Ucapan kasar dan tak pantas Miftah Maulana Habiburrahman kepada seorang penjual es teh menuai kecaman dari masyarakat. Sebagai orang berpredikat “pemuka agama”, Miftah punya tanggung jawab moral bukan saja dalam bertindak, melainkan juga berucap. Tanggung jawab moral yang disematkan terhadap Miftah bukan sesuatu yang secara tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan karena ia mendalami dan mengetahui berbagai ajaran, dalil, maupun nilai yang dikehendaki Tuhan.
Modal Pemuka Agama
Paling tidak seorang pemuka agama itu wajib memiliki 3 hal, yaitu kerendahan hati, sikap berhati-hati, dan kebijaksanaan. Kerendahan hati merujuk sikap menghormati sesama serta kesediaan dibentuk pikiran dan perasaannya agar selaras dengan kehendak Allah. Kerendahan hati sering disebut sebagai ibu dari segala perbuatan baik. Sikap berhati-hati berkaitan dengan memikirkan segala risiko yang mungkin timbul akibat dari perbuatan yang akan dilakukan. Sementara kebijaksanaan merupakan sikap memutuskan suatu pilihan dari berbagai pilihan di mana keputusan tersebut bersifat tidak memihak.
Baca juga:
Ketiga sikap tersebut merupakan modal mutlak dan parameter umum apabila orang ingin melekatkan status “pemuka agama” kepada seseorang. Parameter ini dibutuhkan, karena apabila tidak terdapat parameter yang jelas, setiap orang dapat menjual pengetahuan tentang Tuhan dan agama untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompok tertentu. Seharusnya Tuhan dan agama diletakkan pada tataran bonum maximum. Namun, karena tindakan “pemuka agama” yang serampangan, Tuhan dan agama seolah ditempatkan di tataran minus malum.
Hinaan yang disampaikan Miftah kepada penjual es teh merupakan ekses yang bersumber dari sikap primordial bawaan yang terbentuk dari berbagai faktor, di antaranya resiliensi, dukungan sosial, lingkungan, stres, religiusitas yang tidak purna, regulasi emosi, konsep diri dan regulasi diri yang tidak terarah, sehingga dalam batas tertentu menjadi dominan dan tidak terkontrol.
Pengetahuan dengan perbuatan (ucapan) Miftah saling bertentangan atau asimetris. Padahal yang membedakan seorang pemuka agama dengan orang pada umumnya adalah karena ia memiliki “intelektualisme etis”. Intelektualisme etis merupakan satu padunya pengetahuan dan tindakan seseorang sehingga pengetahuan tersebut akan selaras dengan tindakan yang ia lakukan. Namun, lagi-lagi intelektualisme etis membutuhkan bahan bakar (kerendahan hati, sikap berhati-hati, dan kebijaksanaan) untuk tiba pada muaranya.
Pembenaran Buta terhadap Pemuka Agama
Tidak sedikit orang Indonesia memuja tokoh-tokoh agama dan bukan Tuhan Allah secara langsung. Ekses dari pemujaan tersebut adalah mulai tumbuhnya suatu sindrom moral virtuosi, yaitu kecenderungan seseorang untuk memberikan totalitas moralnya kepada tokoh, dalam kasus ini pemuka agama tertentu. Akibat dari moral virtuosi ini adalah seseorang akan cenderung membenarkan apa yang dikatakan oleh pemuka dan ia bersedia melakukan apa pun yang diperintahkan oleh pemuka agama.
Tidak mengherankan apabila di tengah hujatan yang ditujukan kepada Miftah tetap saja ada orang yang membelanya dengan berbagai alasan. Padahal pemberian moral virtuosi itu harus ditujukan hanya kepada Tuhan Allah, itu pun harus dilengkapi bukan hanya pendasaran iman, tetapi juga dengan akal budi, karena akal budi merupakan salah satu komponen ciptaan Alkhalik yang daripadanya diberi segala perangkat preasumsi kebenaran. Iman tanpa akal budi adalah bagaikan ruang tanpa cahaya dan akal budi tanpa iman bagaikan rumah tanpa tiang.
Baca juga:
Orang yang beragama dan beriman tentu tidak akan membenarkan kata “goblok” dalam suasana dakwah yang diucapkan Miftah kepada penjual es teh. Anehnya, ketika kata-kata tidak pantas itu diucapkan, banyak pihak yang ikut menertawakan. Padahal di dalam momen yang seperti itu, justru terdapat peran penting orang beriman dan beragama untuk menegur dan meluruskan, bukan membiarkan orang yang lemah terus dihina dan diposisikan subordinat. Bystander effect semacam itu hanya satu dari sekian fenomena yang menggambarkan betapa kosongnya iman seseorang yang mengaku beragama untuk menunjang tindakannya.
Ajaran suatu agama akan menolak dengan tegas ketidakpantasan dan kesalahan yang dilakukan oleh Miftah, karena kesalahan (dosa) memiliki dimensi moral: “ego yang keliru membuat dirinya menjadi pusat eksistensi dengan segala kesombongan dan kehendaknya untuk berkuasa.” Dosa semacam itu merupakan penegasan diri di atas orang lain, atau dengan kata lain, dosa selalu berusaha menjadi kuat dengan mengorbankan orang lain. Ke-diri-annya tidak akan meredup sebelum ada teguran dan desakan dari banyak pihak, oleh sebab itu ujung dari perbuatannya hanya meminta maaf kepada masyarakat. Meminta maaf itu pun adalah upaya terakhir yang dilakukan karena takut citra dirinya rusak di mata orang lain, bukan karena kesadaran atau penyesalan bahwa dirinya bersalah.
Nilai-nilai agama bukan lagi hanya diingat, direnungkan, dan dipelajari, tetapi untuk dilakukan. Tuhan pernah berkata, “apabila di antaramu melakukan sesuatu kepada orang yang paling hina ini, engkau telah melakukannya untuk Aku.” Kredo asali orang beriman harus melaksanakan imannya untuk menjangkau mereka yang paling hina, yang tersingkir, yang diposisikan sebagai orang yang paling tidak beruntung, yang putus harapannya, dan dengan demikian mereka akan merasakan bahwa Tuhan ada bagi mereka setiap waktu.
Editor: Prihandini N