Melalui Conference of the Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), atau yang biasa dikenal sebagai COP 28, tahun ini di Uni Emirat Arab, para pemimpin dunia bersepakat menyikapi pemanasan global lewat penggunaan energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan. Dengan begitu, kebijakan lingkungan yang diambil oleh para pemimpin dunia harus didasarkan pada prinsip-prinsip UNFCCC terkait dengan penggunaan energi terbarukan dan minimalisasi emisi karbon.
Kesamaan pemikiran dan arah tujuan menjadi kunci keberhasilan mengurangi pemanasan global sebagai dampak dari krisis iklim. Kemudian, jika ditinjau dari aspek psikologis, wacana visioner mengenai pemanasan global juga melibatkan ranah emosi kolektif dari para pemangku kebijakan.
Emosi kolektif atau collective emotions dapat dimaknai sebagai sebuah gagasan yang terjadi ketika individu merasa bahwa diri mereka atau mereka yang di sekitar mereka mengalami emosi yang sama atau berkelanjutan. Fenomena ini dapat diamati pada diri para pemimpin dunia yang mengikuti COP 28. Mereka melihat pemanasan global sebagai ancaman bersama sehingga menimbulkan emosi kolektif yang kuat untuk segera bertindak. Artinya, emosi kolektif para pemimpin dunia menjadi katalis untuk aksi dan perubahan yang akan mereka lakukan melalui berbagai kerja sama.
Fenomena emosi kolektif pada COP 28 sekaligus menunjukkan peran signifikan emosi dalam proses pengambilan dan implementasi kebijakan. Sebagai pemangku wewenang, para pemimpin dunia memiliki kesempatan unik untuk memobilisasi massa secara kolektif sebagai bentuk dukungan dalam menghadapi tantangan pemanasan global. Mereka dapat memanfaatkan emosi kolektif—sekelompok individu merasakan emosi yang sama—sebagai alat untuk mendorong perubahan sosial dan politik.
Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa meskipun emosi kolektif dapat menjadi alat yang kuat untuk memobilisasi tindakan secara global, ia juga harus dikelola dengan penuh hati-hati. Emosi kolektif yang cenderung mengarah ke ranah negatif dapat menyebabkan kepanikan atau tindakan ceroboh yang berpotensi menyebabkan kerugian.
Di sisi lain, kurangnya emosi dapat mengurangi kesadaran akan urgensi dan kebutuhan untuk bertindak secara konkret terkait dengan isu pemanasan global. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin dunia untuk menavigasi dan memanfaatkan emosi kolektif ini dengan bijaksana untuk mencapai hasil yang paling efektif bagi kemaslahatan umat manusia.
Contohnya, melansir dari situs resmi UNFCCC, Patricia Espinosa, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, yang menyerukan tindakan bersama untuk membuktikan komitmen kita dalam membangun masa depan yang lebih sehat, aman, dan berkelanjutan untuk umat manusia. Seruan Patricia menunjukkan bagaimana emosi kolektif dapat digunakan oleh pemangku wewenang untuk memengaruhi perubahan positif dalam menangani isu pemanasan global.
Baca juga:
Media Sosial dan Tekanan Publik
Tidak dapat dimungkiri, tekanan dari publik memiliki andil besar dalam proses pengambilan kebijakan. Klaim tersebut dapat dibuktikan melalui argumen Hans Morgenthau mengenai opini publik. Bagi Morgenthau, pemerintah tidak cukup hanya menggalang opini dari sisi pemerintahan, melainkan juga harus mendapatkan dukungan dari publik.
Opini publik dapat memberikan tekanan yang kian signifikan dengan eksistensi media sosial. Melalui media sosial, penyebaran informasi terkait dengan pemanasan global dapat membangun emosi kolektif, bahkan dapat mendesak para pemimpin dunia menyepakati ideologi dan mekanisme tertentu untuk melaksanakan ideologi tersebut. Tekanan dari masyarakat sipil, LSM, dan aktivis lingkungan membuat para pemimpin dunia mau tidak mau menyatakan bahwa pemanasan global merupakan ancaman bersama.
Bersama-sama, publik akan dapat menekan pemangku wewenang agar dengan segera merumuskan kebijakan yang harus diambil dalam menghadapi pemanasan global. Emosi kolektif yang telah terbentuk menjadi faktor kunci suksesnya tekanan yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terhadap para pemimpin dunia.
Dengan demikian, emosi kolektif telah membuktikan dirinya sebagai alat yang kuat dalam memengaruhi perubahan sosial dan politik. Tekanan dari berbagai komponen masyarakat yang diperkuat dengan emosi kolektif telah mendorong para pemimpin dunia untuk mengakui dan bertindak untuk mengatasi ancaman pemanasan global.
Fenomena tersebut menunjukkan betapa pentingnya partisipasi publik dan emosi kolektif dalam membentuk respons terhadap tantangan lingkungan global. Kita semua bertanggung jawab memerangi pemanasan global, ditunjang dengan emosi kolektif kita sebagai katalis untuk aksi dan perubahan. Mari kita terus memanfaatkan kekuatan ini untuk menciptakan masa depan yang lebih sehat, aman, dan berkelanjutan.
Editor: Emma Amelia