Di desa Wadas, Jawa Tengah, perempuan-perempuan terus berjuang melawan peminggiran akibat pertambangan batu andesit. Pertambangan yang katanya demi menciptakan kesejahteraan masyarakat justru merampas hak-hak hidup terutama kaum perempuan. Mereka menamai diri Wadon Wadas.
Aktivitas pertambangan batu andesit itu mengancam keberadaan 27 sumber mata air di Wadas. Rusaknya sumber mata air berpotensi merusak lahan pertanian warga. Kerusakan lingkungan yang secara sengaja dilakukan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak hidup, baik hak asasi manusia maupun hak asasi alam. Pelanggaran hak mengakibatkan terjadinya ketidakadilan.
Baca juga Perlawanan Marhaen di Desa Wadas
Di pegunungan Kendeng, Rembang, perempuan-perempuan menolak pendirian pabrik semen yang mengancam sumber kehidupan mereka. Di Kenya, Wangari Maathai menginisiasi Gerakan Sabuk Hijau, di wilayah India ada gerakan chipko yang terkenal memeluk pohon dari ancaman deforestasi dan hancurnya keanekaragaman hayati. Di berbagai belahan dunia, perempuan bangkit melawan untuk mempertahankan ruang hidup mereka.
Baca juga: Tertelan di Antara Pasar: Lansia dan Pengetahuan Lokal
Pemuja Pembangunan
Dalam buku Ecofeminism (2005) Shiva dan Mies mengatakan bahwa bendungan, tambang, bangunan-bangunan kokoh, markas militer merupakan candi (pusat pemujaan) agama baru yang dinamakan pembangunan. Sebuah agama yang memberikan rasionalitas bagi pemordernisasian negara, birokrasi dan teknokrasinya. Apa yang dikorbankan di altar agama ini adalah kehidupan alam dan kehidupan manusia (Shiva & Mies, 2005:113). Dalam artikel yang ditulis Emma Foster (2021) Ecofeminism revisted: critical insight on contemporay enviromental governance, hubungan perempuan dan lingkungan bukan merupakan hubungan yang bersifat biologis namun hubungan persamaan pengalaman opresi dan eksploitasi di bawah patriarki dan kapitalisme.
Pandangan ekofeminisme mengurai bagaimana lingkungan dipandang sebagai subyek feminin yang dipaksa tunduk kepada budaya selayaknya hubungan partiarkis antara perempuan dan laki-laki. Konteks ini memperlihatkan bahwa perempuan memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan alam, namun budaya opresi untuk menaklukan dan merusak dengan agenda pembangunan membisukan suara-suara perempuan. Oleh karena itu, agenda pembangunan yang disebut sebagai kemajuan dan kesejahteraan lebih berorientasi kerusakan dan peminggiran hak-hak kehidupan makhluk hidup.
Perempuan Penjaga
Setiap bangsa pasti menyisakan pengalaman sejarah pelik. Apalagi bangsa bekas jajahan. Pengalaman sejarah masa lalu menjadi wacana dan budaya penindasan yang tersisa hingga saat ini. Perempuan bangsa bekas jajahan tidak bisa dilepaskan dari wacana pembentukan dan ketimpangan sistemik tersebut. Perampasan hak-hak ruang hidup, penguasaan dan penghancuran alam, kerusakan alam merupakan peminggiran yang dihadapi perempuan di tanah bekas jajahan.
Baca juga Pembantaian Ilmu Pengetahuan
Perempuan memiliki peran vital dalam mengelola dan menjaga alam, kepedulian mereka lebih intens dan terlihat karena ini langsung menyangkut hak hidup mereka. Ironisnya, suara-suara mereka kerap dibisukan.
Perempuan di bangsa bekas jajahan dikonstruksikan tidak berdaya, tidak memiliki kuasa dan dikategorikan sebagai objek terbelakang. Konsep ini terus melekat di wilayah bekas jajahan, termasuk Indonesia.
Diskursus pascakolonialisme melihat perempuan di dunia ketiga mengalami praktik marginalisasi. Pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak, terutama konsep “sub altern” sangat relevan untuk dipakai sebagai pisau analisis dalam memahami persoalan ini.
Bagi Spivak masyarakat subaltern meliputi para imigran, pekerja kelas bawah, perempuan Timur dan berbagai subjek pascakolonial. Mereka adalah orang-orang yang suaranya selalu diwakilkan sehingga kehadiran mereka merupakan bentuk dari praktik dominasi. Melalui kacamata Spivak, kita bisa melihat bagaimana kaum perempuan tidak memiliki akses terhadap suatu keputusan atau kebijakan sementara di saat bersamaan, posisi mereka rentan untuk dimanipulasi maupun dimarginalkan.
Spivak menyadari adanya ekspolitasi ekonomi yang begitu keji dan penindasan politik yang brutal terhadap kelompok-kelompok subaltern yang lemah dan tidak berdaya di dunia pascakolonial.
Oleh karena itu, apa yang terjadi di Wadas, Kendeng, dan wilayah-wilayah lainnya menampilkan watak penguasaan dan pembungkaman terhadap kaum perempuan yang berjuang mempertahakan wilayahnya dari ancaman pembangunan yang merusak lingkungan.
One Reply to “Perempuan Penjaga yang Dibisukan”