Penguasa Jangan Berlagak Pahlawan!

Shofiatunnisa Azizah

3 min read

Bak sirkus, pertunjukan di negeri ini hampir tidak pernah ada habisnya. Kini pemerintah yang sudah berusia lebih dari 100 hari mencetak naskah peran yang diduplikasi lebih dari 1 kali. Alurnya selalu sama, keluarkan kebijakan sampah, ditolak rakyat mentah-mentah, kemudian perbaiki seperti semula. Yang artinya, pemerintah tidak perlu melakukan apa-apa.

Mulai dari penertiban elpiji 3 kg di pengecer oleh Menteri ESDM, seluruh lapisan masyarakat (tentu saja kelas menengah ke bawah) harus mencari-cari gas yang mendadak langka. Sekali ada, harus mengantre selama satu purnama. Seorang warga asal Pamulang bahkan merelakan nyawanya ditukar dengan gas elpiji saat mengantre.

Baca juga:

Sayang, jatuhnya korban bukan berarti puncak pertunjukan. Menteri berwenang yang sudah sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan hanya bisa mengucapkan minal aidin wal faidzin sudah mengambil alih peran Izrail.

Katanya: “kami pemerintah memohon maaf kalau ini terjadi, karena ini semata-mata kami lakukan untuk penataan.”

Yang mana benar, kalau yang dirujuk kepada penataan adalah liang lahat seorang rakyat yang gugur di medan pertempuran gas elpiji subsidi. Sebab faktanya, yang tertata dari buah kebijakan tersebut adalah antrian panjang yang menahan dapur-dapur untuk mengepul. Maka rasa-rasanya, wajar ketika masyarakat yang ditimpakan masalah berkata, “Jangan ganggu kemiskinan kami!

Mustahil. Mustahil untuk berharap para penguasa akan berhenti mengganggu. Mereka yang telah melahirkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, sesungguhnya tidak akan merasa tindakannya mengganggu. Alih-alih berbenah, panggung keheroikan justru dianggap perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam tempo yang selama-lamanya. Karena itu, keluar pernyataan dari Anggota DPR yang menyampaikan mandat Presiden bahwa masalah gas elpiji tidak lagi dibatasi seperti yang dikatakan Menteri ESDM. Pertanyaannya, setelah satu nyawa dibayar tunai dengan gas elpiji, mengapa Menteri ESDM tidak lebih dulu berembuk dengan Bapak Presiden agar Anggota DPR rangkap Ketum tidak perlu merangkap sebagai Jubir juga?

Belum habis sampai tukar-tukar peran, masyarakat masih terus dibuat keheranan. Sampai hari ini, kabar-kabar pemerintahan selalu menyulut kecemasan. Mulai dari efisiensi Kementerian atau Lembaga sampai dana pendidikan yang terancam kalah prioritas dengan makan bergizi gratis.

Anggaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah disunat Rp 7,27 triliun dari Rp 33 triliun, menyisakan Rp 26,27 triliun. Yang kemudian, harapan generasi emas dari dipaksa akil baligh bersama alokasi dana yang kian mengecil.

Dibanding generasi emas, Indonesia memang lebih dekat dengan generasi yang cemas. Tidak hanya dari kalangan siswa-siswi, tetapi para mahasiswa pun gusar. Cita-cita generasi muda dikebiri Rp14,3 triliun menjadi Rp42,3 triliun. Bahkan beasiswa yang menjadi satu-satunya jalan bagi kebanyakan orang tidak lepas dari wacana tarik paksa dari mimpi generasi muda.

Dengan anggaran Kementerian dan Lembaga yang dipotong, ada wacana lho kita mau potong living allowance. Ada wacana kita akan memotong living allowance. Maka dari itu teman-teman mood-nya harus fight,” kata Direktur Beasiswa LPDP dalam Persiapan Keberangkatan Angkatan 250-251.

Potongan video yang sudah diprivat ini seakan-akan menambahkan beban bagi para penerima beasiswa, ataupun calon-calon yang sedang berjuang untuk melanjutkan studi dan meningkatkan taraf hidup keluarga melalui pendidikannya. Bayangkan saja, sudah ditiban bobot perkuliahan, generasi yang terjepit ekonomi sehingga harus bergantung pada beasiswa ini disemangati untuk punya mood fight. Artinya harus melawan berbagai halang-rintang, termasuk sesekali beramai-ramai mengadili penguasa, padahal ditetapkan peraturan-peraturan yang membatasi.

Baca juga:

Saat inilah, momen kemunculan hero dinanti-nanti. Menteri Keuangan langsung klarifikasi dengan dalih efisiensi tidak akan berani menyentuh anggaran pendidikan seperti yang beredar.

“‪Sementara beasiswa lain yang sedang berjalan, yaitu 40.030 siswa penerima LPDP, Kemendikti Saintek yaitu Beasiswa Pendidikan Indonesia, dan Beasiswa Indonesia Bangkit di bawah Kementerian Agama juga tetap berjalan sesuai kontrak beasiswa yang sudah dilakukan,” katanya, setelah menekankan pemegang Kartu Indonesia Pintar juga tidak akan terdampak.

Melihat perputaran skema yang hampir seperti buang angin sembarangan, tidak mengaku, salahkan orang lain, ini terjadi berulang-ulang sampai hari ini. Pemerintah Indonesia sepertinya mulai suka memainkan peran pahlawan yang menyelamatkan rakyatnya.

Sebut saja dengan sindrom pahlawan. Pemerintah seakan-akan senang menciptakan situasi yang mendesak mereka yang hidup saja sulit, apalagi mencari jalan keluar, sehingga membutuhkan pahlawan untuk menolongnya. Para pahlawan-pahlawanan ini akan berjoget ria setelah berhasil melakukan penyelamatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Meski harus mengorbankan pion-pion dilabeli jelek, setidaknya para penguasa yang menduduki kursi teratas tetap nyaman dengan tindak-tanduk yang mengesankan kebaikan. Kalau begini, suram sekali membayangkan perlawanan akan dipandang sebagaimana mestinya. Bukan satu dua kali kritik dilayangkan, bahkan berkali-kali peringatan darurat dinyalakan, tetapi pemerintah tidak pernah gagal mendalami peran sebagai pahlawan-pahlawanan.

Lagipula, bermain hero seperti ini, apakah pemerintah membayangkan akan dapat pujian setelah hobi mengebiri kemampuan hidup rakyatnya?

Bayangkan, seorang mantri berkata, “Ini dia, tititmu sudah aku potong!”

Tidak mungkin yang disunat menyahut, “Terima kasih, Bapak!”

Respons semestinya adalah tangisan trauma atau amarah tidak terima. Jelas bukan tepuk tangan apalagi sujud syukur yang akan diberikan.

Sayangnya sebagai rakyat, saya tidak punya daya upaya yang sama kuasanya dengan para pahlawan yang tidak kunjung gugur mendahului kita ini. Tapi jelang Ramadan, para penguasa yang telah disumpah dan berlagak pahlawan tidak salah jika diingatkan kembali kepada agama. Seperti kata Pram, Sebagai orang beragama, tidak layak memungkiri janji, tidak layak berkhianat. Islam tidak mengajarkan dan mewajibkan pengkhianatan pada rakyat dan sesamanya.”

Alangkah baiknya sebelum setan dijerat, para penguasa bersegera melepas hasrat. Sebagai pengingat, agama tidak mengajarkan berkhianat dan kalian dilantik atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Meski sudah terlambat, tidak ada yang salah dengan berpikir (jika masih berakal) untuk taubat. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Shofiatunnisa Azizah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email