Kisah Ramayana, yang telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi di banyak negara Asia, sering kali mengidentifikasi Rahwana sebagai simbol kejahatan. Ia digambarkan sebagai raja Alengka yang kejam, penculik Sinta, istri dari Rama, yang memicu perang besar. Namun, seperti banyak cerita epik lainnya, interpretasi tergantung pada sudut pandang. Bagaimana jika kita memandang Rahwana bukan sebagai penjahat, tetapi sebagai figur tragis yang berjuang untuk cinta sejatinya dan keyakinan akan takdir? Dalam perspektif ini, Rahwana adalah sosok yang dipenuhi pengorbanan, keberanian, dan bahkan nasionalisme.
Rahwana tidak menculik Shinta untuk merendahkan atau menyakitinya. Dalam kisah alternatif ini, ia menculik Sinta karena meyakini bahwa Sinta adalah reinkarnasi dari istrinya yang telah meninggal. Bagi Rahwana, tindakannya bukanlah penculikan, tetapi usaha untuk merebut kembali takdirnya. Selama Sinta tinggal di Alengka, ia diperlakukan dengan hormat. Rahwana menyediakan kamar tamu terbaik, pelayan terbaik, dan memastikan bahwa tidak ada ancaman yang menimpa Sinta. Bahkan, Rahwana tidak pernah menyentuh Sinta atau mencoba memaksakan kehendaknya. Baginya, cinta sejati tidak memerlukan paksaan; ia hanya ingin Sinta mengakui bahwa mereka ditakdirkan untuk bersama.
Baca juga:
Ketika Rahwana menculik Shinta, ia tahu bahwa tindakannya akan membawa perang ke Alengka. Ia tahu bahwa Rama tidak akan diam, dan bahwa para dewa serta manusia akan memandangnya sebagai ancaman yang harus dihancurkan. Namun, ia tetap melakukannya. Baginya, Sinta adalah takdir hidupnya yang harus diperjuangkan. Dalam konteks ini, Rahwana adalah simbol nasionalisme: ia rela mengorbankan segalanya demi apa yang ia yakini sebagai kebenaran. Ia mempertaruhkan rakyatnya, negaranya, dan bahkan nyawanya demi mempertahankan haknya atas cinta dan keyakinannya terhadap takdir.
Kumbakarna dan Loyalitas Abadi
Di sisi lain, Kumbakarna, adik Rahwana, adalah figur yang sama tragisnya. Kutukan yang menimpanya membuatnya tidur hampir sepanjang waktu dan hanya bangun sesekali untuk makan. Meski begitu, ketika perang antara Alengka dan Rama pecah, Kumbakarna rela mengorbankan ketenangannya untuk berdiri di sisi saudaranya. Ini adalah tindakan yang mengungkapkan loyalitas tanpa syarat, baik kepada keluarga maupun negara.
Kumbakarna tahu bahwa Rahwana salah. Ia tahu bahwa tindakannya menculik Sinta adalah pemicu kehancuran bagi Alengka. Namun, Kumbakarna tidak pernah mundur. Ia memilih untuk bangkit dari tidurnya yang panjang dan maju ke medan perang, bukan karena ia setuju dengan Rahwana, tetapi karena ia merasa memiliki kewajiban moral untuk melindungi saudaranya dan negaranya. Loyalitas Kumbakarna kepada Rahwana melampaui logika; itu adalah bentuk cinta yang hanya bisa dijelaskan dengan pengorbanan.
Dalam pertempuran terakhirnya, Kumbakarna bertempur dengan gagah berani. Ia tahu bahwa ia tidak akan menang, tetapi ia tetap maju. Bagi Kumbakarna, kekalahan tidak penting selama ia mempertahankan kehormatan. Ia akhirnya gugur di medan perang, tetapi kematiannya adalah simbol nasionalisme dalam bentuk paling murni: loyalitas, pengorbanan, dan kehormatan.
Takdir, Kehendak Bebas, dan Kewajiban Moral
Kisah Rahwana dan Kumbakarna menggambarkan paradoks antara takdir dan kehendak bebas. Rahwana percaya bahwa menculik Sinta adalah takdirnya. Ia meyakini bahwa tindakan tersebut adalah jalan yang harus ditempuh, meskipun dunia menentangnya. Di sisi lain, Kumbakarna menggunakan kehendak bebasnya untuk bangkit melawan kutukan tidurnya dan bertempur demi Alengka. Keduanya terjebak dalam dilema moral yang kompleks, di mana mereka harus memilih antara kepentingan pribadi, loyalitas, dan kebenaran universal.
Dalam filsafat, dilema ini dapat dijelaskan dengan teori eksistensialisme yang digagas oleh Jean-Paul Sartre. Sartre berpendapat bahwa manusia dikutuk untuk bebas, yang berarti bahwa setiap individu harus membuat keputusan moralnya sendiri tanpa bergantung pada takdir atau otoritas eksternal. Dalam konteks ini, Rahwana dan Kumbakarna adalah contoh nyata dari perjuangan eksistensial: mereka menghadapi kebebasan untuk memilih jalan hidup mereka, meskipun pilihan itu membawa konsekuensi berat. Rahwana memilih untuk mengikuti keyakinannya terhadap takdir, sementara Kumbakarna memilih untuk setia kepada keluarganya. Keduanya bertindak dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab atas pilihan mereka.
Paralel dengan Nasionalisme Modern
Ketika kita berbicara tentang nasionalisme hari ini, sering kali kita terjebak dalam pemahaman sempit. Nasionalisme sering diasosiasikan dengan chauvinisme, konflik, atau bahkan penolakan terhadap globalisasi. Namun, Rahwana dan Kumbakarna menawarkan perspektif lain. Mereka menunjukkan bahwa nasionalisme adalah perjalanan pribadi yang penuh dengan konflik moral.
Baca juga:
Rahwana, dengan perjuangannya untuk cinta dan takdir, mengajarkan kita tentang pentingnya mempertahankan apa yang kita yakini benar. Sementara itu, Kumbakarna, dengan pengorbanannya, menunjukkan bahwa loyalitas dan kehormatan adalah inti dari nasionalisme. Dalam dunia yang semakin terhubung, kita membutuhkan nasionalisme yang tidak hanya tentang membela negara, tetapi juga tentang mempertahankan nilai-nilai universal seperti cinta, pengorbanan, dan moralitas.
Kesimpulan
Nasionalisme, dalam banyak hal, adalah pertempuran antara takdir dan kehendak bebas. Kita mungkin seperti Rahwana, yang berjuang untuk apa yang ia yakini sebagai haknya, atau seperti Kumbakarna, yang rela mengorbankan segalanya demi loyalitas dan kehormatan. Apa pun itu, kisah mereka mengingatkan kita bahwa nasionalisme bukanlah soal menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana kita menjalani perjuangan itu dengan keberanian dan integritas.
Di dunia modern, di mana batas-batas negara semakin kabur, kita membutuhkan nasionalisme yang lebih manusiawi. Nasionalisme yang mengakui kompleksitas moral, menghormati perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Dan dalam perjalanan itu, mungkin kita bisa belajar sesuatu dari Rahwana dan Kumbakarna, dua tokoh tragis yang mengajarkan kita bahwa nasionalisme adalah soal hati, bukan hanya tanah. (*)
Editor: Kukuh Basuki