Otonomi Daerah dalam Bayang-Bayang Otoritarianisme

Martin Silaban

3 min read

Seperti burung yang diberi sangkar mewah tapi tak pernah diizinkan terbang, otonomi daerah di Indonesia hari ini bagaikan kebebasaan semu, tapi lumpuh dalam praktiknya.

Apa gunanya merayakan Hari Otonomi Daerah setiap tanggal 25 April jika pusat kekuasaan justru semakin terpusat? Di saat kita seharusnya memperingati distribusi kewenangan dan penguatan demokrasi lokal, yang justru kita saksikan adalah perayaan simbolik atas sistem yang perlahan tapi pasti kembali tersentralisasi di mana pemerintah pusat menggenggam kendali, dan pemerintah daerah tereduksi menjadi pelaksana belaka.

Otonomi yang dulu dijanjikan sebagai fondasi desentralisasi kini makin terpinggirkan oleh arus resentralisasi yang datang diam-diam, namun sistematis. Melalui fenomena ini, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa saat ini tujuan akhir reformasi bukanlah desentralisasi, namun resentralisasi.

Demokrasi dijanjikan, tetapi Kendali justru Dipusatkan

Desentralisasi yang menjadi salah satu tonggak utama reformasi justru mengalami kemunduran dalam satu dekade terakhir. Alih-alih memperkuat kapasitas daerah dan memperluas partisipasi publik, berbagai kebijakan negara justru mengonsolidasikan kembali kekuasaan ke tangan pusat.

Berbagai penelitian juga telah memperlihatkan kecenderungan resentralisasi ini. Selama satu dekade terakhir, negara ini memperlihatkan gejala nyata ke arah resentralisasi melalui penarikan kembali kewenangan yang dulu diberikan kepada daerah. Pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten/kota, bahkan desa lebih sering tampil sebagai pelaksana kebijakan nasional daripada sebagai entitas otonom yang memiliki kedaulatan dalam pengambilan keputusan.

Baca juga:

Resentralisasi kekuasaan terjadi perlahan dan tersembunyi, melalui instrumen-instrumen hukum yang oleh McCarthy dkk (2016) disebut sebagai soft law. Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Menteri (Permen) menjadi instrumen utama negara untuk mengatur ulang relasi kekuasaan antara pusat dan daerah.

Tidak seperti undang-undang yang membutuhkan persetujuan parlemen dan perdebatan publik yang luas, soft law ini sering diterbitkan dengan cepat dan minim partisipasi publik. Dalam banyak kasus, pendekatan ini menjadi cara negara menghindari konfrontasi politik terbuka sembari memperkuat kontrol dari atas.

Sektor sumber daya alam menjadi salah satu medan utama dari proses resentralisasi ini. Alih-alih memperkuat kewenangan daerah seperti yang diharapkan sebelumnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah justru menarik kembali kendali atas sektor-sektor sumber daya alam strategis seperti pertambangan, kehutanan, kelautan, dan perikanan ke tangan pemerintah pusat. Dengan dalih defisit kapasitas birokrat di daerah dan standarisasi kebijakan, daerah kehilangan wewenangnya untuk menentukan arah pembangunan wilayahnya.

Bahkan, krisis iklim yang seharusnya menjadi panggilan untuk transformasi ekologis dan kebijakan berbasis pada lokalitas, juga justru dimanfaatkan sebagai instrumen relegitimasi dan resentralisasi untuk memperkuat dominasi pusat dan mereduksi ruang bagi pemerintahan daerah.

Alih-alih membuka ruang untuk partisipasi lokal dan distribusi kekuasaan yang lebih adil, krisis ini memperlihatkan bagaimana negara pusat semakin memperkokoh cengkeramannya atas wilayah dan sumber daya, menjadikan otonomi daerah sebagai retorika semata.

Pemerintah daerah kini kerap diposisikan tidak lebih dari sekadar pelaksana administratif dan pemberi legitimasi atas kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ruang gerak mereka untuk menentukan arah pembangunan di wilayahnya sendiri menjadi semakin sempit.

Kondisi ini semakin mengemuka ketika suatu wilayah ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), yang secara otomatis mendorong pemerintah daerah untuk turut menyukseskan apa yang menjadi rencana dari pemerintah pusat. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah kehilangan kapasitas deliberatif untuk menyampaikan aspirasi, menegosiasikan kepentingan lokal, maupun mempertimbangkan dampak kebijakan secara komprehensif.

Resentralisasi Kebijakan ini tidak berjalan sendiri. Proses ini berjalan beriringan dengan penguatan institusi koersif negara. Kejaksaan, Kepolisian, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan peran yang semakin besar dalam memastikan proyek-proyek pembangunan berjalan sesuai rencana pusat. Penguatan institusi koersif melalui revisi berbagai undang-undang pun dilakukan. Berbagai perubahan Kebijakan ini pun cenderung memperluas kekuasaan aparat negara tanpa disertai mekanisme akuntabilitas yang memadai.

Langkah-langkah ini menunjukkan pola konsisten dari negara untuk memperkuat institusi koersif sebagai strategi utama dalam memastikan keberlangsungan agenda pembangunan yang semakin sentralistik. Dengan mengonsolidasikan kendali atas lembaga penegak hukum dan keamanan, negara memperluas kemampuannya untuk mengawasi, menertibkan, bahkan menekan segala bentuk dinamika lokal yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan pembangunan nasional.

Redemokratisasi Otonomi

Di Tengah arus balik dari desentralisasi menuju resentralisasi, serta dalam bayang-bayang menguatnya kontrol negara atas berbagai aspek kehidupan publik, kita perlu memikirkan ulang gagasan tentang redemokratisasi negara. Redemokratisasi berarti merestorasi negara dari alat kuasa menjadi alat dengar, dari penguasa menjadi penjaga ruang bersama.

Baca juga:

Redemokratisasi negara bukan sekadar soal membuka ruang partisipasi, melainkan juga mendesak negara untuk melepaskan cengkeraman otoritarianisme terselubung, menata ulang relasi antara pusat dan daerah, serta membangun kembali institusi-institusi yang berpihak pada kepentingan publik, bukan elite semata.

Redemokratisasi negara harus dimaknai sebagai upaya mengembalikan negara dari instrumen kekuasaan menjadi arena kolektif yang terbuka bagi negosiasi kepentingan, pembentukan konsensus, dan artikulasi kepentingan rakyat. Ini adalah proses restoratif yang menempatkan negara bukan sebagai aktor tunggal yang mengklaim kebenaran mutlak, melainkan sebagai fasilitator yang mengakomodasi kepentingan publik secara inklusif dan deliberatif.

Sebagaimana ditegaskan oleh Fung dan Wright (2003), demokrasi sejati mensyaratkan pelembagaan ruang partisipatif dan mekanisme deliberatif yang memadai guna melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Gagasan ini menuntut keberanian untuk membongkar dan mendesain ulang arsitektur tata kelola negara yang selama ini cenderung mengarah pada resentralisasi dengan kebijakan top-down dan teknokratis.

Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, redemokratisasi untuk memikirkan kembali berbagai kebijakan sentralistik yang menggerus otonomi daerah, dengan mengembalikan kewenangan substantif ke tingkat lokal, termasuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam. Meskipun demikian, hal ini juga harus diikuti dengan membangun mekanisme akuntabilitas mengingat desentralisasi juga sering kali diikuti dengan fenomena elit capture dan penguatan jaringan informal di tingkat lokal.

Kedua, negara perlu memperkuat kemampuan dan kesadaran politik warga akan hak-haknya sehingga impunitas tidak dilanggengkan dan masyarakat semakin sadar akan haknya sebagai warga negara.

Ketiga, penting untuk membentuk mekanisme deliberatif yang mengikat dalam proses legislasi dan perumusan kebijakan, bukan sekadar konsultasi simbolik.

Keempat, perlu ada reorientasi terhadap fungsi institusi koersif negara agar tunduk pada prinsip-prinsip keadilan sosial, penghormatan pada Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga supremasi sipil.

Jika langkah-langkah ini tidak segera dilakukan, demokrasi akan terjebak hanya menjadi sekadar dekorasi dalam sistem politik yang semakin otoriter. Penyusutan ruang sipil akan terus terjadi, dan proyek pembangunan hanya akan memperlebar ketimpangan serta mengamplifikasi konflik sosial.

Maka pada Hari Otonomi Daerah yang kembali dirayakan tahun ini,  pertanyaannya bukan lagi sekadar sejauh mana desentralisasi telah berhasil, melainkan apakah kita masih percaya bahwa otonomi daerah adalah jalan demokrasi yang layak diperjuangkan? Atau jangan-jangan, yang tengah kita rayakan hari ini bukanlah tonggak distribusi kekuasaan, melainkan justru pemakamannya yang makin sunyi dibalut seremoni dan dirayakan tanpa substansi.

 

 

Editor: Prihandini N

Martin Silaban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email