Apa yang terpikirkan olehmu saat mendengar tentang “ruang khusus perempuan”?
Kebijakan untuk memberikan ruang aman bagi perempuan agar terhindar dari ancaman kekerasan seksual oleh laki-laki ini tampaknya semakin tidak asing kita dengar. Penyediaannya di berbagai tempat juga semakin banyak dari waktu ke waktu. Namun, kebijakan ini sering kali menimbulkan kontroversi dan menuai beragam komentar dari masyarakat.
Pro-kontra mengenai ruang khusus perempuan kembali muncul setelah Grab dan MRT Jakarta secara resmi menghadirkan kebijakan tersebut baru-baru ini. Grab dengan GrabCar for Women-nya, dan MRT Jakarta dengan Kereta Khusus Perempuan pada jam sibuknya. Ada yang berpendapat kalau kebijakan semacam itu adalah sebuah kemajuan, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Pun, ada yang merasa kalau penerapan ruang khusus perempuan tidaklah mendesak alias tidak perlu-perlu amat diterapkan saat ini.
Bagi saya, adanya ruang khusus perempuan menggambarkan bagaimana realitas sebagai seorang perempuan di lingkungan kita sekarang. Kebijakan ini tidak bisa hanya didefinisikan dengan satu kata saja karena permasalahan yang membuatnya akhirnya ada pun tidak sederhana. Keberadaan ruang khusus perempuan menunjukkan tanda aman sekaligus tanda bahaya.
Baca juga:
Respons terhadap Keresahan Perempuan
Sebagai seorang perempuan, adanya ruang khusus perempuan membuat saya bisa sedikit bernapas lega. Saya sadar, tidak ada jaminan 100% yang bisa memastikan bahwa saya bakal benar-benar aman, bahkan ketika sudah berada di ruang khusus tersebut. Setidaknya, ada upaya nyata yang dilakukan untuk merespons keresahan kami akan ancaman kekerasan di ruang publik. Walaupun menyediakan ruang khusus perempuan tidak serta merta membuat kekerasan terhadap perempuan di ruang publik menghilang, bagi saya ini sudah kemajuan yang cukup baik. Kalau kata orang-orang bijak, “slow progress is still progress”.
Saya akan merayakan progres sekecil apa pun. Kenapa? Karena untuk bisa mencapai titik ini sulitnya minta ampun. Titik ketika keresahan perempuan semakin dianggap serius dan bukan omong kosong semata.
Bukan berarti kami—para perempuan—minta diistimewakan. Saya sendiri selalu bertanya-tanya kenapa kami begitu rawan terhadap ancaman kekerasan.
Sesungguhnya, saya jauh lebih dibuat bertanya-tanya; kenapa masih banyak orang yang meragukan terjadinya kekerasan seksual? Kesaksian para korban tidak jarang malah menjadi bumerang untuk mereka sendiri, membuat mereka berada di situasi serba salah. Hingga pada akhirnya, banyak yang takut untuk bersuara. Bahkan, tidak jarang sesama perempuan justru saling menyalahkan satu sama lain. Maka dari itu, setiap progres sangat berarti, termasuk adanya ruang khusus perempuan. Ruang khusus ini memberikan rasa aman, yang meski terdengar sepele, sesungguhnya sangat berarti untuk kami.
Tanda Bahaya yang Terabaikan
Semakin banyak ruang khusus perempuan memang menunjukkan bagaimana keresahan kami akan tidak amannya ruang publik bagi perempuan didengar. Namun, kondisi ini juga menandakan hal lain: ancaman kekerasan terhadap perempuan di ruang publik masih merajalela.
Ada pengakuan secara tidak langsung atas kondisi tersebut. Data dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023 menunjukkan bahwa mereka menerima 2.978 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di ruang publik pada tahun 2022. Jumlah tersebut baru yang dilaporkan ke Komnas Perempuan saja, belum termasuk yang dilaporkan ke lembaga layanan lain dan yang tidak dilaporkan sama sekali.
Tentunya, bukan berarti ruang khusus perempuan lantas menjadi sia-sia. Saya tetap menganggap keberadaannya memberikan rasa aman untuk para perempuan. Namun, hanya untuk sementara. Kebijakan ini mencegah terjadinya situasi yang lebih parah, tapi sebenarnya tidak menyelesaikan masalah secara utuh. Ia bukanlah solusi; dan memang tidak seharusnya jadi solusi.
Jangan sampai kita malah menghindar dan mengabaikan masalah utama, yakni kurangnya pemahaman dan lemahnya peraturan tentang kekerasan seksual. Agaknya, salah satu faktor yang membuat masalah itu langgeng adalah anggapan bahwa isu sensitif seperti kekerasan seksual tabu buat dibicarakan.
Anggapan itu pula yang secara tidak langsung membuat peraturan mengenai isu kekerasan seksual begitu lemah, bahkan awalnya tidak ada sama sekali. Kita terbiasa menyembunyikan obrolan tentang isu ini dalam hati sehingga ia kemudian tidak dianggap sebagai permasalahan yang serius. Padahal, ancaman kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Iya, kepada siapa saja, termasuk laki-laki. Semua bisa mengalami kekerasan seksual, tapi perempuan jauh lebih rentan terhadap ancaman ini.
Tulisan lain oleh Tatiana Ramadhina:
Jika pemahaman tentang kekerasan seksual semakin menyebar luas, maka usaha untuk menciptakan lingkungan yang aman dari masalah tersebut akan lebih mudah. Akan ada semakin banyak pula orang yang sadar betapa tidak ramahnya lingkungan kita untuk perempuan sehingga perlu ada ruang khusus perempuan.
Di lingkungan yang memang benar aman untuk siapa pun, tidak perlu ada ruang khusus perempuan. Seharusnya, kami tidak perlu merasa khawatir akan ancaman kekerasan ketika bepergian ke mana pun. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Lantas, sampai kapan perempuan harus mengandalkan ruang khusus perempuan agar bisa merasa aman? Semoga tidak selamanya.
Editor: Emma Amelia