Ndasmu dan Kuasi-Otoritarianisme

yoky armando

2 min read

Perayaan ulang tahun ke-17 dianggap istimewa. Bahkan ada istilah sweet seventeen. Usia ke-17 adalah usia transisi menuju kematangan. Perayaannya identik pesta mewah penuh gegap gempita. Sabtu, 15 Februari 2025 di Sentul International Convention Centre (SICC), Bogor, Jawa Barat, Partai Gerindra merayakan sweet seventeen. Kado idaman juga didapatkan Partai Gerindra saat momen sweet seventeen, yakni dengan dilantiknya Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024 setelah perjuangan panjang sejak tahun 2009.

Perayaan sweet seventeen Partai Gerindra dihadiri para ketua umum partai sahabat, kolega, kerabat, dan kader partai dari seluruh daerah. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto dengan diiringi tepuk tangan meriah memberikan pidato politik. Kata “ndasmu” kembali menyeruak di ruang publik setelah terakhir kali menggema pada akhir tahun 2023 saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Gerindra (15/12/2023).

Baca juga:

Ini menjadi berital viral di media sosial dan media-media mainstream, baik cetak maupun online. Beragam tanggapan negatif datang dari masyarakat yang menyesalkan mengapa kata seburuk itu diungkapkan kepala negara dalam ulang tahun partainya. Kata “ndasmu” merupakan istilah umpatan dalam Bahasa Jawa ngoko atau kasar, yang bermakna “kepalamu”.

Jika diperhatikan secara cermat, konteks umpatan “ndasmu” merupakan respons Presiden Prabowo yang dipicu beberapa kritik kepada pemerintahan Prabowo-Gibran, mulai dari program makan bergizi gratis, dugaan kendali Jokowi atas dirinya, hingga gemuknya Kabinet Merah Putih.

Pejabat Antikritik

Tidak hanya Presiden Prabowo, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Panjaitan, baru-baru ini juga memberikan respons atas demontrasi mahasiswa bertajuk “Indonesia Gelap” dengan mengatakan “Kalau ada yang bilang Indonesia gelap, kau yang gelap, bukan Indonesia” (Tempo, 2025). Alih-alih memberikan dalil ilmiah dan merasionalisasi kebijakan yang diambil, respons irasional, tendensius, dan denial yang dipilih oleh para pejabat negara menunjukkan betapa resistennya mereka terhadap kritik.

Tinjauan sejarah menunjukkan bahwa negara cenderung bersikap dan berperilaku otoriter, baik melalui aparaturnya dengan mereproduksi sistem yang memunggungi kebebasan publik, maupun melalui non-state actors berwujud buzzer yang mereduksi public virtue.

Kritik pada hakikatnya merupakan vitamin demokrasi yang perlu dikonsumsi oleh negara untuk mempertebal imun agar terhindar dari virus otoritarianisme yang secara gradual dapat memperlemah, bahkan membunuh tubuh demokrasi.

Urgensi kritik bukan hanya sekadar menggugurkan tanggung jawab negara untuk melindungi hak asasi manusia. Lebih dari itu, kritik dapat dimaknai sebagai pagar yang mencegah negara terperosok dalam jurang otoritarianisme, sebab musuh nyata demokrasi adalah otoritarianisme. Manfaat ini yang mungkin gagal dipahami oleh rezim, sehingga kritik acapkali diartikan sebagai dendam dan konfrontasi wacana dari kompetitor politik.

Realita Politik Indonesia Hari Ini

Realita politik Indonesia dewasa ini, yang abai dan mendelegitimasi kritik dengan menghadapkan kritikus melawan buzzer merupakan bentuk soft spoken authoritarianism. Ini adalah karakteristik kuasi-otoritarianisme. Kuasi-otoritarianisme dapat dimaknai sebagai rezim politik hibrida yang menggabungkan unsur-unsur pemerintahan demokratis dan otoriter dengan mempromosikan lembaga-lembaga demokrasi dengan dalih berperan terhadap kesejahteraan rakyat.

Baca juga:

Rezim kuasi-otoritarianisme mungkin tampak demokratis dengan mengatasnamakan rakyat, tetapi tidak memiliki komitmen mempraktikkan demokrasi yang sejati (Carothers, 2017). Meskipun tanpa mobilisasi fisik, kuasi- otoritarianisme mensyaratkan kepatuhan masyarakat secara sukarela pada negara tanpa pertanyaan dan interupsi (Meng, 2017).

Dalam kuasi-otoritarianisme, lembaga-lembaga negara dikooptasi dan bertugas menciptakan ilusi pluralisme politik melalui pemilihan umum yang rutin sembari memastikan hasil yang menguntungkan untuk memperkuat kontrol rezim (Riaz, 2018). Bagi Indonesia, ujung dari situasi ini hanya dua, terjerumus dalam kubangan rezim otoriter atau kembali kepada demokrasi yang hakiki. Kesadaran akan nilai-nilai demokrasi perlu dibentuk ulang, dari pejabat negara sebagai navigator, karena dari sanalah badai kehancuran demokrasi bermula.

 

 

Editor: Prihandini N

yoky armando

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email