Di tengah hiruk-pikuk ibukota yang tak pernah tidur, ribuan mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2025). Aksi yang mereka namakan “Indonesia Gelap” ini bukan sekadar unjuk rasa biasa. Mereka membawa 13 tuntutan yang mencerminkan keresahan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Dari pendidikan, agraria, efisiensi anggaran, hingga reformasi aparat penegak hukum, semuanya menjadi sorotan utama dalam aksi ini. Gerakan ini adalah cerminan dari suara mahasiswa yang selama ini menjadi motor perubahan dalam sejarah bangsa.
Keresahan yang Mendasari Aksi
Ketika mahasiswa turun ke jalan, itu bukan sekadar euforia demonstrasi. Ada keresahan yang nyata. Salah satu tuntutan utama adalah pendidikan gratis yang ilmiah dan demokratis. Pemangkasan anggaran pendidikan yang dilakukan pemerintah dianggap mengancam akses masyarakat terhadap pendidikan berkualitas. Di negara yang konstitusinya menegaskan hak pendidikan bagi seluruh warga negara, ironi ini menjadi bukti bahwa pendidikan masih dipandang sebagai beban anggaran, bukan investasi jangka panjang.
Baca juga:
- Pemangkasan Anggaran Pendidikan 2025: Kolonialisme Pendidikan Gaya Baru
- ASN dan Mahasiswa dalam Pusaran Efisiensi Anggaran
Selain itu, proyek strategis nasional (PSN) juga menjadi perhatian. Program yang awalnya bertujuan meningkatkan infrastruktur dan perekonomian justru sering kali menjadi alat perampasan tanah rakyat. Reforma agraria sejati yang diharapkan mampu memberikan keadilan bagi petani justru masih menjadi mimpi yang tak kunjung terealisasi. Menurut James C. Scott dalam bukunya Seeing Like a State, kebijakan negara yang dibuat tanpa mempertimbangkan realitas sosial masyarakat hanya akan menimbulkan perlawanan dan ketidakstabilan.
Poin lainnya yang menarik perhatian adalah evaluasi program makan bergizi gratis. Di atas kertas, program ini terdengar seperti langkah progresif untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. Namun, implementasi di lapangan sering kali tidak tepat sasaran. Ketimpangan distribusi, dugaan politisasi, dan ketidakjelasan alokasi anggaran menjadi persoalan yang perlu dievaluasi dengan transparan.
Selain itu, mahasiswa juga menyoroti revisi Undang-Undang Minerba yang dianggap membungkam suara kritis di kampus. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak akademisi dan mahasiswa yang bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintah justru mendapat tekanan. Kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas berpikir malah dikekang oleh regulasi yang mengekang kebebasan akademik.
Membaca Masa Depan dari Aksi Hari Ini
Sejarah menunjukkan bahwa mahasiswa sering kali menjadi aktor perubahan sosial. Reformasi 1998 adalah salah satu contoh nyata bagaimana suara mahasiswa bisa mengguncang struktur kekuasaan. Namun, pertanyaannya, apakah aksi “Indonesia Gelap” kali ini bisa membawa perubahan yang signifikan?
Salah satu tuntutan mereka yang menarik perhatian adalah reformasi kepolisian. Masyarakat sudah lama mengeluhkan tindakan represif aparat terhadap warga sipil, terutama dalam menangani demonstrasi dan kasus-kasus hak asasi manusia. Budaya impunitas yang mengakar dalam institusi kepolisian menjadi salah satu alasan mengapa reformasi ini harus dilakukan. Menurut Max Weber, negara modern seharusnya memiliki monopoli atas kekerasan secara sah, tetapi dalam batasan yang jelas dan diatur oleh hukum, bukan dalam bentuk kesewenang-wenangan.
Baca juga:
Efisiensi anggaran dan perombakan Kabinet Merah Putih juga menjadi sorotan. Banyaknya pejabat yang dinilai tidak kompeten atau terlibat dalam kebijakan yang merugikan masyarakat menjadi alasan mahasiswa menuntut adanya evaluasi menyeluruh. Jika pejabat negara lebih peduli pada kepentingan politik daripada kesejahteraan rakyat, maka perubahan melalui tekanan publik adalah langkah yang logis.
Namun, perubahan tidak hanya terjadi di jalanan. Aksi massa memang memiliki kekuatan untuk menekan pemerintah, tetapi keberlanjutan gerakan ini juga harus diperjuangkan melalui jalur akademik dan advokasi kebijakan. Tanpa strategi yang matang, gerakan seperti ini bisa saja hanya menjadi riak kecil yang hilang tanpa hasil konkret.
Seperti yang dikatakan oleh Noam Chomsky, “Jika Anda tidak mengontrol pikiran Anda sendiri, seseorang akan melakukannya untuk Anda.” Dalam konteks ini, aksi “Indonesia Gelap” bukan hanya tentang menuntut perubahan, tetapi juga tentang membentuk kesadaran kolektif bahwa rakyat harus terus mengawal kebijakan pemerintah.
Pada akhirnya, aksi ini bukan sekadar teriakan di jalanan, tetapi suara hati masyarakat yang menginginkan masa depan yang lebih baik. Entah apakah tuntutan ini akan didengar atau hanya menjadi catatan sejarah, satu hal yang pasti: mahasiswa tetap menjadi penjaga moral bangsa, dan suara mereka tidak bisa diabaikan begitu saja. (*)
Editor: Kukuh Basuki