Seorang mahasiswi filsafat yang gemar menulis dan makan lasagna

L’etranger: Upaya Berbahagia dalam Tragedi

Beatrix Ferreira

3 min read

Apa yang akan Anda lakukan saat ibu Anda meninggal dunia? Merasa kehilangan lalu menangisi jasadnya seraya mendoakan jiwanya yang terbebas dari belenggu duniawi, atau sebaliknya, tidak merasakan kehilangan sambil merokok dan menyeruput secangkir kopi.

Pilihan kedua merupakan hal absurd. Namun, itulah yang dilakukan Meursault, tokoh utama dalam novel L’etranger (Orang Asing) karya Albert Camus. Ia tidak merasa kehilangan ataupun menangis ketika mendapat kabar bahwa ibunya meninggal di sebuah panti jompo.

Absurditas L’etranger

Dalam novel berjudul L’etranger (orang asing) ini Anda dapat menemukan hal-hal absurd dalam bagian pertama dan bagian kedua. Hal-hal absurd tersebut menjadi ciri khas yang perlu ditelisik lebih dalam.

Bagian pertama buku ini mengisahkan tentang kehidupan Meursault yang berjalan dengan repetitif setelah kematian ibunya, disertai dengan serangkaian konflik antar tokoh di dalamnya. Nantinya konflik tersebut akan mengantarkan tokoh utama kita (Meursault) pada hukuman mati, yang akan di bahas lebih lanjut di bagian kedua.

Dalam bagian pertama tertulis:

“Di permukaan cermin terlihat bayangan seonggok meja yang di atasnya teronggok lampu minyak dan beberapa potong roti. Itu menyadarkan aku betapa aku seolah-olah sudah melewati hari Minggu yang lain, bahwa hari ini Ibu sudah selesai dikuburkan dan besok aku kembali bekerja seperti biasa. Sungguh, rasanya seperti tak ada perubahan berarti dalam hidupku.”

Kematian ibunya tak membawa perubahan dalam hidup Meursault. Hidupnya tetap berjalan seperti biasa tanpa adanya perubahan. Kehidupan repetitif yang terus berlanjut ini dapat digolongkan sebagai salah satu hal yang absurd tetapi terjadi juga di dunia nyata.

Dalam bagian kedua dituliskan bahwa Meursault dijatuhi  hukuman mati sebab telah membunuh orang Arab. Namun, Meursault tidak merasa keberatan dengan hukuman mati tersebut. Ia menghadapi hukuman itu dengan bahagia. Bahkan Meursault juga berharap pada hari kematiannya, orang-orang akan ikut menonton dan memberinya hujatan atas apa yang telah ia perbuat.

“Aku yang merasakan perasaan yang seperti itu, perasaan yang datang membawa persaudaraan yang akrab, sungguh membuat aku sadar bahwa aku pernah bahagia dan aku akan tetap bahagia. Segalanya telah usai. Dan aku tidak lagi merasa kesepian. Semua yang tersisa ialah harapan, semoga saja pada hari pelaksanaan hukuman mati atas diriku, akan banyak orang yang menonton. Dan mereka akan memberikan penghormatan kepadaku dengan meneriakkan kata-kata penuh kebencian.”

“Sungguh membuat aku sadar bahwa aku pernah bahagia dan aku akan tetap bahagia.” Kalimat tersebut berhubungan erat dengan salah satu kalimat pada esai filsafat yang juga ditulis oleh Albert Camus, yang berjudul Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus). Dalam esai tersebut tertulis, “seseorang harus membayangkan Sisifus bahagia.”

Sisifus sendiri merupakan salah satu tokoh mitologi Yunani, yang dihukum untuk mengangkat bongkahan batu besar ke atas bukit. Namun, bongkahan batu itu akan kembali berguling ke bawah pada sisi bukit yang lain, dan Sisifus harus kembali mengangkatnya, begitu seterusnya Sisifus menjalani hukumannya. Sisifus mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, tapi bagi Camus, seseorang di luar sana harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia.

Kita dapat mengerti bahwa Meursault berdamai dengan absurditas yang terjadi dalam hidupnya dengan menghadapi kenyataan yang ada. Sebab mencari-cari makna kehidupan yang absurd ini adalah sia-sia. Maka dari itu, kunci menjalani hidup yang absurd adalah memberontak, dengan cara menghadapinya.

Tokoh utama kita juga digambarkan seperti Sisifus yang terjebak dalam kehidupan yang repetitif, yang selamanya hanya akan menjalani hidup untuk memenuhi tuntutan eksistensi.

Meursault yang Terkutuk

Ada baiknya kita mengetahui beberapa fakta dalam buku L’etranger (orang asing) bahwa Meursault merupakan nama pena Albert Camus dalam jurnalisme. Tidak hanya itu, Sintes, salah satu tokoh yang berhubungan erat dengan Meursault, yang bekerja sebagai germo, merupakan nama dari Ibu Camus, dan fakta bahwa Albert Camus juga seorang murid di Aljazair dan bekerja sebagai staf seperti yang dilakukan oleh Meursault. Hal ini membuktikan bahwa ia menggambarkan tokoh tersebut dari realitas yang terjadi dalam hidupnya sendiri.

Meursault digambarkan sebagai seorang Absurdis. Beberapa orang menggambarkan Meursault sebagai sosok martir atau pahlawan karena menjunjung tinggi sebuah kebenaran. Namun, Camus sendiri menggambarkan Meursault sebagai orang yang terkutuk.

Dalam buku Albert Camus of Europe and Africa yang ditulis oleh O’Brien Connor Cruise pada tahun 1970, dan diterbitkan oleh Viking Press di New York, tertulis demikian:

“Tokoh utama dalam buku ini terkutuk sebab ia tak bermain dalam permainan. Dalam hal ini ia merupakan orang asing bagi lingkungan sekitar tempat ia tinggal. Ia hanyut dan terpinggirkan, hidup di pinggiran kota, dan menyendiri. Inilah mengapa, beberapa pembaca menggambarkannya sebagai orang yang terlantar. Anda akan memiliki gagasan yang lebih tepat tentang karakter ini, atau satu peristiwa yang paling sesuai dengan maksud penulis, jika Anda bertanya pada diri sendiri dengan cara apa Meursault tidak memainkan permainan itu. Jawabannya sederhana: Dia menolak untuk berbohong. Berbohong bukan hanya mengatakan apa yang tidak benar. Namun juga mengatakan lebih dari yang benar, dan sejauh bersangkutan dengan hati manusia, mengatakan lebih dari satu perasaan.”

“Inilah yang kita semua lakukan setiap hari untuk menyederhanakan hidup. Meursault, terlepas dari penampilannya, tidak ingin menyederhanakan hidup. Dia mengatakan apa yang benar. Dia menolak untuk menyembunyikan perasaannya dan hal itu membuat masyarakat merasa terancam. Dia diminta untuk mengatakan bahwa dia menyesali kejahatannya. Namun dia  menjawab bahwa dia merasa lebih jengkel daripada menyesal, dan hal tersebut mengutuknya.”

Kutukan yang diterima oleh Meursault sebagai manusia yang menolak untuk menyembunyikan perasaan dan memilih untuk mengatakan kejujuran merupakan hal yang absurd. Meursault memilih untuk menjadi absurdis di mana ia menyerahkan seluruh kehidupannya dalam kebenaran, sekalipun hal tersebut membuatnya menjadi terkutuk.

Kutukan yang dialami oleh Sisifus juga disebabkan oleh kebenaran yang ia ungkapkan kepada Dewa Sungai Asopus. Ia mengkhianati salah satu rahasia Zeus dengan mengungkapkan keberadaan Aegina kepada ayahnya, Dewa Sungai Asopus, dengan imbalan mengalirnya mata air di Akropolis Korintus.

Albert Camus menggunakan analogi Sisifus untuk menggambarkan Meursault yang terkutuk dalam kehidupan yang absurd ini. Dalam hal tersebut kita juga dapat mengetahui bahwa manusia dituntut oleh eksistensinya selama ia hidup di dunia. Jalan satu-satunya untuk bertahan hidup adalah dengan menghadapi absurdnya kehidupan, seperti yang dilakukan oleh Meursault. Meursault sendiri telah membayangkan bahwa Sisifus telah bahagia dengan menjalani kehidupan yang telah ia tentukan, sekalipun kehidupannya berakhir dengan tragis.

***

Editor: Ghufroni An’ars

 

Beatrix Ferreira
Beatrix Ferreira Seorang mahasiswi filsafat yang gemar menulis dan makan lasagna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email