Dalam kampanyenya, Ridwan Kamil, calon gubernur DK Jakarta, melontarkan pernyataan-pernyataan yang merendahkan perempuan terutama mereka yang berstatus janda. Ia berkelakar dengan menyebut bahwa janda-janda akan disantuni, diurus lahir batin, diberi sembako, dan jika cocok akan dinikahi oleh rekan politikusnya, yang laki-laki. Pernyataan ini tidak hanya mencerminkan ketidakpekaan, tetapi juga mengungkapkan kuatnya nilai-nilai yang terus menempatkan perempuan pada posisi subordinat.
Pernyataan tersebut mencerminkan bias struktural terhadap perempuan yang berstatus janda, bahwa janda adalah subjek pasif yang harus diurus, dinafkahi, dan dipimpin oleh laki-laki. Dalam konteks Indonesia, pernyataan seperti ini mempertegas praktik di mana perempuan dianggap hanya memiliki nilai sejauh mereka memenuhi peran tradisional yang dikonstruksikan oleh laki-laki.
Melanggengkan Patriarki
Dalam budaya politik, figur pejabat publik tidak hanya menjadi representasi institusi. Pejabat juga memainkan peran penting dalam membentuk norma sosial yang lebih luas. Pernyataan seksis yang dilontarkan pejabat di ruang publik bukan sekadar ketidakpekaan terhadap isu gender. Ini membuktikan bahwa pejabat publik mereproduksi nilai-nilai yang mendiskriminasi perempuan.
Olok-olok terhadap janda yang dilakukan Ridwan Kamil merupakan manifestasi dari apa yang disebut Raewyn Connell (1995), sebagai hegemoni maskulinitas, di mana kekuasaan laki-laki dipertahankan tidak hanya melalui dominasi institusional, tetapi juga melalui praktik-praktik diskursif. Pejabat publik yang memosisikan janda sebagai objek yang dirasa perlu disantuni dan diurus telah melakukan kekerasan simbolik. Kekerasan ini beroperasi secara halus melalui bahasa dan lelucon yang seolah-olah wajar, tetapi sesungguhnya melanggengkan subordinasi perempuan dalam struktur sosial.
Posisi perempuan, terutama janda, mengalami marginalisasi ganda: pertama, sebagai perempuan dalam masyarakat patriarkal; kedua, sebagai subjek yang ‘gagal’ atau dianggap ‘tidak lengkap’ tanpa kehadiran laki-laki. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, menjelaskan bahwa perempuan sering kali direduksi menjadi the other, pihak yang keberadaannya hanya dianggap penting dalam relasi dengan laki-laki. Lelucon Ridwan Kamil tentang janda mencerminkan pandangan ini, di mana perempuan tidak dihargai sebagai individu, tetapi sebagai objek yang dihubungkan dengan laki-laki, baik dalam bentuk bantuan, pernikahan dan sebagainya. Praktik ini kemudian menciptakan berbagai bentuk labelisasi yang merugikan perempuan.
Labelisasi Janda
Judith Butler (1990) menjelaskan bagaimana gender dikonstruksi melalui pengulangan tindakan dan ucapan. Pernyataan seksis pejabat publik bukan sekadar mencerminkan bias personal, tetapi berkontribusi pada normalisasi diskriminasi gender dalam ruang publik. Status janda yang dijadikan objek lelucon politik akan menciptakan preseden berbahaya yang menormalisasi objektifikasi dan diskriminasi terhadap perempuan dalam wacana publik.
Ada stigma pada status janda dalam masyarakat Indonesia. Di satu sisi, perempuan berstatus menghadapi tantangan ekonomi dan sosial sebagai kepala keluarga tunggal, di sisi lain mereka juga harus menghadapi objektifikasi dan stigmatisasi dari masyarakat yang masih kuat. Pernyataan pejabat yang menjadikan status janda sebagai bahan lelucon politik tidak hanya mereproduksi stigma ini, tetapi juga melegitimasi pandangan bahwa perempuan tanpa pasangan laki-laki adalah masalah sosial yang perlu ‘dibereskan’.
Mary Crawford dalam Talking Difference: On Gender and Language menjelaskan bahwa lelucon seksis bukanlah fenomena yang netral; ia mencerminkan struktur kekuasaan yang ada dan sering kali digunakan untuk mempertegas dominasi laki-laki. Dalam kasus Ridwan Kamil, janda dijadikan sebagai alat retorika untuk menciptakan citra kebapakan dan paternalistik di hadapan publik.
Labelisasi dan stigmatisasi terhadap janda ini kemudian berkembang menjadi masalah struktural yang lebih kompleks, menciptakan berbagai bentuk ketimpangan yang terus direproduksi dalam struktur sosial.
Reproduksi Ketimpangan
Secara sosiologis, stigmatisasi janda perlu dilihat sebagai bagian dari dalam struktur sosial yang lebih luas. Pelanggengan stereotip janda sebagai kelompok yang ‘perlu diurus’, berimplikasi terhadap kecenderungan masyarakat untuk mengembangkan ekspektasi dan perlakuan yang sesuai dengan stereotip tersebut. Hal ini menciptakan siklus yang mempersulit perempuan, khususnya janda, untuk mengakses kesempatan dan sumber daya yang setara di dalam masyarakat.
Perilaku seksis pejabat ini menunjukkan disfungsi dalam masyarakat modern. Nilai-nilai patriarkal yang seharusnya sudah usang tetap dipertahankan melalui praktik-praktik diskursif elite politik. Tidak ada usaha untuk menciptakan kohesi sosial yang konstruktif, ini terbukti dengan masih terbentuknya norma sosial yang menganggap perempuan, terutama janda, tidak memiliki agensi.
Dampak dan Implikasi
Dampak dari stigmatisasi janda tidak hanya berhenti pada level wacana dan simbolik. Implikasinya jauh lebih dalam, yakni menciptakan berbagai bentuk kekerasan struktural yang memengaruhi kehidupan perempuan secara langsung.
Label negatif yang melekat pada status janda telah menciptakan ‘teror sosial’ yang memaksa banyak perempuan untuk bertahan dalam hubungan pernikahan yang penuh kekerasan dan toksik. Ketakutan akan label janda dan konsekuensi sosialnya—mulai dari stigma sebagai ‘perempuan gagal’, objektifikasi seksual, hingga marginalisasi ekonomi—telah menjadi ‘penjara tak kasat mata’ yang mengurung perempuan dalam siklus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Fenomena ini disebut sebagai patriarchal trap, situasi yang memaksa perempuan untuk memilih antara dua bentuk opresi: bertahan dalam hubungan abusif atau menghadapi stigma sosial sebagai janda. Pernyataan seksis pejabat publik tentang janda secara tidak langsung turut melanggengkan KDRT dengan membuat perempuan semakin takut untuk melepaskan diri dari hubungan yang toksik dan juga abusif.
Dampak dari normalisasi ini bersifat sistemik, dari rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik, minimnya kebijakan yang benar-benar memahami kebutuhan perempuan korban KDRT, hingga lemahnya sistem dukungan sosial bagi perempuan yang memilih untuk meninggalkan hubungan yang abusif.
Stigmatisasi janda dalam wacana publik juga menciptakan hambatan psikologis dan sosial yang membuat perempuan kehilangan agensi atas hidupnya sendiri. Mereka terjebak dalam siklus kekerasan demi menghindari label sosial yang lebih buruk.
Pernyataan seksis Ridwan Kamil menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan untuk mentransformasi cara pandang dan praktik politik yang masih sangat patriarkal. Tanpa adanya perubahan fundamental elite politik dalam memandang dan memperlakukan perempuan khususnya janda, berbagai bentuk ketimpangan dan kekerasan struktural akan terus direproduksi, melanggengkan siklus diskriminasi yang telah berlangsung terlalu lama dalam masyarakat Indonesia.
Editor: Prihandini N