Membeli Kegilaan Baru di Tahun yang Baru
Persiapanku menjelang pergantian tahun lebih riuh dari kesiapanku menemui kematian,
aku sering mampir memesan harapan baru pada Tuhan di sisa kewarasanku,
ketimbang menjual dosa yang jatuh di atas sajadah yang telah tergadaikan,
sama sepertimu; aku membenci perenungan di atas segala perayaan.
Aku membeli banyak bekal melewati satu tahun satu malam;
segudang tawa di dalam segelas bir,
sejumput tangis di serak terompet yang satir,
dan sepotong penyesalan di atas sesuap daging bakar yang mulai getir.
Di malam pergantian tahun
aku lebih sibuk dari Tuhan yang katamu begitu sibuk mengabaikan doa-doa,
lebih pelupa dari sesepuh keluarga jika itu tentang dosa-dosa,
dan lebih lihai menebak takdir sendiri ketimbang ahli nujum paling huru-hara.
Aku kira, perayaan selalu mengabarkan harapan,
aku kira, perayaan selalu tentang kesedihan yang dikutuk menjadi kegembiraan,
ternyata aku malah membeli kegilaan baru,
yang kujual sendiri di tahun-tahun yang lalu.
(Malang, Desember 2021)
–
Aku Lupa Memberinya Judul
untuk: kawan perempuan yang sering kupanggil bro-Mardatilla.
Kau tahu isi kepalaku adalah batu. Dan seperti Maria, kau selalu berkata ‘biarlah’
namun orang-orang begitu memaksa membuat adonan kepalaku menjadi tanah—lembut dan lemah.
Kau tahu utuh tubuhku adalah barang pecah belah. Dan kau masih Maria yang selalu berkata ‘biarlah’
namun mengapa orang-orang begitu riuh memelukku seolah menginginkan siuh rohku.
Hari-hari berikutnya orang-orang bisa saja mengintip isi kepalaku, dan banyak dosa telah lahir di sana
tapi kau berkata; jika rumah jagal memiliki dinding kaca, semua orang akan menjadi vegetarian
entah sekarang kau Paul McCartney atau Maria, tapi samaranmu selalu membungkus detak jantungku
barangkali kau juga bukan di antara keduanya; tapi Tuhan yang sedang menyamar.
(Malang, Juni 2022)
–
Hari yang Membuatmu Tak Pernah Kembali
Diam-diam waktu mengetuk pintu kamarku malam itu
ia berbisik, “malam ini aku menunggumu menangis tanpa air mata.”
Aku terdiam. Lebih diam dari riam yang kehilangan suara jeramnya,
lebih sunyi dari malam yang dicuri keheningannya.
Diam-diam hari mengucilkanku di beranda keranda,
seperti sebuah kepulangan yang menuruti takdirnya,
seperti sepatah kata yang membuat pecah air mata;
ialah kematian.
Meski waktu memberi tahu kita apa yang terjadi
namun ia juga pandai mengemas misteri.
Aku menyerapahi hari yang membuatmu tak pernah kembali,
dan mengutuk diriku sendiri bagaimana cara menjadi Musa;
melompati hari-hari berbahaya tanpa menginjak lubang kuburanmu sendiri,
lalu menarikmu kembali dari pusara yang tak pernah kusiasati.
(Malang, April 2022)
–
Aku Bertemu Tuhan Dua Kali Sebelum Tidur
Sebelum tidur aku membayangkan yang tak bisa kurayakan, seperti:
apakah tetanggaku setiap hari menggunjingku sebelum menyanjungku dengan segenggam mawar di makamku nanti?
atau, berapa kali para orang beriman bertemu Tuhan sebelum gelap jatuh dipeluk pelupuk mata?
Sebelum tidur aku menghitung kerumitan melebihi rumus Helmlotz, seperti:
menimbang-nimbang seberapa ikhlas aku bertemu Tuhan sebelum tidur,
setelah kuingat-ingat rumus ikhlas; aku yang tak bisa menakar sebanyak apa berak dan kencingku sendiri seumur hidupku.
Dan,
sebelum tidur ternyata aku bertemu dua kali dengan Tuhan, seperti:
ini rahasia,
dan ini misteri.
(Malang, Juni 2022)
–
Cobalah Jadi Binatang Sekali Saja
Syarat utama jadi binatang bukanlah menyamar menjadi Vlad Tepes,
tetapi menyayangi hidup tanpa menghitung waktu yang sering memukulmu hingga apes.
Barangkali, kau tidak akan bisa; sebab ada waktu di dinding jantungmu, di pergelangan takdirmu, di nakas tempat kematian sementaramu tergeletak,
dan di mata para orang-orang pemberontak.
Pendulum-pendulum Ibnu Yunus telah menangkapmu dalam perangkap-perangkap kalender;
jadwal membanting tulangmu, waktu untuk makan malam atau ke bioskop bersama pacarmu,
juga waktu luang untuk membaca ulang nasibmu.
Begitu banyak kau muntahkan waktu dari kepalamu; membuang-buang waktu, mengulur-ulur waktu, mengatur waktu, membunuh waktu, memburu waktu, tepat waktu, pada waktunya, dan lain sebagainya.
Tapi di sekitarmu tak ada yang menghitung waktu,
Semut-semut tidak terlambat, domba-domba tidak melihat jam tangan untuk pulang ke kandang,
serta para rusa tidak ribut-ribut tentang hari ulang tahun yang telah lewat.
Hanya manusia yang mengukur waktu.
Hanya manusia yang mengingat detik-detik setiap pelik.
Itu sebabnya hanya manusia yang mengalami ketakutan-ketakutan hebat; takut kehilangan waktu.
(Malang, Juni 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA