Kehadiran Voice of Baceprot dalam skena musik metal adalah fenomena unik. Beranggotakan tiga wanita hijaber, pada 2021 lalu band ini menggoncang jagat maya Indonesia dengan kabar tur Eropa mereka. Band metal asal Garut ini mengentak panggung lewat tur yang bertajuk Fight Dream Believe.
Konser ini barangkali menjadi awal perjalanan mereka di panggung internasional. Meskipun berlangsung saat wabah Corona masih mengintai, dan beberapa konser terpaksa dibatalkan, dari segi antusias dan jumlah penonton, rangkaian konser ini terbilang sukses.
Mereka punya keunikan berlapis. Marsya, Widi, dan Siti adalah perempuan berhijab yang bermain musik, apalagi musik yang mereka bawakan adalah musik metal yang tidak umum. Skena metal sendiri, umumnya diisi oleh kaum adam dan sering kali dipandang negatif. Namun, Voice of Baceprot (VoB) diisi oleh kaum hawa yang mempertahankan sisi religius mereka.
Baca juga:
Dorongan Karier
Perjalanan musik mereka berawal dari ekstrakurikuler di Madrasah Tsanawiyah (SMP). Lewat kelompok teater, bakat seni anggota VoB digembleng. Salah satu sosok yang punya andil adalah guru BK sekaligus pembina teater yang kerap mereka panggil Abah Erza. Ia yang mengenalkan anggota VoB kepada musik metal. Setelah itu, mereka dilatih bermain istrumen musik. Bahkan katanya, mereka berlatih dari nol. Jadi, bila ingin berterima kasih, sepertinya mereka (dan kita) harus berterima kasih kepada Abah Erza.
Dari VoB, kita bisa belajar bahwa bakat di bidang musik juga merupakan prestasi. Lembaga pendidikan harus mengakui bahwa prestasi tak selalu diraih dari ranah akademik. Selain mendidik, guru perlu melihat dengan jeli bakat dan minat dari anak didiknya. Meskipun dalam melakukannya butuh tenaga lebih, guru dan sekolah harus mampu dan mau memberi ruang bagi mereka yang punya bakat di luar akademik.
Baca juga:
Melawan Lewat Musik
Kepekaan sosial mendorong para anggota VoB untuk memberontak. Hidup di tengah masyarakat yang agamis dan konservatif, kebebasan mereka dikekang banyak garis aturan.
Dalam masyarakat konservatif, seorang gadis diharapkan diam di rumah, membantu pekerjaan orang tua, dan mengaji. Ketika sudah beranjak dewasa dan siap, hendaknya mereka menikah, membina rumah tangga, lalu punya keturunan, bukannya malah bermain musik metal yang notabene dianggap sebagai musik nakal. Musik metal juga kerap disebut sebagai musik pemuja setan. Selain itu, mereka juga harus berhadapan dengan omongan orang sekitar yang menanggap bahwa anak band itu tak punya masa depan.
Pola pikir dan kebiasaan masyarakat semacam ini yang mereka lawan. Perempuan harus melihat dunia yang luas dan berhak bermimpi setinggi-tingginya. Mimpi perempuan tak bisa dicapai ketika dihalangi oleh aturan-aturan yang diskriminatif terhadap mereka.
Melalui karya musik, VoB menceritakan dan melawan keresahan. Mereka meminta izin kepada Tuhan untuk bermain musik. Hal ini dituangkan dalam lirik lagu “God, Allow Me (Please) to Play Music”. Lewat lagu ini, mereka menggugat kenyataan bahwa manusia sering menggunakan agama untuk melarang musik. Para musisi bukanlah penjahat, bukanlah musuh, bukan pula koruptor. Mereka hanya ingin menyuarakan idealismenya.
Bila dicerna liriknya, isi lagu mereka sangat fundamental, apalagi ketika dilihat dari perspektif agama. Pemahaman agama yang menolak musik (meskipun minoritas) tetap menjadi problem tersendiri. Apalagi musisinya adalah perempuan dan musiknya musik cadas. Benturan keras bisa terjadi.
Seorang muslim yang bermain musik sering “diharam-haram”-kan oleh sebagian orang. Golongan Islam konservatif secara tegas menolak musik. Jika ada muslim yang bermain musik, berarti ia telah melanggar hukum agama. Sebagian muslim yang lain masih memberi kelonggaran ruang bagi musik. Kesenian ini boleh ditekuni selama tidak mengandung mudarat. Boleh atau tidaknya musik, tidak menjadi bagian dalam tulisan ini. Biarkan para ahli agama yang memberikan dan menuntaskan perdebatan ini.
Baca juga:
Bersuara untuk Perempuan
Beranggotakan perempuan, VoB turut menyuarakan isu-isu perempuan. Bisa jadi ini adalah cara mereka menuangkan keresahan sejak kecil. Dalam lagu “[Not] Public Property” , mereka menyatakan bahwa tubuh perempuan bukanlah properti publik yang semua orang boleh sembarangan memilikinya. Mereka melawan pikiran-pikiran seksis dan kotor. Musik di dalam lagu ini tak segarang musik-musik sebelumnya.
Distorsi gitar yang halus dan gebukan drum yang lebih kalem sepertinya disengaja agar pesan lirik lebih tersampaikan. Bila dibandingkan dengan lirik-lirik sebelumnya, lagu “[Not] Public Property” punya lirik yang lebih banyak dan padat. Barangkali ini dilakukan agar inti lagu lebih mudah diterima, atau bisa jadi mereka ingin mengeksplorasi musik yang lain agar tidak monoton. Teknik slap bass Widi juga lebih kentara, khas musik funk.
VoB masih harus menerima banyak tuduhan dan makian karena lirik lagu mereka yang menyuarakan isu-isu perempuan. Mereka sering disebut sebagai Feminis puber karena dianggap masih terlalu muda untuk menyuarakan isu ini. Bahkan, mereka juga sering dituduh sebagai Social Justice Warior (SJW). Hal ini harus mereka terima sebagai konsekuensi memperjuangkan idealisme.
Pertanyaan, apakah mereka akan konsisten menyuarakan isu-isu ini? Jawabannya adalah “tergantung”. Maksudnya, penyuaraan keresahan tentu tergantung isu yang berkembang di masyarakat dan yang mengusik pikiran mereka. VoB berisikan anak-anak muda yang akan terus tumbuh. Idealisme mereka akan terus bergerak seiring pengetahuan dan pengalaman. Dengan terus berkarya dan bersuara, bukan tidak mungkin VoB dapat mengubah pandangan masyarakat lewat pesan dalam musik mereka.
VoB telah memahat sejarah sebagai band metal berhijab pertama yang melakukan tur internasional. Bukan hanya pertama di Indonesia, tetapi juga pertama di dunia. Dengan usia yang masih belia, mereka menunjukkan bahwa perempuan bisa berkarya dan bersuara. Lewat pesan dalam musik mereka, VoB telah melawan anggapan ketidakberdayaan.
Editor: Prihandini N