Di Balik Penampilan Sempurna Saat Wisuda

maya atri komalasari

2 min read

Tidak hanya identik sebagai proses yang menandai kelulusan seseorang dari jenjang pendidikan, wisuda kini juga identik sebagai momen istimewa dan penting yang membuat seseorang “dituntut” untuk tampil sempurna. Ada banyak “kebutuhan” yang harus dipenuhi agar seseorang bisa terlihat mewah dan indah di hari wisuda. Menyewa jasa seperti tata rias (salon), studio foto, penginapan, rental mobil menjadi beberapa di antaranya. Tanpa disadari, keinginan tampil sempurna saat wisuda kini rentan menimbulkan kesenjangan sosial.

Dalam wisuda sendiri, tidak ada peraturan yang mengharuskan hal-hal tersebut. Awalnya hanya sebagian orang yang memahami prosesi tersebut. Mereka ingin tampil sesempurna mungkin karena momen istimewa wisuda tidak akan terulang. Wisuda dianggap menjadi momen sekali dalam seumur hidupnya.

Keinginan untuk tampil mewah dan indah saat wisuda menjadi masalah ketika melihat kondisi sosial-ekonomi setiap orang yang tidak sama. Namun, hampir tidak ada penolakan akan hal tersebut. Seakan semuanya wajar dan bisa diterima begitu saja, meskipun tidak semua orang dapat dengan mudah mewujudkannya.

Aktivitas-aktivitas saat wisuda, seperti menggunakan jasa tata rias (salon), studio foto, penginapan, dan bahkan rental mobil telah dianggap masyarakat sebagai kebutuhan sehingga mereka merasa perlu memenuhinya. Biaya atau ongkos untuk berpenampilan seperti itu jelas mahal. Mahal di sini tidak saja dalam kuantitas, tetapi juga ada pengorbanan yang perlu dilakukan. Tidak jarang mahasiswa yang akan wisuda dan keluarganya harus mengencangkan ikat pinggang untuk menabung dari jauh-jauh hari untuk memenuhi budaya “terlihat sempurna” ini.

Baca juga:

Menganggap berbagai aktivitas saat wisuda sebagai hal yang penting adalah sebuah kekeliruan. Masyarakat mungkin telah terpengaruh tipu daya budaya massa. Sayangnya, budaya massa merupakan bentuk nyata dominasi kelas dan sistem yang juga dominan di dunia ini, yakni kapitalisme. Salah satu tipu daya kapitalisme melalui budaya massa adalah lahirnya kebutuhan palsu atau kebutuhan semu (false need).

Kebutuhan palsu berbeda dengan kebutuhan sesungguhnya. Ian Craib dalam Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons  sampai  Habermas menjelaskan kebutuhan palsu atau semu adalah kebutuhan yang diciptakan agar orang lain berusaha melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu. Sementara itu, menurut Drajat Tri Kartono, kebutuhan yang sesungguhnya adalah kebutuhan yang berasal dari atau merupakan ekspresi daya-daya kreatif rasional yang menentukan saya sebagai seorang manusia.

Penggunaan jasa tata rias (salon), studio foto, penginapan, dan bahkan rental mobil untuk wisuda, yang notabene masuk ke dalam kebutuhan palsu, kemudian sengaja diubah menjadi kebutuhan sungguhan atau keharusan untuk dilakukan. Tentu ada peran aktor di balik  fenomena tersebut. Kekuasaan dan budaya memiliki peran sentral. Ada hegemoni budaya.  Filsuf Marxis Antonio Gramsci menjelaskan bahwa masyarakat dengan budaya beragam dapat dikesampingkan atau didominasi oleh salah satu kelas sosial. Kelas sosial yang menduduki strata tinggilah yang melakukan dominasi budaya terhadap kelas sosial lainnya.

Hegemoni atas budaya oleh kelas penguasa sendiri juga tidak lepas dari kepentingan  melanggengkan sistem kapitalisme. Kita tidak dapat memalingkan perhatian pada segi konsumsi. Dalam konteks wisuda, barang-barang yang berguna untuk penampilan sempurna tersebut adalah barang-barang industri, seperti make-up (industri kosmetik), penginapan (industri perhotelan), kendaraan (industri otomotif). Dengan kata lain, fenomena penampilan sempurna saat wisuda dengan berbagai ornamen atau atribut mengandung kepentingan para kapitalis untuk mempertahankan kelangsungan industri dan kapitalisme itu sendiri.

Refleksi terhadap Kesadaran Semu

Fenomena tampil sempurna dengan kemewahan saat wisuda oleh para mahasiswa dengan keluarganya menunjukkan mereka berada dalam kesadaran semu. Kesadaran semu menyebabkan mereka menganggap sesuatu yang sebenarnya memberatkan sebagai hal yang sifatnya alamiah. Oleh karena itu, mereka hanya diam dan menerimanya. Mereka juga tidak berupaya mempertanyakan mengapa itu terjadi, hanya menerimanya dan memikirkan bagaimana mereka dapat melakukannya.

Baca juga:

Mahasiswa dan keluarganya yang berada dalam kesadaran semu tetap akan berusaha tampil “sempurna” meski dengan sumber daya yang terbatas. Mereka akan melakukan negoisasi atau memodifikasi kebutuhan mereka sesuai dengan kondisi mereka. Mereka akan menggunakan jasa tata rias (salon), studio foto, penginapan, dan bahkan rental mobil yang biayanya paling murah  atau dengan kualitas bukan yang terbaik. Walaupun murah untuk ukuran mereka, sebenarnya ongkos yang dikeluarkan tetap tinggi karena mereka mengonsumsi kebutuhan yang sebenarnya tidak benar-benar mereka butuhkan.

Negoisasi-negoisasi ini merupakan fenomena sosial yang biasa terjadi. Banyak orang telah menerima sepenuhnya  tanpa melawan. Kondisi ini yang dikatakan oleh Herbert Marcuse sebagai kondisi yang mengkhawatirkan. kondisi ini adalah ketika manusia hanya berada dalam satu dimensi. Menurut Marcuse dalam karyanya One-Dimensional Man (1964), masyarakat industri maju telah abai terhadap pengembangan jati diri manusia.  Melihat apa yang dikatakan Marcuse dan melihat kondisi masyarakat kita saat ini yang mungkin belum separah yang ia bayangkan, ini menjadi peringatan bagi kita untuk segera “sadar ” dan bersikap kritis.

Seharusnya, wisuda lebih merepresentasikan esensi pendidikan ketimbang menjadi prosesi yang “umum”nya wajib dibarengi dengan tampilan sempurna. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap segala sesuatu adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari cengkraman dominasi yang membuat kita tidak lagi dapat menjadi manusia seutuhnya, manusia yang peka dan menyadari esensi tiap tindakan atau perilaku yang dilakukan.

 

 

Editor: Prihandini N

 

maya atri komalasari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email