Moralitas dan Dekonstruksi Prank

Angga Pratama

3 min read

Saat ini, kita sering melihat konten di media sosial yang memancing gelak tawa. Misalnya kita dapat tertawa ketika melihat video seseorang dikejar ayam atau anjing. Tidak lupa kita meninggalkan komentar yang mengungkapkan bahwa hormon dopamin dan endorfin kita meningkat setelah menyaksikan konten tersebut. Akibatnya, para pembuat konten akan terpacu membuat sesuatu yang terus mengundang gelak tawa bagi orang-orang, meskipun mengesampingkan nilai moral.

Lalu, apakah seorang pembuat konten mampu menghasilkan ide segar terus-menerus? Tentu tidak. Beberapa di antaranya membuat konsep konten media sosial yang cenderung tidak berlandaskan nilai-nilai moral. Beberapa konten prank di media sosial bisa menyebabkan trauma dan kerugian, misalnya konten prank sembako isi sampah hingga prank penculikan anak yang baru-baru ini viral di jagat dunia maya.

Kini prank sudah menjadi fenomena. Ketika meninjau baik atau tidaknya suatu fenomena, kita akan dihadapkan pada beberapa titik tolak untuk menilai, salah satunya moralitas. Kita dapat mengaitkan moralitas pada praksis melalui pengamatan dan perasaan ketika berinteraksi. Moralitas membayangi seluruh perilaku formal dan nonformal sehingga kita perlu mencari nilai-nilai yang sudah semestinya diterapkan. Ketika berbicara tentang moralitas, akan lebih relevan ketika kita memasuki kerangka metamodernisme yang merujuk pada sintesis antara modernisme dan posmodernisme—kali ini kita tidak akan merujuk secara dalam tentang metamodernisme, namun kita akan cenderung melihat gagasan moralitas yang carut marut di tengah upaya sintesis modernisme dan posmodernisme.

Baca juga:

Moralitas dalam Kacamata Immanuel Kant

Berbicara tentang moralitas, sepertinya kurang relevan apabila kita melangkahi prinsip-prinsip etika dan moral yang diajarkan Immanuel Kant. Menurut Kant, moralitas adalah suatu kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma-norma yang berlaku—ia merujuk pada segala sesuatu yang dipandang sebagai kewajiban.

Ketika kita membahas moralitas yang dipaparkan Kant, kita juga akan memasuki pembahasan yang menyatakan bahwa di dalam moralitas terdapat dorongan untuk bertindak—ada kehendak baik yang timbul dan seolah-olah memerintah seseorang, namun tidak memaksa. Kant menyebutnya sebagai imperatif kategoris.

Misalnya ketika kita melihat nenek-nenek kesulitan membawa barang belanjaan yang berat dan banyak. Saat melihat nenek itu, dari dalam diri kita akan timbul dorongan mutlak dan berbentuk keharusan yang tidak memaksa. Akibatnya kita akan membantu nenek tersebut membawakan sebagian belanjaannya. Kita tidak mengharapkan imbalan apapun dari nenek tersebut (misalnya uang atau makanan). Kita melakukannya tanpa terpaksa dan atas dorongan batiniah sesama manusia.

Menurut Kant, terdapat aturan kesusilaan umum yang berlaku bagi setiap orang. Ia menekankan bahwa moralitas bukanlah dominasi atau monopoli suatu agama atau bangsa, melainkan sebagai kekayaan batiniah manusia dan tidak dipengaruhi sesuatu di luar diri manusia. Modernisasi yang terjadi saat ini bertujuan untuk memudahkan kehidupan manusia di masa depan. Manusia yang senantiasa berkembang hingga membentuk teknologi canggih tidak jarang akan terbentur nilai-nilai moral tertentu.

Materialisme manusia yang memudahkan aktivitas sering tidak berjalan seimbang dengan pembentukan kepribadian dan dimensi batiniah (etika dan moral). Tidak jarang dimensi material jauh lebih berkembang dibandingkan dengan dimensi batiniah seseorang. 

Kunci utama dari filsafat moral Kant adalah imperatif kategoris—beberapa pertanyaan yang dapat kita simpulkan sebagai titik yang sangat diperhatikan oleh Kant antara lain: 1) apa yang dapat saya ketahui? 2) Apa yang harus saya kerjakan? 3) Apa yang boleh saya harapkan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja akan berkaitan erat dengan nilai-nilai etis dari konten di media sosial dan interaksi sosial.

Dekonstruksi Kata “Prank”

Secara umum kata “prank” merujuk pada “lelucon”. Secara harfiah kita mengenal prank sebagai tindakan yang dilakukan dalam keadaan sadar untuk memberikan hiburan kepada orang lain. Kita memaknai “prank” sebagai salah satu cara untuk menghibur seseorang. Dengan kata lain, prank adalah salah satu cara untuk menghilangkan kesedihan parsial manusia.

Oleh karena itu, kita sering mendapati konsep prank (lelucon) beroposisi dengan konsep kesedihan atau kekecewaan. Oposisi biner ini bertahan cukup lama hingga prank mulai keluar dari jalur yang semestinya. Prank mulai meleburkan dirinya dan mendekonstruksikan makna umum yang terkandung di dalam katanya. Dewasa ini, makna prank sudah berubah dari yang mulanya sebagai lelucon menjadi salah satu tindakan yang dapat menimbulkan pengalaman traumatis dan luka psikologis yang dalam.

Baca juga:

Perkembangan manusia dan teknologinya berjalan tidak seimbang. Hal ini menyebabkan prank berkembang tidak sejajar dengan pemahaman manusia tentang nilai etis dan moralitas. Pada tahun 2020, kita dihebohkan dengan konten prank Ferdian Paleka yang memberikan sembako berisi sampah kepada transpuan. Pada paruh terakhir 2022, publik heboh dengan konten prank penculikan anak yang dilakukan beberapa orang dengan menakut-nakuti anak kecil ketika pulang sekolah.

Tindakan prank atau lelucon tersebut sudah jelas melanggar nilai moralitas dan dorongan untuk memenuhi standar intelektual imperatif kategoris. Kesenjangan antara unsur material dibandingkan batiniah menyebabkan seseorang gagal menilai baik atau buruknya suatu tindakan sebelum melakukannya. Kita tidak dapat lagi secara harfiah mendefinisikan prank sebagai lelucon yang membantu atau menghibur. Saat ini beberapa prank bertendensi merusak mental dan menyebabkan pengalaman psikologis yang sangat buruk bagi korbannya.

Kapitalisme yang membuat manusia berorientasi pada keuntungan materil menyebabkan beberapa content creator menutup mata dan mengesampingkan nilai moral demi uang dan ketenaran. Tentu saja tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Para pelaku harus ditindak tegas sesuai dengan aturan yang berlaku. Di sini imperatif kategoris dapat berubah menjadi hipotesis karena didorong oleh adanya stimulus tindakan destruktif prank. Imperatif hipotesis ini didasari perintah mutlak untuk melakukan sesuatu agar dapat mencapai suatu tujuan. Dekonstruksi kata “prank” bertujuan untuk menganalisis dan mengidentitikasi perilaku destruktif para pelaku konten prank yang menyebabkan kerugian bagi korbannya.

Kita harus menyisipkan rasa curiga dan sinisme pada konten prank yang beredar di media sosial. Kita harus menyadari bahwa ada kemungkinan korban prank mengalami hal-hal buruk yang tidak diinginkan di masa depan. Kita bisa mencegahnya dengan menyadari nilai etis manusia tidak sepenuhnya dapat diukur dari sirkulasi kapital. Tidak semua kegiatan yang menghasilkan uang dan ketenaran dapat membawa kebaikan bagi manusia lainnya.

Kita harus melepaskan sebagian prinsip materialitas untuk mendapatkan keseimbangan unsur batiniah dan materi. Ketika hal tersebut dapat dilakukan, perkembangan manusia akan condong pada perilaku yang konstruktif dan humanis.

 

Editor: Prihandini N

Angga Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email