IG: @mhrkmnv

Akulturasi Islam-Jawa dalam Kesenian Wayang

Muhammad Harkim Novridho

3 min read

Jauh sebelum masuknya Islam di Indonesia, telah banyak kebudayaan yang berkembang dan menjadi tradisi yang mengakar di negeri ini, salah satunya adalah tradisi suku Jawa. Namun, setelah berkembangnya agama Islam di nusantara, masyarakat Jawa yang kental akan tradisi tersebut mengalami berbagai perubahan dalam kebudayaannya. Perubahan kebudayaan yang dimaksud bukanlah perubahan secara total, melainkan dengan cara mengakulturasikan kebudayaan Jawa dengan Islam itu sendiri.

Masuknya Islam ke pulau Jawa melalui proses yang sedemikian rupa. Para wali menyebarkan Islam dengan berbagai pendekatan dakwah. Melalui pendekatan kebudayaan, mereka berhasil memengaruhi masyarakat Jawa kala itu. Salah satu metode dakwah Wali Songo adalah melalui seni pertunjukan wayang. Hal inilah yang kemudian menjadi daya tarik bagi masyarakat Jawa kala itu untuk masuk agama Islam. Banyaknya masyarakat yang tertarik masuk Islam kala itu, tak menghilangkan sepenuhnya tradisi Jawa yang telah ada. Pertemuan dua kultur inilah yang disebut sebagai akulturasi.

Kebudayaan di nusantara, khususnya Jawa, telah melewati berbagai fase gejolak akulturasi dengan seni pertunjukan wayang. Dalam perkembangannya wayang selalu menyesuaikan dengan kehidupan dan perkembangan peradaban manusia. Hal tersebut terjadi karena adanya penyesuaian yang dilakukan berdasarkan perkembangan kebudayaan masyarakat, baik dalam segi bentuk atribut, fungsinya, maupun dalam segi peran.

Berdasarkan catatan sejarah, wayang diperkirakan telah ada sejak kurang lebih 1500 tahun SM. Wayang dapat diartikan sebagai sebuah seni pertunjukan bayangan samar yang bernarasi. Bayangan-bayangan dari wayang ini kemudian digerakkan untuk menciptakan cerita yang mencerminkan kehidupan manusia. Sebelum wayang digunakan oleh Wali Songo sebagai perantara dalam berdakwah, setidaknya terdapat dua fase perkembangan yang bisa diamati:

Fase Pra-Hindu-Buddha

Di fase ini masyarakat Jawa masih kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat masih terikat pada hukum adat, salah satunya penyembahan kepada roh nenek moyang. Prosesi-prosesi yang dilakukan kemudian menghasilkan suatu adat atau kebudayaan yang lengkap dengan alat-alat pendukung dalam kebudayaan tersebut. Alat pendukung tersebut kerap disebut sebagai hyang.

Fase Hindu-Buddha

Pada fase ini ciri yang paling menonjol adalah adanya pengaruh yang sangat kuat antara kebudayaan India (Hindu-Buddha) terhadap perkembangan kebudayaan Jawa. Wayang pada fase ini cenderung memiliki bentuk menyerupai relief yang ada pada candi dan menyerupai bentuk arca. Selain itu, juga terjadi akulturasi dalam hal penggunaan wayang. Sebelumnya wayang dijadikan sebagai media dalam penyembahan arwah nenek moyang, pada fase ini wayang cenderung digunakan sebagai alat dalam menyebarkan ajaran Hindu-Budha melalui cerita Ramayana dan Mahabharata.

Setelah melewati kedua fase di atas, perkembangan selanjutnya adalah akulturasi Islam dengan seni pertunjukkan wayang. Jika pada fase sebelumnya wayang dijadikan sebagai media dalam penyebaran ajaran Hindu-Budha, pada fase ini para Wali memperkenalkan ajaran agama Islam kepada masyarakat Jawa melalui media wayang. Wayang dipergunakan oleh para wali sebagai sarana dalam berdakwah dan menyebarkan ajaran yang mengesakan Allah. Sehingga, terjadilah perubahan tradisi kebudayaan Jawa yang pada awalnya berciri khas Hindu-Budha yang kemudian berakulturasi dengan Islam.

Seni pewayangan dalam dunia Islam, khususnya dalam masyarakat Jawa, mengalami penyesuaian terhadap nilai-nilai keislaman. Cerita-cerita dalam seni pewayangan dibuat dengan mengadposi tema-tema Islam, seperti Pandawa Lima, dan Kalimasada. Pada masa itu, penggunaan media wayang sebagai sarana dakwah dianggap efesien oleh para Wali karena masyarakat Jawa banyak yang menggemari seni pertunjukkan. Penyebaran agama Islam melalui media wayang ini juga dilakukan secara damai oleh para Wali tanpa sedikit pun ada unsur kekerasan di dalamnya.

Pada awal penyebarannya, bentuk wayang yang digunakan adalah wayang yang memiliki bentuk seperti manusia. Hal inilah yang kemudian menimbulkan permasalahan di kalangan para Wali saat itu, karena bentuk wayang yang menyerupai manusia dianggap memiliki unsur-unsur yang bertentangan dengan akidah Islam dan keesaan Allah. Oleh karena itu, para Wali melakukan perubahan bentuk wayang, khususnya pada bentuk leher menjadi lebih panjang, wajah menjadi miring, dan bentuk tangan menjadi panjang hingga mencapai kaki. Perubahan hiperbolis itu menjadikan bentuk wayang tak lagi menyerupai manusia.

Dalam fase ini pula, terjadi perubahan signifikan dalam unsur cerita yang disajikan. Para Wali memasukkan nilai-nilai keislaman dalam penggambaran tingkah laku sosok Punakawan. Pemikiran dan usaha dakwah yang dilakukan oleh para Wali pada saat itu bisa dikatakan berhasil. Pengubahan bentuk serta fungsi wayang yang pada awalnya bernuansa Hindu-Budha, kemudian diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam ke dalamnya manarik perhatian banyak masyarakat Jawa. Hal ini membuktikan bahwa akulturasi budaya mampu membuat masyarakat mau menerima dakwah.

Salah satu tokoh yang dianggap paling mahir dalam memainkan kesenian wayang ialah Sunan Kalijaga. Dalam seni pertunjukan pewayangan yang dimainkan, Sunan Kalijaga mengganti upahnya dengan meminta penonton untuk masuk Islam. Dalam dakwahnya yang menggunakan unsur seni tersebut, Sunan Kalijaga dipandang sebagai sosok yang arif dan kreatif. Hal ini sangat mencirikan ajaran sufistik, yang memandang pengajaran adalah upaya pendekatan hati tanpa sedikitpun menggurui.

Unsur-unsur keislaman yang paling inti juga ada dalam cerita pewayangan. Tokoh-tokoh wayang itu merepresentasikan butir-butir rukun Islam yang kemudian dipertunjukkan sebagai sebuah narasi yang menghibur dan bermanfaat bagi pemirsanya.

Wayang Puntadewa

Kalimah-Syahadah

Dalam penggambaran rukun Islam yang pertama ini, seorang tokoh dalam pewayangan, yakni Puntadewa, dijadikan sebagai sosok tertua dari Pandawa. Puntadewa digambarkan sebagai sosok raja yang memiliki sifat yang adil, berwibawa, serta bijaksana. Puntadewa dijadikan pemimpin dari keempat saudaranya. Sama halnya seperti yang tertuang pada rukun Islam yang pertama, yakni kalimah-syahadah yang menjadi poin utama dalam ajaran agama Islam. Adapun keempat saudara Puntadewa merupakan representasi dari poin rukun Islam kedua hingga kelima.

Wayang Bima

Salat Lima Waktu

Dalam penggambaran rukun Islam yang kedua ini, tokoh Bima dijadikan sebagai sosok penegak dari Pandawa Lima. Sama halnya dengan rukun Islam yang kedua, yakni salat lima waktu yang menjadi penegak tiang agama dan harus dilaksanakan oleh setiap muslim.

Wayang Arjuna

Zakat

Sosok Arjuna digambarkan sebagai sosok yang suci. Sama halnya dengan zakat, yang dijadikan sebagai penyuci bagi setiap muslim.

Wayang Nakula dan Sadewa

Puasa di Bulan Ramadan dan Pergi Haji

Rukun Islam keempat dan kelima ini direpresentasikan dengan sosok kembar dalam pewayangan, yakni Nakula dan Sadewa. Dua sosok kembar ini dalam cerita pewayangan hanya muncul dalam beberapa situasi tertentu. Sama halnya dengan puasa di bulan Ramadan dan haji yang hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu saja, yakni puasa wajib hanya dilakukan pada bulan Ramadan dan ibadah haji yang hanya dilakukan pada bulan zulhijah. Pemunculan nilai-nilai ajaran Islam secara simbolis ini membuat proses dahwah yang terkesan kaku menjadi penuh hiburan dan berhasil diterima masyarakat Jawa pada masanya.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Muhammad Harkim Novridho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email