Memasuki tahun politik yang suasananya semakin panas, politisi yang terdaftar sebagai peserta Pemilu 2024 mulai giat melakukan safari politik. Mereka mengunjungi daerah-daerah terpencil, kampung-kampung pinggiran kota, mencari muka. Kampung-kampung itu ramai dikunjungi ketika musim pemilu saja, tapi nasibnya ke depan mana diperhatikan oleh politisi yang jadi.
Di dunia maya, para politisi peserta pemilu menebar postingan penuh gimmick dan kode yang menimbulkan penafsiran beragam dari masyarakat. Kembali ke dunia nyata, baliho-baliho beragam ukuran mekar menjamur, sudah seperti dekorasi wajib di jalan-jalan setiap lima tahun. Tak lama setelah pencoblosan, baliho-baliho itu akan segera dialihfungsikan oleh warga-warga kreatif menjadi karpet pengajian, tenda warung, atau alas cor-coran bangunan.
Bila semua akrobat itu masih dirasa kurang menggaet pendukung, langkah berikutnya yang lazim dilakukan politisi , terutama yang maju sebagai capres dan cawapres , adalah sowan ke para pemuka agama. Sowan dari kyai satu ke kyai lainnya, dari pesantren yang satu ke pesantren lainnya, meminta restu, dan sudah pasti mereka memohon doa supaya mendapat kemenangan dalam pemilu.
Di samping itu, para politisi tahu benar, para ulama, kyai, dan ustaz punya banyak jamaah untuk dikonversi menjadi basis pendukung yang terjamin solid hingga kotak suara. Kyai dan ustaz pun andal menyelipkan “kampanye” pada pengajian-pengajian mereka, mengajak jamaahnya untuk memilih paslon X atau caleg Y dalam ceramah, di antara doa-doa. Politisi-politisi itu pun bisa berbangga dan percaya diri meraih kemenangan—biarpun surat suara belum dicoblos—lantaran merasa sudah berhasil mendapat restu Kyai Fulan yang jamaahnya sekian juta.
Pada banyak kesempatan, para kyai dan ustaz di berbagai daerah terang-terangan mendeklarasikan dukungannya terhadap politisi tertentu. Biasanya, ini dilakukan lewat ceramah, pengajian, atau salawat dengan bingkai nasionalisme yang menggandeng tokoh agama. Bahkan, ada pula yang bertindak sejauh mengangkat kyai sebagai anggota tim pemenangan.
Semua itu mungkin terjadi karena sudah ada transaksi antara dua pihak tadi. Dengan imbalan bantuan yang mengalir ke kyai atau lembaga yang dipimpinnya, atau jabatan strategis nantinya, dukungan bisa dengan mudah diberikan.
Sebagai seorang yang pernah hidup dan menimba ilmu di pesantren, sudah barang tentu saya tahu—walaupun tak banyak—seluk beluk, gaya hidup, serta cara berpikir yang dianut dan diajarkan di pesantren. Seorang kyai, jika sudah bilang A, murid dan jamaahnya pasti akan tunduk dan patuh tanpa sedikit pun penolakan atau pemberontakan, sendiko dawuh. Meskipun begitu, tetap ada juga yang berani berbeda atau menolak, tapi ini tidak secara terang-terangan karena takut su’ul adab. Tetap saja, lebih banyak yang tidak tahu apa-apa dan asal manut saja.
Ketidaktahuan dan kepatuhan kaum santri itulah kesempatan emas yang dimanfaatkan oleh para politisi yang tiba-tiba mendekat ke kyai-kyai di tahun politik begini. Daripada capek-capek buang energi kampanye sana-sini, sebar kaos dan susu, tapi belum tentu dipilih, lebih baik mengumpulkan keramaian dengan magnet pengajian atau salawatan. Sepaket dengan itu, menyewa juru kampanye bertitel kyai atau ustaz yang hampir pasti omongannya dipatuhi secara mutlak, jelas lebih efektif.
Baca juga:
Kyai Netral
Bagaimana kalau para kyai netral saja? Netral dalam artian tidak berpihak ke politisi mana pun.
Ini bukan berarti kyai dan ustaz mesti golput. Hanya saja, kyai dan ustaz itu semestinya menyadari bahwa dirinya mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap jamaah yang hampir pasti sendiko dawuh pada setiap apa yang mereka dawuh-kan. Berbekal kesadaran itu, mereka semestinya bisa jual mahal terhadap politisi yang tiba-tiba mendekat ketika masa pemilu tiba.
Sungguh tak semestinya para alim ulama ini terang-terangan berbicara lantang saya pilih Anies, saya all in Prabowo, atau saya dukung Ganjar. Jangan pula sampai keluar kalimat kampanye seperti mari pilih nomor urut sekian, insyaallah Indonesia akan blablabla.
Semua orang mempunyai hak pilih masing-masing, termasuk kyai dan ustaz. Hanya saja, dengan pengaruh sebesar itu, alangkah baiknya bila mereka menyembunyikan pilihan mereka di pemilu nanti. Sekalipun legal, rasanya kurang pas secara etika bila kyai dan ustaz selaku ahli agama ini sangat getol berkampanye. Bawa panji agama sebaik-baiknya, jaga jarak dengan politisi dan janji-janji manis mereka.
Editor: Emma Amelia