Dalam masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi konsep keluarga besar (extended family), tanggung jawab kolektif seringkali tidak terbagi secara merata melainkan bertumpu hanya pada satu individu tertentu dalam keluarga. Hal inilah yang tampak dalam kehidupan Moko, si tokoh utama dalam film 1 kakak 7 ponakan.
Sepeninggal kedua kakaknya, Moko harus menggantikan peran kakaknya dalam mengurus rumah tangga dan 4 keponakannya sekaligus. Dalam satu rumah, tidak hanya Woko, Nina, Ano dan Ima si keponakan. Hadir juga Ais anak perempuan Pak Nanang yang dititipkan pada keluarga Moko. Oleh karena mengurus para keponakan, khususnya Ima keponakannya yang masih bayi, Moko harus merelakan kehidupan pribadinya termasuk studi lanjut dan hubungan dengan kekasihnya Maurin. Moko pada akhirnya hidup dalam posisi yang terhimpit dalam persimpangan kepentingan pribadinya atau keberlangsungan hidup keluarga besarnya.
Situasi yang dialami oleh Moko kini juga disebut dengan istilah sandwich generation. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller dalam jurnalnya yang berjudul The ‘Sandwich’ Generation: Adult of the Aging pada tahun 1981. Generasi sandwich merupakan sebutan bagi orang dewasa yang harus menanggung beban hidup lintas generasi. Tidak hanya orang tua dan anak, cakupan yang ditanggung oleh generasi sandwich juga dapat meluas seiring dengan budaya keluarga besar yang familiar dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Seorang sandwich generation dapat menanggung beban hidup semua orang yang tinggal satu atap bersamanya baik itu orang tua, kakak, adik, bibi, paman, keponakan hingga keluarga tanpa ikatan darah yang sudah terikat secara emosional.
Baca juga:
Dalam sistem keluarga besar yang masih sangat kuat di Indonesia, solidaritas antar anggota keluarga masih menjadi nilai utama. Anak yang lebih tua atau lebih mapan seringkali dianggap bertanggung jawab untuk menopang kebutuhan ekonomi dan pengasuhan keluarga. Hal ini telah membudaya dan mengakar kuat dalam budaya Indonesia sejak lama. Beberapa contoh budaya yang masih mengadopsi konsep gotong royong dalam menghidupi keluarga adalah budaya tanggung renteng yang ada dalam masyarakat Jawa. Serupa dengan situasi generasi sandwich saat ini, budaya tanggung renteng juga menggambarkan sistem tanggung jawab bersama dalam keluarga, khususnya dalam aspek ekonomi.
Bentuk budaya tanggung renteng ini berakar dari nilai gotong royong dan prinsip “manut orang tua” yang membentuk anak sulung sebagai tulang punggung keluarga sebagai pengganti orang tua. Dalam budaya ini, anak sulung dianggap memiliki tanggung jawab lebih besar dalam membantu ekonomi keluarga seperti membiayai sekolah adik-adiknya dan menghidupi orang tuanya setelah masa pensiun. Tidak hanya mengakar pada masyarakat Jawa, konsep dan budaya serupa juga banyak terjadi dalam keluarga Batak, Bugis dan Minang. Dalam sistem remitansi keluarga perantau, tuntutan bagi generasi muda yang sukses di kota atau negeri orang dianggap memiliki kewajiban untuk mengirim uang untuk biaya hidup keluarga di kampung atau ikut menampung sanak saudara yang ikut merantau di lokasi yang sama.
Budaya-budaya seperti ini, sejak dahulu hingga kini masih terus mengalami pewajaran dan dianggap sebagai kewajiban yang memang harus dilakukan. Sebagai bentuk tindakan yang juga mulia, tanggung jawab kolektif atas dasar kebersamaan keluarga juga ditambah dengan berbagai bumbu romantisme seperti pepatah Jawa “Mangan ra mangan sing penting kumpul” atau “saiyo sekato” pepatah Minang yang menggambarkan bagaimana solidaritas dan kebersamaan keluarga lebih diutamakan daripada kondisi finansial individu atau keluarga.
Baca juga:
- Kuntowijoyo & Pandangan Hidup Seorang Jawa
- Sajian Budaya Minangkabau dalam Drama Komedi yang Rancak Bana
Sejatinya, budaya-budaya kolektif tersebut ada baiknya dalam mengajarkan nilai gotong-royong dan menumbuhkan rasa kepedulian antar sesama keluarga. Namun, alih-alih menjadi bentuk dukungan kolektif yang setara, struktur budaya ini seringkali melanggengkan ketimpangan dalam distribusi tanggung jawab atas keluarga. Beban ini dapat terasa semakin berat ketika individu yang menjadi “sandwich” juga memiliki kehidupan dan tanggung jawab pribadinya sendiri. Seorang individu yang menjadi sandwich generation dapat terus terjebak dalam situasi stagnan dan mengalami tekanan sosial ekonomi yang besar tanpa merasa ada yang salah atau dirugikan. Berbagai tekanan ini tidak hanya akan menghambat karir, impian dan kemandirian finansial mereka, melainkan juga memperpanjang siklus ketergantungan dalam keluarga.
Di sisi lain, ketidakhadiran negara juga semakin memperburuk situasi para sandwich generation. Sistem jaminan sosial di Indonesia saat ini, masih jauh dari memadai untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak yang kehilangan orang tua, juga bagi para sandwich generation yang pada akhirnya menggantikan peran-peran yang hilang tersebut.
Dalam situasi ini, semestinya negara hadir dengan kebijakan perlindungan sosial yang lebih inklusif untuk memperkuat dan mengurangi beban sandwich generation seperti menyediakan jaminan pensiun, jaminan kematian, peningkatan akses jaminan sosial dan kesehatan bagi anak yatim piatu, subsidi pendidikan, layanan alternatif pengasuhan anak yang terjangkau, fleksibilitas kerja bagi generasi sandwich, dukungan psikososial dan sebagainya.
Menghadapi realitas ini, penting bagi masyarakat dan negara untuk merefleksikan kembali bagaimana sistem keluarga dan kebijakan sosial berperan dalam memperberat atau meringankan beban sandwich generation. Budaya extended family semestinya dapat menjadi sistem dukungan yang membagi tanggung jawab secara adil, bukan malah membebani salah satu individu saja. Sementara itu, negara juga harus hadir sebagai pelindung utama bagi warganya, bukan menyerahkan seluruh beban kesejahteraan kepada keluarga. Jika tidak, generasi yang terhimpit di antara dua tanggung jawab ini akan terus terjebak dalam siklus pengorbanan tanpa akhir. (*)
Editor: Kukuh Basuki