Tidak banyak milenial dan generasi setelahnya yang mengenal lagu yang dipopulerkan oleh Elvis Presley selain Can’t Help Falling in Love. Jika mau merunut lebih jeli lagi, ada sebagian kecil yang mengenal Love Me Tender, It’s Now or Never, dan Always on My Mind. Namun uniknya, dari sedikit lagu itu sudah cukup menggaungkan kebesaran nama Elvis Presley di hati milenial sebagai ikon suatu budaya yang terus berpengaruh sepanjang zaman.
Baca juga:
Film Elvis (2022) memberi kesempatan bagi generasi milenial untuk merasakan atmosfer kelahiran The King of Rock and Roll itu sehingga semakin menemukan alasan mengapa Elvis layak jadi legenda. Film Elvis yang rilis pada tanggal 24 Juni 2022 merupakan film kesekian kalinya yang mengangkat tentang kehidupan sang sang mega bintang rock and roll Amerika Serikat. Sebelumnya, telah hadir beberapa karya sinema tentang Elvis Presley seperti Elvis The Movie (1979), drama musikal televisi Elvis Meet Queen (1981), film dokumenter Elvis Meets Nixon (1997), The King (2017), dan Elvis Presley: The Searcher (2018).
Bart Luhrman, sutradara Elvis, mengambil sudut pandang yang berbeda dari film-film Elvis Presley sebelumnya. Luhrman menggunakan Colonel Tom Parker (Tom Hanks) sebagai narator cerita kisah hidup Elvis. Dalam kondisinya yang sudah sakit-sakitan dan terbaring di atas kasur, Parker membuka film tersebut dengan cerita awal perkenalan dan pengalamannya bekerja dengan Elvis Presley di dunia hiburan. Narasi tokoh Parker sekaligus menyelipkan pesan pribadi bahwa dirinya bukanlah orang yang layak dipersalahkan atas kematian Elvis Presley.
Film yang diproduksi oleh Warner Bross Studio ini memberikan nuansa yang baru dalam merakit komponen-komponen yang membangun keseluruhan bagian hidup dari Elvis. Semua aktor dalam film ini tampil dengan sangat ekspresif dan mampu memberikan kesan yang kuat terhadap masing-masing karakter. Sinematografer Mandy Walker berhasil merekam detail-detail kecil gerakan dan gestur Elvis sebagai modal untuk menghidupkan persona musikal sang legenda yang diperankan dengan begitu elegan oleh aktor Austin Butler.
Akar Musikalitas
Film Elvis adalah ensiklopedia sinematik untuk merunut akar musikalitas Elvis Presley. Walaupun tidak lengkap, film ini cukup memberi wawasan baru sekaligus rasa penasaran bagi penonton untuk menelusuri kisah hidup Elvis dari tempat-tempat yang didatanginya, musik-musik yang didengarkannya, dan tokoh-tokoh yang ditemuinya.
Lahir dan besar dari keluarga religius di perkampungan kulit berwarna yang miskin membuat Elvis mempunyai mimpi besar untuk mengangkat harkat dan martabat keluarganya. Sejak kecil, Elvis sangat mengagumi tokoh-tokoh komik superhero. Dari sana, Elvis berimajinasi suatu saat dirinya menjadi superhero. Elvis kecil berpikir bahwa untuk menjadi superhero, seseorang harus mempunyai kekuatan super. Elvis memilih musik sebagai kekuatan supernya.
Masa kecil Elvis di Tupelo, Mississippi sangat berpengaruh membentuk fondasi awal cara bermusik dan aksi Elvis di atas panggung. Hidup di kawasan kulit berwarna, sebutan merendahkan dari masyarakat mayoritas kulit putih Amerika Serikat waktu itu, membuat Elvis sangat akrab dan tertarik dengan dengan kedalaman penjiwaan musik blues. Di sisi lain, kawasan yang sangat religius juga mempertemukan Elvis dengan komunitas gereja yang sering membawakan musik-musik gospel dengan sangat ekspresif.
Boleh dikatakan, racikan rock and roll yang terpengaruh musik blues dan gospel adalah jati diri musik Elvis. Dalam film, ditampilkan musisi-musisi idola Elvis seperti musisi blues Arthur “Big Boy” Crudup (Gary Clark Jr.) dan Little Richard (Alton Mason), penyanyi R&B Big Mama Thornton (Shonka Dukureh), serta musisi gospel Sister Rosetta Tharpe (Yola) dan Mahalia Jackson (Cle Morgan). Film ini juga menampilkan legenda blues BB King (Kelvin Harrison) yang punya pengaruh kuat dalam membentuk penampilan panggung Elvis.
Elvis terkenal karena gerakan tubuhnya saat bernyanyi di atas panggung. Gerakan-gerakan Elvis yang sangat unik dan otentik membakar semangat penonton konsernya. Para penonton tergerak untuk ikut berdansa dan berteriak histeris sepanjang penampilan Elvis. Hal ini sangat tidak lazim di era ketika penonton musik harus tetap tenang dan duduk manis menikmati pertunjukan dari awal hingga pertunjukan selesai seperti saat itu.
“Some people tap their feet, some people snap their fingers, and some people sway back and forth. I just sorta do ‘em al together. I guess,” kilah Elvis ketika mendefinisikan gerakan tubuhnya saat menari di atas panggung.
Kharisma Elvis yang membius penonton ini ditangkap oleh Colonel Tom Parker. Insting bisnisnya menyala terang ketika merasakan kehebohan penonton konser Elvis di sebuah pasar malam. “Now, I don’t know nothing about music, but I could see in that girls eyes, he was a taste of forbidden fruit. She could have eaten him alive. He was my destiny,” ucap Parker dari kejauhan.
Konser demi konser yang dirancang bersama Parker, yang kini menjadi manajer Elvis, dilalui dengan sukses. Semua konser dipadati penonton dan disiarkan langsung di stasiun televisi berbagai negara. Perpaduan antara artis yang cemerlang dengan manajer yang penuh akal membuat karir Elvis melesat bagai pesawat jet. Demam Elvis adalah wabah baru bagi generasi muda Amerika Serikat dan dunia. Hal itu membuat Elvis berhasil mewujudkan impiannya sejak kecil, yaitu membelikan rumah mewah dan mobil Cadillac bagi orang tuanya.
Anti Segregasi Rasial
Hal baru yang bisa penonton dapatkan dalam film ini adalah pemahaman bahwa Elvis juga mempunyai kepekaan politik dan semangat solidaritas untuk melawan diskriminasi. Apa yang ditampilkan Elvis di atas panggung merupakan usaha Elvis untuk menyampaikan sikapnya politiknya.
Gerakan lincah tubuh Elvis di atas panggung dianggap provokatif dan merusak moral. Pemerintah Amerika Serikat mencekal penampilan Elvis di seluruh saluran televisi nasional. Mereka khawatir kepopuleran Elvis melemahkan segregasi antara kulit putih dan kulit berwarna. Pada era ’50-an, supremasi kulit putih masih sangat menghegemoni di Amerika Serikat sehingga muncul diskriminasi terhadap warga dan budaya kulit berwarna.
Elvis diperbolehkan tampil asalkan tidak menyertakan gaya berjogetnya yang mulai populer itu. Alhasil penggemarnya pun kecewa karena tidak menemukan kenyentrikan Elvis yang seperti dulu lagi. Hal itu membuat Elvis frustrasi.
Keresahan hatinya membawa Elvis bertemu BB King di sebuah klub musik. Ia mencurahkan isi hatinya kepada sahabatnya tersebut. BB King membesarkan hati Elvis untuk kembali menampilkan musik sesuai dengan hati nuraninya.
Masa kecil Elvis yang hidup di perkampungan multietnis membuatnya mempunyai semangat berlipat untuk kembali dengan penampilan awalnya. Hal yang harus dibayar Elvis dengan pemberhentian paksa sebuah konsernya dan membuat dia harus menjalani wajib militer sebagai pengganti pilihan yang lebih buruk, yakni penjara.
Akhir Tragis
Kematian ibu yang dicintainya, perpisahan dengan istri, kegagalan impiannya untuk pentas ke negara-negara di luar Amerika Serikat dan percekcokan dengan manajernya yang manipulatif dan eksploitatif membuat masa keemasan Elvis menjadi antiklimaks. Sang manajer sangat memegang kendali ke mana Elvis harus konser dan bagaimana keuangan Elvis dikelola.
Kepadatan jadwal pentas membuat Elvis kelelahan dan mulai mengonsumsi obat-obatan untuk mempertahankan staminanya di atas panggung. Hal itu membuat fisik Elvis semakin ringkih hingga berujung pada kematiannya yang hingga kini masih menyimpan banyak misteri dan memancing perdebatan.
Baca juga:
Film Elvis ditutup dengan adegan ikonik saat Elvis Presley menghibur penonton untuk terakhir kalinya di Market Square Arena pada tanggal 26 Juni 1977, dua bulan sebelum ia meninggal di usianya yang ke-42. Dengan wajah yang pucat dan mengucurkan keringat, Elvis tetap bertahan di depan pianonya sembari mengajak penonton menyanyikan lagu Can’t Help Falling in Love sampai selesai. Lagu ini adalah ungkapan cinta The King of Rock and Roll yang membuatnya abadi sebagai legenda dan ikon budaya modern di seluruh dunia.
Editor: Emma Amelia