Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Musik yang Merangkul Semua Gender

Kukuh Basuki

3 min read

Musik rock selalu diidentikkan sebagai musik yang maskulin. Musiknya yang keras, cepat, dan lugas membuat musik rock digambarkan sebagai ekspresi jiwa laki-laki yang gagah berani melawan dunia. Komunitas musik rock sering diisi pria-pria gondrong, bertato, celana sobek-sobek, kaos hitam, bertindik, dan mempunyai selera musik keras.

Meski demikian, bukan berarti perempuan tidak ada yang menyukai musik rock. Jika kita datang di konser-konser rock seperti Hammersonic, Jogjarockarta, dan Solo Rock Festival, akan banyak sekali perempuan yang turut datang menonton pertunjukan tersebut. Dengan pakaian yang serba hitam mereka asyik ikut sing along, moshing pit, bahkan stage diving.

Meski demikian, pandangan masyarakat terhadap perempuan penggemar musik rock masih sangatlah negatif. Perempuan yang mentato tubuhnya dan mempunyai banyak tindikan distigma sebagai perempuan nakal, putus asa, dan frustasi dengan kehidupan. Mereka dianggap sedang mencari tempat pelampiasan emosionalnya ketimbang mengekspresikan kejujuran jiwa estetiknya. Mereka juga dianggap sebagai perempuan yang kalah.

Baca juga:

Lain musik rock lain pula K-pop. Genre musik yang secara pesat naik popularitasnya dalam dua dekade terakhir ini selalu diidentikkan dengan perempuan. Musik yang lebih elektronik, style fashion yang trendi, gaya rambut warna-warni, kulit mulus, dan penyertaan koreografi tari yang luwes membuat mereka identik dengan dunia perempuan. Sebagian besar K-popers memang perempuan.

Namun, eksistensi K-popers laki-laki tetaplah ada. Mereka menggemari K-pop layaknya fans perempuan. Mereka melakukan aktivitas fanboying, mengoleksi pernak-pernik K-pop dan menghafalkan lagu-lagu K-pop.  Mereka juga turut hadir di konser-konser K-pop, berbaur dengan fans perempuan yang memenuhi venue.

Sebagaimana pandangan pada perempuan penggemar rock, K-popers pria masih dilihat dengan penuh stigma. Mereka dianggap lebay, alay, dan terlalu lemah gemulai. Mereka dianggap tidak mencerminkan laki-laki ideal yang harus gagah dan tegas. Hinaan dan cacian sering muncul dari teman dekat atau keluarga mereka sendiri yang menganggap mereka salah memilih genre musik. Beberapa dari mereka biasanya langsung menyarankan genre-genre musik yang lebih sesuai dengan laki-laki ideal.

Aktivitas K-popers laki-laki di internet juga tidak bisa sebebas K-popers perempuan. Mereka lebih menahan diri untuk tidak mengekspresikan aktivitas fanboying-nya secara terang-terangan, sebab mereka menghindari cercaan netizen karena aktivitas yang kurang maskulin. Netizen sering berkomentar merendahkan laki-laki yang dianggap terlalu feminin. Misal ketika seorang laki-laki berjoget dengan lemah gemulai, tak sedikit orang menyindir mereka sebagai generasi yang lemah.

Dikotomi penggemar musik itu juga terbawa ke ranah fashion. Ada warna-warna pakaian yang dianggap mempunyai gender tertentu. Yang paling umum adalah warna pink yang identik dengan warnanya perempuan. Laki-laki yang menggunakan pakaian warna pink sering dicap banci dan keperempuanan. Hal itu sangat ironis misal bagi fans BLACKPINK yang sangat identik dengan atribut warna pink.

Sebaliknya, musik rock yang identik dengan celana belel, sobek-sobek, atau berlubang akan sangat biasa jika itu dikenakan oleh laki-laki. Lain halnya jika perempuan mengenakan celana sobek-sobek tersebut, ada stigma yang menempel sehingga mereka dianggap lebih rendah daripada perempuan yang menggunakan pakaian yang rapi.

Stigma dan stereotip terhadap pilihan musik dan pakaian yang dianggap tidak sesuai dengan gender tersebut sangat menghalangi individu untuk bisa mengekspresikan apa yang mereka sukai. Banyak orang harus berkompromi bahkan berpura-pura demi menghindari hujatan.

Meruntuhkan dikotomi

Usaha untuk menghapus dikotomi gender dalam musik memang bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti itu tidak mungkin. Beberapa musisi menggunakan berbagai cara agar cengkeraman bias gender dalam musik itu bisa terhapus sehingga musik menjadi ruang aman bagi siapa saja yang ingin menikmatinya.

Beberapa musisi dan seniman mencoba melakukan kontradiksi-kontradiksi kreatif dalam karya maupun fashion yang dikenakannya saat tampil. Hal yang paling mudah kita ingat adalah David Bowie. Dengan musik yang masih setia di jalur rock elektronik dan lirik lagu yang suram, Bowie merepresentasikan dirinya dengan penuh warna. Tak jarang Bowie memasukkan warna pink di dalam fashion-nya, warna rambutnya, hingga pencahayaan yang cenderung warna-warni.

Baca juga:

Hal serupa juga muncul di grup musik Baby Metal. Grup musik dari Jepang ini menggabungkan konsep antara gemerlap pop idol dan kegelapan metal. Musik mereka penuh distorsi, tempo cepat dan hentakan keras layaknya musik metal, tetapi vokalis mereka adalah perempuan dengan gaya vokal khas idol lengkap dengan fashion feminin dan koreografi tari yang lincah. Mereka seolah ingin menyampaikan pesan bahwa pembatasan musik metal dan musik pop itu bisa dikaburkan atau malah dihapuskan. Kehadiran Baby Metal seolah ingin mengacaukan dikotomi masyarakat tentang bagaimana seharusnya musik metal ataupun musik idol ditampilkan.

Untuk genre yang paling masif melawan dikotomi gender adalah punk dan hippies. Dalam fashion punk bahkan tidak memiliki kejelasan gender. Mereka biasanya menggunakan celana ketat, kaus jaring, rompi belel, sepatu boot dan rambut mohawk dan spiky dengan kombinasi warna-warna cerah seperti oranye, merah muda, hijau pupus, dan biru. Aksesoris yang digunakan biasanya kalung, ikat pinggang, dan gelang pernik logam, rantai, peniti, gembok dan emblem yang dipasang sekenanya. Mereka seolah ingin membingungkan masyarakat yang sudah terbiasa dengan gender laki-laki dan perempuan lengkap dengan pakaian yang harus dikenakannya. Selain musiknya yang keras dan lugas, fashion anak punk juga menjadi ancaman bagi masyarakat yang ingin mempertahankan pembatasan identitas gender secara tegas dan kaku.

Selanjutnya musik-musik hippies. Musik ini sangat familier dengan warna-warna mencolok dan motif bunga. Hippies secara radikal menggunakan bunga sebagai motif untuk semua gender tanpa kecuali. Unsur maskulin dan feminin dalam musik hippies lebur dalam fashion, attitude, dan lagu-lagunya.

Secara lebih halus hal itu juga dilakukan oleh BLACKPINK. Dengan perpaduan warna gelap dan warna pink tersebut, BLACKPINK seolah ingin menggabungkan dua unsur yang tampaknya berseberangan menjadi satu entitas yang universal. Warna yang dalam masyarakat patriarki penuh dengan nilai-nilai gender sedikit-demi sedikit terhapus seiring naiknya popularitas BLACKPINK.

Meski butuh waktu, menghapuskan gender dalam musik bukanlah hal yang mustahil. Kemunculan musisi dan idol yang mempunyai spirit kesetaraan dan keadilan gender merupakan angin segar untuk masa depan dunia musik yang aman dinikmati siapapun tanpa adanya stigma ataupun perasaan takut dihakimi. Musik akan senantiasa menjadi ruang estetika yang bebas, terbuka dan ramah gender seperti pesan J-Hope dalam lagunya yang berjudul “Equal Sign”:

“For love in this world,
Come on,
Let’s come together,
Equality is you and me”

 

Editor: Prihandini N

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email