“Kita tidak bisa hanya diam menghadapi tantangan baru ketika kita berada dalam masa ideal kita.”
Jin, salah seorang anggota boyband raksasa Korea BTS, di depan Sidang Majelis Umum PBB, mengungkapkan pendapatnya tentang perlunya dunia mengambil tindakan menghadapi bahaya perubahan iklim.
Dunia sejenak terdiam dan mendengarkan. Satu juta orang di seluruh dunia mendengarkan langsung pidato di sidang Umum PBB yang biasanya hanya ditonton ribuan orang.
Tujuh anggota BTS yang terdiri atas Suga, V, RM, Jin, Jungkook, Jimin, dan J-Hope itu berdiri di hadapan para pemimpin negara. Mereka bergantian menyampaikan harapan mereka mewakili generasi muda di seluruh dunia yang gemanya juga diharapkan sampai di Indonesia, di mana hutan-hutannya secara masif ditebang atau dirusak dan lautnya tercemari serta lebih dari 100 juta penduduknya, terutama nelayan dan petani, sudah dan akan segera merasakan langsung dampak buruk perubahan iklim.
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in mengutus boyband BTS sebagai urusan khusus negara untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB (20/9).
Kim Namjoon (Rap Monster/RM) selaku pemimpin grup BTS berdiri di podium dan berpidato dengan Bahasa Korea. Topik utama pidatonya adalah dampak Covid-19 kepada dunia dan generasi muda selama dua tahun terakhir, terutama tentang isu kesadaran lingkungan dan perubahan iklim yang akan berdampak pada kehidupan secara total.
“Perubahan iklim merupakan diskusi yang berat, tetapi ketika mempersiapkan diri untuk hadir di sini, saya mempelajari bahwa ada begitu banyak anak muda yang memiliki minat pada isu lingkungan hidup dan memilihnya sebagai bidang studi,” ujar RM dalam pidatonya.
“Masa depan merupakan wilayah yang belum dijelajahi dan di sanalah kita akan menghabiskan lebih banyak waktu dibanding siapa pun. Jadi anak-anak muda ini sedang mencari jawaban tentang bagaimana menjalani kehidupan mereka kelak,” tambahnya.
Kampanye kepedulian terhadap lingkungan hidup yang dilakukan oleh para pesohor dari negeri ginseng itu sebenarnya bukan hal baru.
Para anggota dari tujuh band K-pop, termasuk Oh My Girl dan AB61X, meluncurkan sebuah kampanye yang dijuluki “Kstars4climate” guna menggugah kesadaran tentang perubahan iklim sehubungan peringatan Hari Bumi 21 April 2020 lalu.
Tiga puluh satu bintang K-pop itu meluncurkan sebuah video tentang berbagai tantangan seputar perubahan iklim. Dalam salah satu klip video, mereka mengutarakan kalimat-kalimat pendek tentang perubahan iklim dan maknanya, dengan harapan pesan-pesan ini akan disambut baik fans mereka di seluruh dunia.
Hyojung dari Oh My Girl mengatakan, “Saya sadar saya bisa melindungi hal-hal yang saya cintai dengan ikut menjaga lingkungan. Saya suka mendaki gunung, menikmati alam dan memandang bintang-bintang. Akan mengerikan jika tidak bisa lagi menikmati hal-hal yang menjadi bagian yang sangat berarti dalam hidup saya.”
Jeon Woong dari band K-pop AB61X menyarankan agar fansnya menggunakan gelas tumbler yang dipakai ulang sebagai pengganti gelas plastik sekali pakai.
“Saya merasa keren kalau menyerahkan gelas tumbler kepada kasir dan minta ‘tolong tuangkan minuman saya ke dalam tumbler ini’,” kata Jeon.
Baru-baru ini (18/9) grup musik asal Inggris Coldplay juga menyuarakan pentingnya komitmen dalam menjaga bumi dari pemanasan global melalui cuitan di media sosial twitter resmi mereka.
Dalam cuitannya, Coldplay menyebut dan “menantang” beberapa pemimpin negara untuk serius berkomitmen dalam upaya menjaga bumi dari perubahan iklim yang semakin ekstrem. Mereka menyebut Presiden Indonesia, Joko Widodo; Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg; Menteri Pembangunan Internasional Norwegia, Dag Inge Ulstein; Presiden Prancis, Emmanuel Macron; serta Ketua Parlemen Amerika Serikat, Nancy Pelosi.
“Ketika Anda memulai, maka yang lain akan mengikutinya,” kata band tersebut dalam cuitan yang menandai Presiden Joko Widodo.
Di Indonesia sendiri, tidak sedikit pesohor tanah air yang giat melakukan kampanye untuk membangun kesadaran pentingnya menjaga lingkungan hidup. Misalnya, Nadine Chandrawinata yang mendirikan organisasi non-pemerintah, Sea Soldier, yang fokus mengurusi alam bawah laut; Hamish Daud yang membangun yayasan Indonesian Ocean Pride; Nicholas Saputra yang pernah membuat film dokumenter tentang lingkungan hidup berjudul Semesta.
Para pesohor itu sadar akan pengaruh yang bisa mereka ciptakan dan dengan bijak menggunakannya untuk menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan. Namun, persoalan utamanya bukanlah soal kampanye yang sudah kerap dilakukan. Apakah suara mereka mampu bukan hanya mengajak para penggemarnya untuk peduli lingkungan, tetapi juga mampu mengetuk nurani para pemangku kebijakan yang punya andil besar dalam mempercepat atau menahan laju pemanasan global?
Bulan depan, tepatnya 12 Desember 2021, kita akan memperingati enam tahun Perjanjian Paris. Perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim ini diadopsi oleh 196 pihak pada COP21 di Paris pada 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada 4 November 2016. Indonesia sebagai salah satu pihak yang menandatangani Perjanjian Paris telah meratifikasinya dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.
Dalam Perjanjian Paris, semua pihak dengan mempertimbangkan prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities, diharuskan membuat kebijakan dan aksi iklim untuk mencegah suhu bumi tidak melewati ambang batas 2 derajat celsius dan berupaya maksimal untuk tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri.
Hampir genap enam tahun sejak Perjanjian Paris disepakati, konsentrasi gas rumah kaca terutama dari penggunaan energi fosil belum menunjukkan tren mencapai puncaknya dan kemudian menurun. Dari tahun 1990-2019, emisi dari penggunaan energi fosil mencapai 38 Gt CO2, naik rata-rata 0,9% pertahun antara 2010-2019. Pada tahun 2020, emisi dari penggunaan energi fosil tersebut turun sebesar 7% dari jumlah emisi tahun 2019 karena faktor pandemi dan perlambatan ekonomi global. Meski demikian, secara umum emisi gas rumah kaca belum menunjukkan gambaran akan mencapai puncak dan konsisten menurun setelahnya.
Di sisi lain, sumber energi fosil masih menjadi tumpuan pemenuhan energi nasional, sekaligus menjadi pundi-pundi utama pendapatan ekspor untuk Indonesia. Ekspor Indonesia masih bergantung pada ekstraksi sumber energi kotor seperti batubara, tidak jauh berbeda dengan masa lalu. Agenda untuk mentransformasi ekonomi untuk mengandalkan sumber daya ramah lingkungan masih jadi isapan jempol belaka, di tengah semakin menguatnya keberpihakan pemerintah pada pelaku industri kotor itu.
Dikutip dari Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), kebijakan iklim Indonesia memang belum berorientasi pada pemenuhan hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta tidak mencerminkan keadilan antargenerasi sebagaimana amanat pasal 28H ayat (1) UUD 1945, pasal 9 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hak Atas Lingkungan Hidup merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang semestinya dapat dilaksanakan dalam bentuk hak warga negara untuk mengambil bagian peran serta, hak banding dan persetujuan dalam setiap kebijakan yang berdampak pada lingkungan hidup. Namun sayangnya, negara belum menjalankan kewajiban memenuhi, melindungi dan menghargai hak atas lingkungan hidup warga. Kebijakan iklim Indonesia juga masih menempatkan generasi muda menjadi sekadar objek dari kebijakan tanpa mempertimbangkan aspirasi mereka dan generasi mendatang.
Jika situasi ketidakadilan baik intragenerasi maupun antargenerasi terus dibiarkan, maka cita-cita Indonesia Emas 2045 dan bonus demografi 68% penduduk usia produktif hanya akan menjadi sekadar imajinasi. Generasi mendatang hanya akan mewarisi kerusakan bentang alam mulai dari Sumatera hingga Papua, mulai dari lanskap pesisir, pulau kecil hingga pegunungan.
Penelitian terkini seperti tertuang dalam Laporan Khusus Lembaga Panel Ahli Antar Pemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) tahun 2018, menunjukkan target 2 derajat celsius tidak cukup menghindari bencana iklim.
Peningkatan suhu bumi 0,5 derajat celcius saja menyebabkan konsekuensi fatal bagi penduduk bumi dan ekosistem. Dampak tersebut akan lebih parah dirasakan oleh negara-negara di belahan bumi selatan, termasuk Indonesia. Kondisi geografis Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim ekstrem dan kenaikan muka air laut, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan puluhan juta orang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil, risiko tersebut menjadi berlipat ganda. Proyeksi dari Climate Central menyebutkan bahwa setidaknya 23 juta orang di Indonesia akan terdampak langsung dan dipaksa menjadi pengungsi internal jika kenaikan muka air laut mencapai 0,6-2 meter di akhir abad.
Fenomena tersebut sudah dialami oleh komunitas masyarakat di garis depan yang terdampak krisis iklim, seperti di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang dihantam banjir rob dua kali tahun ini, sesuatu yang belum pernah terjadi selama 65 tahun terakhir. Komunitas nelayan di pesisir Nambangan dan Cumpat, Surabaya yang dihantam “angin timur pamitan” yang menyebabkan gelombang tinggi dan banjir rob serta merusak puluhan kapal nelayan. Desa Matawai Atu, di pesisir Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur yang tergerus abrasi hingga 100 meter. Pada awal 2020, WALHI Sumatera Selatan melaporkan bahwa Pulau Betet dan Pulau Gundul, di Kabupaten Banyuasin telah tenggelam, masing-masing 1 dan 3 meter di bawah permukaan air laut. Ini hanya sebagian kecil potret kerentanan dan dampak iklim pada komunitas di garis depan.
Dampak nyata di depan mata, minimnya kesadaran, serta kebijakan yang tidak mendukung pelestarian lingkungan adalah masalah utama dari sekian banyak tantangan tambahan bagi kita dalam menghadapi perubahan iklim ekstrem di masa mendatang. Melalui media sosial, para pesohor mengajak kita untuk peduli dan memulai aksi sederhana dalam menjaga lingkungan. Kampanye mereka bisa mengumpulkan jutaan like, ratusan ribu komentar, dan dibagikan ke seluruh dunia. Namun, aksi sebenarnya tidak bisa selesai hanya di ruang debat dunia maya.
Bumi semakin panas dan itu menjadi semacam alarm bagi kita, untuk tidak hanya peduli terhadap lingkungan karena para idola kita sedang menyuarakannya. Sebab, pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab kita semua. Tanggung jawab kita sebagai manusia. Layaknya seorang tuan menjaga rumahnya.