Sekolah yang kondisinya sangat memprihatinkan berhasil disulap oleh seorang guru perempuan mantan anggota militer menjadi sekolah yang mampu mentransformasi anak-anak miskin India dan mampu mengalahkan sekolah-sekolah unggulan. Begitulah gambaran inti cerita pada film Raatchasi yang disutradarai Sy Gowthamraj pada tahun 2019. Film yang menyentuh dan menginspirasi jutaan orang itu sangat mirip dengan keadaan di Indonesia di mana tidak semua anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang sama. Ada sekolah unggulan yang jauh berbeda dengan sekolah non unggulan baik dari fasilitas maupun kualitas guru.
Tidak ada yang perlu dirahasiakan, betapa pendidikan kita dari dulu sampai sekarang mengalami banyak permasalahan seperti gedung sekolah, kualitas guru, kesejahteraan guru, kurikulum, zonasi dan sebagainya. Perbaikan-perbaikan dilakukan dengan tujuan mencetak generasi Indonesia emas. Namun, perbaikan-perbaikan itu seakan hanya menjadi rencana tanpa ujung.
Belum juga kita merasakan dampak dari kurikulum merdeka belajar, pemerintah sepertinya menyiapkan pengganti kurikulum tersebut. Pemerintah yang baru tidak hanya menyiapkan kurikulum baru atau mengubah kebijakan lama seperti Zonasi dan Ujian Nasional, tetapi juga menyiapkan satu program baru yakni Sekolah Unggulan atau Sekolah Garuda.
Sekolah untuk Semua
Undang-Undang Dasar 1945 sudah dengan jelas menekankan hak pendidikan kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Pendidikan bahkan ditekankan menjadi kewajiban seluruh rakyat Indonesia, sehingga muncullah wajib belajar. Pemerintah bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan di seluruh wilayah Nusantara, sekaligus memastikan pendidikan itu berjalan dengan baik. Amanah Undang-Undang Dasar tersebut menekankan bahwa negara hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan formal (baca: sekolah).
Baca juga:
Sekolah Garuda yang akan dibangun pemerintah bertujuan untuk memfasilitasi anak-anak dengan kecerdesan di atas rata-rata mendapatkan fasilitas dan kualitas guru yang juga di atas rata-rata sekolah pada umumnya. Sekolah semacam ini pernah dibubarkan MK pada tahun 2013 setelah berdiri sejak tahun 2006. RSBI atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional didirikan dengan tujuan dan sistem yang mirip dengan Sekolah Garuda ini, menggunakan bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, guru rata-rata lulusan S2, serta jumlah sekolah yang terbatas pastinya. Sekolah ini dibubarkan setelah dianggap menciptakan kesenjangan pendidikan.
Kesenjangan pendidikan itu terjadi karena tidak semua menikmati pendidikan yang sama. Pendidikan tidak seharusnya membedakan antara miskin dan kaya, kota dan desa. Tetapi fakta yang terjadi di masyarakat kita, orang-orang ekonomi lemah cerderung tidak dapat menikmati pendidikan yang baik seperti orang-orang kaya. sekolah-sekolah unggulan negeri banyak dihuni anak-anak kelas ekonomi menengah atas. Mungkin saja di kota-kota besar sekolah unggulan banyak dikuasai sekolah swasta, namun di daerah-daerah tingkat kabupaten dan kecamatan sekolah negeri adalah unggulan dan favorit.
Jika Sekolah Garuda dibuat untuk meberikan akses sebaik mungkin bagi anak-anak cerdas, kenapa tidak sekolah Garuda diperuntukan untuk anak-anak cerdas tapi kurang mampu di pelosok Nusantara. Dengan begitu akses pendidikan yang baik dapat dirasakan bukan hanya di kota-kota besar. Tidak salah jika pemerintah bertujuan untuk membuat sekolah unggulan, namun urgensi pemerataan pendidikan untuk semua kalangan jauh lebih penting.
Menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam ruang-ruang pendidikan formal sangat penting untuk masa depan bangsa. Kualitas pendidikan kita salah satunya tercermin dari jumlah pengangguran disebabkan banyak anak-anak Indonesia yang meskipun telah menyelesaikan studi di tingkat SMA, namun kualitasnya jauh berbeda dengan alumni SMA dari sekolah yang berkualitas. Keadilan pendidikan seyogyanya menjadi perhatian lebih agar kita tidak lagi menjadi penonton di rumah sendiri.
Sekolah tanpa Jarak
Sekolah Garuda akan menciptakan gap antara sekolah unggulan yang sudah ada dan sekolah non unggulan yang bertebaran di daerah-daerah dan kota-kota besar. Meskipun Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie mengatakan tidak akan ada dikotomi, Sekolah Unggulan Garuda ini tetap akan menimbulkan dikotomi dalam masyarakat. Kecemburuan antara murid, orang tua dan guru akan menimbulkan masalah baru.
Jika betul-betul sekolah ini dibuka, masyarakat patut mempertanyakan proses seleksinya. Sekali lagi kita tidak bisa memungkiri praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih mandarah daging. Peluang antara si miskin dan si kaya untuk mengakses Sekolah Garuda bisa saja berbeda. Ada banyak faktor penghalang si miskin daripada si kaya. Anak-anak miskin di pelosok Papua atau daerah lainnya, meskipun cerdas belum tentu mendapatkan akses yang baik untuk masuk ke Sekolah Garuda. Masalah ketersediaan informasi, jalur seleksi dan alat pendukung lainnya bisa menjadi penghambat si miskin.
Baca juga:
Ditambah lagi, lulusan-lulusan Sekolah Garuda seakan telah menggaransi masa depan cerah daripada pada lulusan daripada sekolah lain. Jangan sampai Sekolah Garuda menjelma seperti sekolah ikatan dinas. Sekolah Garuda menciptakan kesenjangan dalam jangka pendek dan jangka panjang yang keduanya berimbas pada kecemburuan dan masalah sosial.
Dalam film Raatchasi digambarkan bagaimana keadaan ekonomi menentukan level pendidikan dan jangka panjangnya menentukan pekerjaan. Tidak ada yang menggaransi bahwa anak-anak orang kaya lebih cerdas daripada orang miskin, tetapi dengan fasilitas sejak usia dini anak-anak orang kaya jelas mendapatkan suplemen lebih baik, dari segi makanan, lingkungan dan fasilitas pendukung lainnya. Pendidikan harus adil dan pendidikan harus dirasakan semua anak-anak Indonesia. Daripada membangun sekolah unggulan yang menelan biaya tidak sedikit, sebaiknya pemerintah fokus memperbaiki sistem pendidikan yang telah ada dan membangun sekolah-sekolah yang layak bagi anak-anak Indonesia.
Raison D’etre pendidikan adalah untuk memecahkan masalah-masalah sosial, bukan menciptkan masalah-masalah baru. Alasan kehadiran pendidikan formal buka pula untuk mencetak beberapa manusia unggul, melainkan mencerahkan masyarakat secara luas demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera. (*)
Editor: Kukuh Basuki