Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Mutiara di Padang Ilalang: Memoar Aktivis CGMI dalam Tragedi 1965

Sekar Jatiningrum

3 min read

Tedjabayu adalah salah satu dari sekian banyak penyintas Tragedi 1965 yang merasakan pahitnya penahanan brutal selama 14 tahun di Pulau Buru. Sebagai mahasiswa di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, ia aktif di organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, keterlibatannya sebagai aktivis justru membuatnya menjadi target rezim otoriter Orde Baru.

Tanpa melalui proses pengadilan, Tedja diseret secara paksa bersama mahasiswa lainnya ketika sedang menjaga Gedung Universitas Res Publica, Jalan Pangurakan, Alun-alun Utara Yogyakarta dari serbuan massa yang meneriakkan, “Ganyang PKI!”. Setelah ditangkap, ia dijebloskan ke beberapa penjara, termasuk Wirogunan, Ambarawa, Nusakambangan, sebelum akhirnya diasingkan ke Pulau Buru. Di pulau itu, Tedja meniti tahun-tahun panjang penuh derita—kerja paksa, kelaparan, dan siksaan fisik dan mental, serta upaya penghancuran intelektual.

Kebebasan baru menghampirinya pada tahun 1979, dengan luka yang tetap mengendap dalam hidupnya sebagai saksi bisu atas kejahatan rezim yang berkuasa. Seperti yang diungkapkannya dengan getir, “Itu mengingatkan saya kepada sebuah luka yang tidak pernah tersembuhkan.” (Kutipan bersumber dari: Jagal Senyap, “Harapan Tedjabayu Sudjojono”, Youtube, 2016, https://www.youtube.com/watch?v=y5Ck9lPfMrc )

Mutiara di Padang Ilalang: Cerita Seorang Penyintas (Komunitas Bambu:2022) adalah rangkuman kisah panjang Tedjabayu dalam menjalani hari-hari penuh luka sebagai tahanan politik. Namun, lebih dari sekadar cerita personal, ia adalah simbol dari ribuan korban lain yang bernasib serupa—dirampas kemerdekaannya, dilucuti martabatnya, dan dihancurkan harapan hidupnya. Setiap hari adalah rangkaian derita tanpa akhir.

Baca juga:

Siksaan fisik dan mental menjemput para tahanan satu per satu menuju kematian yang tragis dan kejam. Sedangkan mereka yang bertahan hidup harus menerima kondisi yang jauh dari kata layak—berdesakan di ruang sempit nan pengap; dikerumuni penyakit, bau pesing, dan terperangkap dalam depresi yang mendalam. Dalam kebrutalan itu, siksaan dari aparat adalah menu tambahan yang tidak terelakan. Tedja bahkan mengungkapkan ironi pahit di mana sering kali, para pelaku kekerasan itu adalah orang yang ia kenal, bahkan tetangganya sendiri!

Selain menghukum dengan kekerasan, para serdadu juga kerap menggunakan metode yang lebih halus namun mematikan, yaitu mengurangi jatah makan. Ini adalah cara paling mudah yang bisa dilakukan untuk membunuh setiap orang tanpa mengeluarkan satu peluru pun.

“Kami lalu menyadari bahwa rezim ini menginginkan kami semua mati pelan-pelan, baik lewat kerja rodi, atau dibunuh tidak sengaja. Selain memaksa kami untuk mati miskin karena kekurangan gizi dan tekanan-tekanan fisik lainnya, mereka juga melakukan upaya menghancurkan mental dan intelektualitas kami.” (Hlm. 231).

Memoar ini dapat mengguncang kemanusiaan kita dengan berbagai pengalaman dan cerita pilu yang akan memaksa pembaca untuk bertanya: Mengapa manusia bisa begitu kejam kepada sesamanya? Oleh karena itu, saya sarankan untuk membaca kisah ini dalam kondisi mental yang stabil dan pikiran yang tenang, karena setiap halamannya memuat pengalaman yang traumatis dan emosional.

Ironi terbesar muncul di akhir cerita, tatkala Tedjabayu menunjukkan surat pernyataan yang ia buat ketika hendak dibebaskan dari Pulau Buru. Surat itu menyatakan bahwa para tahanan diperlakukan dengan wajar dan tidak mengalami tekanan apapun. Tedja mengenang pernyataan tersebut:

“Sebuah pernyataan ‘tulus dan dari lubuk hati yang terdalam’ karena pada dasarnya itu kubuat di bawah todongan bedil penguasa, meksi secara fisik tidak ada senjata yang ditodongkan” (Hlm. 291).

Kisah kelam ini tidak disampaikan dengan nada amarah atau dendam. Sebaliknya, Tedja menyampaikannya dengan humor jenaka, sekaligus menggelitik. Meski humor itu muncul, sebagai pembaca, saya tetap merasakan sakit hati yang mendalam. Penghancuran kemanusiaan itu begitu nyata, terselip dalam setiap kelakar yang kuat dalam tulisan Tedjabayu. Gurauan yang tercipta menjadi mekanisme bertahan hidup, sebuah cara untuk menangkis kehancuran total terhadap martabat dan identitas manusia. Seolah-olah, dalam tiap detik kehidupan, ancaman kematian selalu mengintai di depan mata—entah mati akibat tembakan tentara, penyiksaan di kamp, kelaparan, penyakit, kerja paksa, atau bahkan kehancuran jiwa yang perlahan merayap, menghancurkan tubuh yang masih bernapas, dihantam oleh deraan yang tak tertanggungkan lagi.

Baca juga:

Pada lembar-lembar akhir buku ini, Tedjabayu mencatat daftar tahanan politik (tapol) Pulau Buru yang meninggal berdasarkan rekam medis yang ada pada tiap unit rumah sakit. Tercatat terdapat 51 kasus hepatitis, termasuk sirosis hepatitis, 44 kasus tuberkulosis, 31 kasus akibat kecelakaan kerja, 26 kasus hilang atau dibunuh, 24 kasus dibunuh secara langsung oleh tentara setelah disiksa terlebih dahulu, 15 kasus bunuh diri, 5 kasus dibunuh oleh penduduk asli Orang Sua, 4 kasus tersambar petir, dan 1 kasus dibunuh oleh teman sendiri. 

Catatan Tedjabayu adalah arsip yang penting untuk mengingatkan kita bahwa negara ini memiliki masa lalu kelam yang hingga kini belum menemui titik terang. Kecenderungan penguasa untuk menutupi kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan masih menjadi habitus yang dipelihara dan terus berulang dari satu rezim ke rezim berikutnya. Ini menunjukkan bahwa belum ada upaya serius untuk mengadili kejahatan kemanusiaan, mengakui kesalahan, dan pernyataan minta maaf serta belasungkawa yang tulus kepada para korban dan keluarga mereka.

Pada 25 Februari 2021 lalu, Tedjabayu menghembuskan napas terakhirnya di usia 78 tahun. Meski raganya telah tiada, jejak-jejak kata yang ia tinggalkan akan abadi. Di luar sana, masih banyak korban dan keluarga yang terus menggali harapan akan keadilan. Mereka menuntut jawaban tentang di mana orang-orang tercinta mereka hilang atau terkubur. Luka dan duka itu tak akan pernah pudar, terus menyeruak untuk menuntut pengakuan dan pertanggungjawaban. Suara lirih dan perlawanan dalam sunyi—yang disuarakan para korban dan keluarga akan terus menggema, menuntut keadilan tanpa mengenal waktu. 

Selamat jalan Pak Tedjabayu. Terima kasih karena telah menuliskan memoar yang begitu berani, menyentuh hati, yang mengajarkan saya arti kehidupan yang sesungguhnya dengan ketabahan dan gelak tawa, meskipun penuh kepahitan. Kisah ini akan menjadi pengingat bagi saya dan generasi mendatang, yang setiap hari semakin tergerus oleh narasi resmi dari pihak berkuasa, serta hiruk-pikuk kehidupan digital yang kerap mengaburkan nalar kritis. Dalam dunia serba cepat ini, kita kerap lupa untuk hening sejenak, menepi dari keramaian, dan merenung—memikirkan peristiwa di masa lalu sebagai upaya untuk merawat ingatan, menolak kelupaan, dan melawan ketidakpedulian. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki 

Sekar Jatiningrum
Sekar Jatiningrum Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email