sosial, politik, bahkan ekonomi.
Menurut Foucault, masyarakat borjuis pada masa-masa awal modern berusaha untuk merepresi dan melumpuhkan hasrat seksual. Bahkan pada pertengahan abad 18, muncul kampanye untuk melawan masturbasi ini. Pada masa itu, Eropa sedang dilanda suatu wabah, yakni masturbasi anak-anak. Di sini kekuasaan menggunakan medium keluarga dalam melakukan sistem kontrol dan objektivikasi seksualitas. Meski akhirnya Sigmund Freud menemukan bahwa anak-anak memiliki kehidupan seksualitasnya sendiri, namun para orangtua tetap mengkhawatirkan bahwa aktivitas seksual yang dilakukan oleh anak dalam upaya mengenali tubuh dan seksualitasnya sendiri akan berdampak pada segala persoalan yang lebih serius. Foucault menyebutnya sebagai “psikiatrisasi kesenangan”, di mana strateginya adalah mempatologikan segala bentuk “seks untuk kesenangan” sehingga masturbasi dianggap menyimpang, tidak wajar, dan perlu untuk disembuhkan.
“Seks untuk kesenangan” sangat dilarang karena diskursus seksualitas barat modern abad 19 diorientasikan pada seks dengan tujuan pro-kreatif. Di sini kekuasaan menggunakan beragam wacananya untuk menyebarkan pengetahuan mengenai implikasi etis, moral, dan khususnya kesehatan. Munculnya otoritas-otoritas medikal semakin memperkuat intervensi ini—setidak-tidaknya dalam ranah pengetahuan. Hal ini berbeda dengan wacana seksualitas di Yunani Kuno, di mana masturbasi tidak ditolak berdasarkan kategori yang melekat—normal dan tidak normal—namun berdasarkan kuantitasnya, yakni tidak boleh berlebihan.
Wacana tentang buruknya melakukan masturbasi ini seakan-akan menjadi suatu kebenaran. Dalam kesehatan, efek buruk masturbasi banyak sekali dibicarakan oleh orang-orang, seperti kemungkinan mandul, disfungsi ereksi, impotensi, bahkan kerusakan otak. Mungkin sebagian besar orang yang mengamini wacana tersebut akan berusaha semaksimal mungkin untuk merepresi dan melumpuhkan hasrat seksualnya. Padahal efek-efek tersebut tidak berhubungan dengan aktivitas masturbasi yang dilakukan secara wajar. Wacana tadi hanyalah efek kekuasaan dalam bentuk mitos yang dianggap sebagai suatu kebenaran, apalagi setelah banyaknya informasi dan pembicaraan masyarakat seputar hal tersebut.
Baca juga: Kenapa Edukasi Seks Masih Tabu?
Roland Barthes dalam Mythologies mengemukakan bahwa mitos adalah suatu transformasi sejarah menjadi alam—segala konstruksi sosial yang “dialamikan”. Di sini mitos menjelma sebagai pengetahuan objektif, di mana orang-orang menganggap bahwa efek-efek buruk yang disebabkan oleh masturbasi merupakan sesuatu yang benar dan alami pada tubuh manusia.
Bagi saya, masturbasi adalah suatu upaya untuk menyetubuhi diri sendiri dan memberikan kenikmatan bagi tubuh sendiri. Melalui masturbasi, seseorang dapat menjelajahi sisi-sisi erotis pada tubuhnya. Di samping itu, masturbasi dilakukan sebagai upaya dalam mengenali seksualitas seseorang. Dia tidak memerlukan tubuh orang lain secara fisik untuk melakukan aktivitas seksual. Dia juga tidak perlu melanggar hak-hak orang lain untuk memuaskan hasrat seksualnya. Dia hanya perlu menciptakan orang lain dalam dunia rekaannya untuk meruntuhkan dunia itu sendiri dalam genggamannya.
Masturbasi menjadi alternatif bagi pemuasan hasrat oleh, dari, dan untuk dirinya sendiri. Pada dasarnya, masturbasi hanyalah aktivitas yang melibatkan diri sendiri, kondisi mental, dan imajinasi. Hal ini sangat mirip dengan kerja seni, seperti pelukis, penulis, atau pun pematung. Seorang pelukis yang hidup pada masa perang yang terlibat dalam berbagai tragedi dalam hidupnya, kemudian merefleksikan pengalamannya tersebut, dan memadukannya dengan imajinasinya sendiri akan menorehkan gagasan kreatifnya melalui sebuah kanvas. Ketika seorang pemuda yang hidup terkekang dibawah tirani seorang ayah, yang membuatnya jatuh menuju kecemasan dan keterasingan abadi, kemudian meleburkan dirinya dalam sastra, maka terbitlah Brief an den Vater (Surat untuk Ayah) oleh Franz Kafka.
Hal ini sama ketika seseorang melakukan proses internalisasi secara tidak langsung terhadap dunianya sehari-hari. Dengan kata lain, dia menyerap apa pun yang ditemuinya ke dalam lumbung ingatan terjauh–hingga ke alam bawah sadarnya. Abstraksi ini suatu saat mampu membangkitkan cinta erotisnya. Kemudian ia akan mencampurkan berbagai hasil kerja indranya untuk menciptakan perwujudan “orang lain” dalam imajinasinya. Citra orang lain hasil ciptaannya itulah yang membuatnya ereksi. Dia menjaga “perwujudan orang lain” itu untuk tetap mengelola hasratnya. Hingga akhirnya citra imajiner itu runtuh setelah puncak kenikmatannya berhasil direngkuh.
Sartre mengatakan, “…opera yang menakjubkan bermuara pada masturbasi.” Namun sayangnya opera yang menakjubkan itu harus lebur setelah muncul perasaan bersalah sekaligus malu pada diri sendiri. Anggapan tentang masturbasi sebagai sesuatu hal yang “memalukan” bagi diri sendiri adalah keberhasilan kekuasaan dalam mendisiplinkan tubuh.
Ketika seseorang merasa bersalah dan malu pada dirinya sendiri karena telah melakukan masturbasi—setelah kepuasan dicapai—di situlah kekuasaan beroperasi melalui kesadarannya.
Seperti kisah dalam bukunya Paulo Choelo, Sebelas Menit. Bahwa ada seseorang yang tak bisa merasakan ereksi saat sedang berhubungan seks, yang justru kenikmatannya itu hanya dirasakan saat masturbasi.