Catatan Penderitaan Nelayan dan Kerusakan Laut di Negara Maritim

Abdul Bais

3 min read

“Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup memenuhi cita-cita rakyat kita; hidup makmur dan harmonis secara jasmani dan rohani.” – Mohammad Hatta

Buku Bukan Bangsa Kuli yang diterbitkan oleh KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) merupakan sekumpulan tulisan artikel dan opini Abdul Halim yang pernah diterbitkan di beberapa media. Dalam tulisan-tulisannya Abdul Halim banyak membahas tentang ketimpangan yang terjadi di perairan masyarkat nelayan, perempuan nelayan dan pembudidayaan ikan skala kecil.

Terdapat tiga sumbu paradigma yang dipakai oleh Halim dalam analisis isi bukunya. Pertama, The Poorest of The Poor; Tingkatan Pendapatan, Pelayan Bukan yang Temiskin. Kedua, kerentanan nelayan semakin besar akibat ketidakpastian sistem produksi dan lindungan terhadap hasil tangkapan. Ketiga,marjinalisasi sosial dan publik oleh kekuasaan sehingga berimbas kepada layanan publik.

Pada bab pertama Halim memberikan judul dalam tulisannya :“Di Laut Kita Sejahtera”. Mengapa bisa laut sebagai tempat yang sejahtera? Jawabannya adalah Indonesia sebagai negara maritim yang dikelilingi lautan banyak memproduksi ikan tiap tahunnya. Halim menjelaskan pendapatan ikan pertahun 2010 hingga 2013. Ia melihat Pertahun 2010 pendatapan ikan mencapai 128 juta ton, dan semua itu dialokasin kepada pemenuhan pangan.  Dari semuanya itu terdapat 47% pendapatan dari budidaya perikanan.

Setiap tahunnya pendapatan ikan meningkat sehingga memenuhi kebutuhan pangan ikan juga ikut meningkat. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kesejahteraan laut memang nyata adanya. Keberlimpahan itu bukan berarti tanpa hambatan. Tercemarnya air laut akibat limbah dan sampah, pemakaian alat tangkap merusak trawl ikan dan pencurian ikan adalah beberapa ancaman nyatanya. Sepanjang 2001-2013 terdapat pencurian sebanyak 6.215 kasus.

Sisi lain tentang nelayan yang terungkap pada tahun-tahun itu adalah besaran penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasar bagi masyarakat pesisir. Semua tergantung dari pemeliharaan laut yang harus menerapkan rasa kepedulian tinggi dan penelitian terhadap arus laut yang prediksi-prediksinya harus diwaspadai. Halim menolak pandangan bahwa laut sudah tidak lagi digandrungi oleh orang pesisir dan ketergantungan makan mereka hanya bergantung pada beras. Namun tidak dapat dinaifkan juga tren ketergantungan kepada beras yang masih melekat kepada masyarakat, baik di pesisir ataupun di daratan jauh.

Memunggungi Lautan

Masalah yang timbul juga dari terganggunya nelayan pencari ikan terhadap bahan bakar minyak (BBM) yang semakin meningkat. Bukan karena arus ekonomi yang semakin banyak, peningkatan itu terjadi karena pengolahan dan pendistribusian yang dilakukan oleh pihak berwenang amat sangat keliru. Alih-alih mendapat yang lebih murah, harga BBM untuk para nelayan malah dinaikan beberapa persen. Abainya perusahaan dan pemerintah terhadap permasalahan ini membuat hak-hak masyarakat pesisir terjegalnya. Banyak penyelewengan kebijakan yang membuat distribusi ikan terhambat.

Baca juga: 

Profesi nelayan pada tahun-tahun itu sering diabaikan oleh pemerintah. Indonesia merupakan Negara kemaritiman yang seolah hilang kemaritimannya. Seperti yang dijelaskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Arus Balik, “bahwa nenek moyang kita dulunya dari laut dan meluaskan kekuasaan serta perdagangan juga lebih banyak melalui samudra. Seperti di era majapahit, ketika wilwatikta menerobos samudra untuk melambungkan nama majapahit hingga mati karena ketersambungan tendesi daratan,” –yang sampai tahun berikutnya digaungkan oleh pemangku kebijakan. Tak jauh beda ketika tokoh protagonis di arus balik menjadi benteng dari penguasaan daratan tehadap lautan. Demikian dalam profesi nelayan, sering dinegasikan oleh pemerintah sebagai profesi yang menjadi pelengkap. Bukan karena profesinya yang menjadi pelengkap melainkan dari skalanya penangkapan yang kecil dari rakyat biasa.

Nelayan membutuhkan ruang yang cukup kuat untuk dapat menentang determinasi tersebut. Pemerintah di waktu itu seolah lebih memihak kepada nelayan asing akibat dari adanya peraturan penangkapan ikan menggunakan perahu kecil dan besar. Sedagkan jika lihat di Indonesia pada tahun-tahun tersebut tidak memiliki kapal besar satupun, perahu yang mereka miliki hanya dapat menampung sebagian ton saja; seperti dalam bab ke delapan yang memiliki judul dengan sifat mempertanyakan, yakni tentang “Memihak Asing?.”

Dalam buku ini Halim juga membahas tambak garam milik masyarakat yang tidak mendapatkan perhatian cukup dari pemerintah. Pemerintah lebih banyak menyodorkan investor untuk mengelola tambak karena dianggap lebih baik dari masyarakat. Hal itu dibahas Halim dalam artikelnya yang berjudul “Sebagai Perhatian Untuk Pencitraan”.

Fenomena terlalu fokusnya pemerintah kepada daratan namun memunggungi lautan mirip dengan yang dicupakan Pram dalam Arus Balik. “Sudah enggan dengan tradisi nenek moyang yang suka berlayar.” Pemerintah lebih perhatian pada masyarakat perkotaan daripada masyarakat pesisir.

“kami menggoyangkan langit, menggemparkan daratan dan menggelorakan samudra agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.”

Pidato bung karno pada halaman-73 dalam buku itu menggambarkan permasalahan yang dihadapi nelayan dan petani garam di Indonesia. Halim menganilisis ulah keterhubungan politik yang dilakukan pemerintah Indonesia yang mengakibatkan terjadinya pengambilan pangan lautan secara massif oleh negara tetangga. Salah satu sumber daya yang sering diambil adalah udang.

Kebijakan Problematis

Dosa paling besar juga dilakukan oleh pemerintah melalui penyatuan nusantara dengan penambangan-penambangan adalah kerusakan ekosistem laut. Halim menyebutkan 50 daerah yang manjadi penyebab menurunnya pendapatan nelayan, baik dari tangkapan ikan maupaun pekerja nelayan. Konversi dari pengelolaan mangrove menjadi lahan sawit termasuk dosa besar dan dampak besar terhadap ekosistem laut. Konservasi ekosistem pepohonan bermanfaat bagi biota laut menjadi lahan sawit yang dilakukan oleh pihak berwenang terlalu signifikan dan jelas tidak berkesuaian dengan upaya perlindungan ekosistem di pesisir Indonesia. Jika hal ini terus dibiarkan, bencana ekologis bakal lebih massif terjadi di kepulauan ini. Hal itu kerap memanti perlawanan dari masyarakat.

Penjabaran yang dilakukan oleh Halim cukup rigid dan sistematis. Proses pengrusakan secara massif oleh industri budidaya, seperti tambak udang, yang mengakibatkan nelayan setempat kehilangan pekerjaan dijelaskannya secara rinci. Rusaknya esosistem pesisir, perubahan iklim, dan peningkatan suhu laut dan menyebabkan percepatan asam laut juga berkontribusi merubah distribusi produktivitas ikan dan spesies ikan laut dan air tawar. Penangkapan ikan  diperlakukan sebagai komoditas belaka, sehingga banyak pengusaha asing yang menguasai pesisir dan menjadikan penyempitan pelayaran para nelayan tradisional.

Pemeliharaan mangrove sebagai sabuk hijau (green belt) bagi lautan , termasuk sikap untuk meminimalisir aktivitas pembukaan tambak udang, perkebunan sawit dan kawasan wisata di wilayah hutan mangrove sangat ditekankan oleh penulis dalam buku ini.  Selanjutnya adalah perlunya penegakan konstitusi yang pastinya mengharuskan keberpihakan negara terhadap nelayan dan masyarakat pesisir. Untuk keberlanjutan dan kedaulatan pangan, pemerintah harus membuat kebijakan yang adil dan melindungi nelayan. Pengelolaan sumber daya perikanan dan wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil haruslah sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Hal itu bisa dijalankan melalui koperasi mandiri, kerjasama BUMD dan masyarakat pesisir, termasuk di dalamnya; nelayan, petambak tradisional dan perempuan nelayan skala kecil/tradisional.

Kekurangan yang terdapat pada buku Bukan Bangsa Kuli ini mungkin hanya keterbatasan dari referensi yang digunakan dalam menganalisis permasalahan tentang kelautan ini. Namun sebagai pekerja independen dan mandiri, tulisan-tulisa Halim layak diapresiasi. Dengan segala keterbatasannya, Halim dapat merangkum problematika kelautan dan masyarakat pesisir dalam satu karya yang bagus, menarik, dan mudah dibaca oleh semua orang. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Abdul Bais

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email