Kepulangan yang Tak Diinginkan

nuzul mboma

4 min read

Berita itu telah tersiar ke segala penjuru komplek asrama militer tak lama setelah terompet apel malam telah ditiup. Tak seperti biasanya, malam itu Tante Lely masih terlihat berjalan ke sana ke mari mengabarkan berita yang tak kuat dipendamnya sendiri setelah beberapa hari. Itu adalah perihal kepulangan Iwan, anaknya yang sudah cukup lama meninggalkan kampung halaman untuk bertugas di pedalaman Papua bersama kesatuan militernya.

Janda itu memberitahu siapa saja yang ditemuinya di sepanjang lorong; penjual bakso, penjaga ronda, ibu-ibu nongkrong, seolah seisi dunia harus tahu jika anak kebanggaannya itu telah berhasil menjalankan tugasnya. Kalau dia bertemu dengan pemuda sepantaran anaknya dia akan berkata, “Eh, Iwan sudah di atas kapal laut. Sebentar lagi tiba di pelabuhan. Kalian pasti juga rindu dengan dia, toh? Begitulah memang orang baik pasti banyak yang menunggunya!” ucapnya sambil tertawa kecil untuk menyembunyikan kebanggaan dalam dadanya.

Kebanyakan orang tidak begitu peduli, tapi demi menyenangkan hati perempuan itu mereka akan merespons seantusias mungkin.

Lain halnya dengan Jabrik, Aco’, dan Bullah. Bagi tiga bersepupu itu, kepulangan Iwan membuat jahitan atas luka lama kembali terbuka dengan sendirinya. Apalagi bagi yang terakhir. Mendengar nama Iwan saja hatinya langsung dipenuhi amarah. “Harusnya pulang tinggal nama saja. Buat apa lagi dia nunjukin hidung depanku. Biarkan saja kepalanya pecah ditembak OPM.” Segala makian dan kata-kata kasar berhamburan keluar dari mulutnya yang berbau busuk miras oplosan.

Bullah yang pikirannya kini sudah di langit ketujuh terngiang-ngiang kembali bagaimana mereka bertiga berakhir dalam kubangan miras di sudut sempit lorong kota Makassar itu. Wajah Tante Lely muncul di kepalanya. “Kenapa kamu tak menunggu kedatangan kakakmu! Libur saja dulu hari ini! Atau kerja setengah hari saja!”

Belum bisa dia mengusir pikiran itu ponselnya kembali berdering. Panggilan yang sama dari ibunya. Bullah menaruh telunjuk di depan bibirnya, menyuruh dua sepupunya untuk diam.

“Kamu di mana? Pulanglah! Tunggulah kakakmu tak lama lagi tiba di pelabuhan. Jangan pergi jauh-jauh.” Bullah hanya mengeluarkan deham pendek, mengiyakan, dan terus mendengarkan ibunya mengulang hal yang sama setiap waktu. “Iwan itu sukses mengangkat martabat keluarga. Dialah yang meneruskan profesi bapakmu sebagai tentara. Kamu harus belajar banyak dari dia jika dia pulang nanti. Jangan main sama Jabrik dan Aco’ terus. Untung saja Iwan jadi tentara, kalau tidak kita sudah diusir dari asrama. Kau siap-siaplah jemput dia.”

Bullah menutup telepon dan melamun untuk sesaat.

Suara klakson kapal laut yang menggema tiga kali saat berlabuh bisa terdengar jelas dari tempat mereka bertiga. Sejak sore para remaja tanggung ini sudah menandaskan satu jirigen tuak ballo’ yang dicampur dengan bir botol. Bullah membeli semua itu menggunakan separuh gajinya kerja sebagai kurir paket demi lancarnya rencana ini. Semula dia mau melakukannya sendiri, tapi di bawah pengaruh miras, Jabrik dan Aco’ memaksa ikut, katanya sebagai bentuk solidaritas sepersepupuan.

“Bagaimana dengan mobil sewa itu, sepupu? Apakah bensinnya sudah kau isi full?” Tanya Bullah ke Jabrik.

“Tenang sepupu, semua sudah siap dan terkendali. Nikmatilah malam terakhir ini di kampung kita sebelum pergi jauh. Ini pasti berat tapi tekadmu saya pikir sudah bulat toh?” Jabrik menyodorkan air mineral. Bullah bangkit sempoyongan dari duduknya. Ia membuka pintu mobil dan meraba-raba sesuatu di jok belakang dalam kegelapan. Dia mengeluarkan sejumlah pisau beragam ukuran yang mengilat di bawah cahaya bulan.

“Satu pertanyaanku untuk kalian berdua,” Bullah berpaling ke Jabrik dan Aco’. “Kenapa kalian seserius ini?”

Keduanya saling berpandangan untuk sesaat, lalu Aco’ yang diam sedari tadi menjawab.

“Karena kami juga ada di sana pagi itu,” katanya. “Kau tidak ingat kah? Sama sepertimu, saya dan Jabrik tidak pernah percaya jika Om Talli’ jatuh terpeleset begitu saja ke dalam sumur.”

***

Istri Om Talli’ meninggal ketika sedang berjuang melahirkan Bullah ke dunia. Hal ini membuat Bullah tak pernah melihat wajah perempuan yang melahirkannya. Tahu-tahu saja dia tumbuh besar di dalam rumah bersama seorang perempuan yang dipanggilnya ibu bersama bocah lelaki yang berusia enam tahun lebih tua darinya. Om Talli’ menikahi Tante Lely, janda beranak satu tak lama setelah kelahiran Bullah. Memang tidak sekejam cerita ibu tiri dalam sinetron, tapi Bullah kecil bisa merasakan ada sejenis pengabaian dan pembedaan sejak dulu antara dia dan Iwan, meskipun itu untuk hal sederhana semisal uang jajan atau keinginannya yang sering tak dihiraukan.

Waktu berlalu, anak-anak tumbuh dewasa dan Om Talli’ memasuki masa pensiun. Kehidupan bertambah rumit dan penyebab utamanya adalah ekonomi. Tidak semua pensiunan tentara bisa menjalani hidup makmur di hari tuanya. Ada juga orang-orang seperti Om Talli’ yang belum bisa memiliki rumah sendiri di luar asrama tentara dan tak  pernah mengganti sepeda motornya sejak dahulu, Honda Kharisma tahun 2003, yang digunakannya keliling berjualan tabung gas untuk menghidupi keluarga mereka dan dua anak yang mulai beranjak dewasa. Dua anak laki-laki yang tak disadarinya berlomba berebut perhatian dan kasih sayang ayah mereka.

Pagi itu Bullah bersama Aco’ dan Jabrik berjalan kaki ke sekolah dan mendapati Om Talli’ seperti biasa mencuci motor kharismanya di dekat sumur. Terlihat pula Iwan dalam pakaian seragam SMA, nampak murung. Om Talli’ memanggil Bullah dan merogoh kantong bajunya, mengeluarkan uang lima ribu rupiah untuk Bullah.

“Dia itu masih kelas 5 SD, ayah,” tiba-tiba Iwan menyeletuk. “Kenapa dikasih uang sebanyak itu?”

Dengan santai Om Talli’ bilang bahwa anak-anak memang harus jajan di sekolah.

“Tapi dia masih kecil, saya yang SMA saja diberi uang jajan sama jumlahnya dengannya.”

“Tidak apa-apa,” balas ayahnya. “Tidak setiap hari saya beri dia duit. Lagi pula dia lagi bersama dua sepupunya.”

“Bagaimana dengan saya,” suara Iwan mendesak. “Dari tadi saya minta tambahan lima ribu saja susah sekali diberi. Giliran bocah-bocah ini…”

“Diam kau,” bentak Om Talli’. Dia berpaling ke Bullah dan teman-temannya sambil mengibaskan tangan menyuruh melanjutkan perjalanan ke sekolah.

“Bapak memang pilih kasih…”

Sebuah tamparan melayang di pipi Iwan. Di kejauhan Bullah dan kedua temannya berhenti menyaksikan adegan itu. Iwan berdiri geram tak bisa melawan, sesaat kemudian ia berbalik lari ke rumah.

Itu adalah uang jajan terakhir yang diberikan Om Talli’ kepada Bullah. Tak begitu lama di sekolah, seorang tetangga menaiki sepeda motor datang menjemput Bullah, mengabarkan ayahnya telah jatuh terpeleset ke dalam sumur dan meninggal.

***

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Bullah, membangunkannya dari kantuk berat. Iwan memberi kabar bahwa dirinya telah turun dari kapal dan saat ini sedang menunggu di pintu keluar pelabuhan. “Oke. Saya akan segera sampai dalam lima belas menit, kakak.” balas Bullah.

Bullah mengguyur kepalanya dengan air mineral dan mengunyah beberapa permen mint. Ia berusaha mengembalikan kesadarannya lalu bergegas ke mobil bersama Aco dan Jabrik. Setibanya di pelabuhan Iwan naik ke atas mobil dan tidak curiga sedikitpun tentang rencana adik tirinya itu. Mereka berbincang banyak hal dan ketiganya meminta Iwan bercerita tentang pengalamannya berperang melawan OPM. Di tengah jalan Bullah dan Aco’ yang duduk di kursi belakang menghabisi nyawa Iwan menggunakan pisau dapur dengan tusukan-tusukan di titik mematikan, membuat mobil penuh cipratan darah segar.

Di semak belukar pinggir jalan menuju Pare-Pare tiga bersepupu itu membuang karung goni yang berisi jasad Iwan. Di atas mobil yang sama mereka melaju kencang tanpa berbicara apa-apa menuju ke pelabuhan mengejar pemberangkatan kapal ke Kalimantan pukul satu dini hari. Kapal yang akan mengirim ketiga bersepupu itu lari dari pertanggungjawaban.

*****

Editor: Moch Aldy MA

nuzul mboma

One Reply to “Kepulangan yang Tak Diinginkan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email