Heterogenitas Indonesia merupakan keunikan tersendiri dalam dinamika kebangsaan yang berkembang. Keragaman yang sangat mencolok; Mulai dari Suku, Agama, Ras dan golongan kenyataan yang menginsipirasi dan menjembatani kelahiran gagasan politik yang pluralis, inklusif dan merangkum segala perbedaan dibawah kerangka kebangsaan yang satu. Gagasan “Bhinneka Tunggal Ika“ merupakan cerminan dari ekspresi politik keberagaman yang mendasarkan kesatuan nasib dibawah perjuangan menentang penindasan, penjajahan dan menjunjung kemanusiaan sebagai nilai universal.
Meskipun demikan, dalam prakteknya, narasi pecah belah dan politik identitas seringkali masih menghiasi perpolitikan Indonesia yang kerap memicu segregasi dan konflik antara masyarakat itu sendiri.Beberapa peristiwa tragis yang mengiringi perkembangan Indonesia; ketegangan antar suku, ras, agama bahkan golongan masih kerap adalah memori kolektif untuk mengingatkan kita untuk terus sadar akan pengukuhan kesatuan. Lebih dari itu, peristiwa – peristiwa yang ada bisa menjadi pembelajaran untuk menghargai perbedaan dan toleransi yang mengalihkan konsentrasi sosial pada narasi yang lebih substansial secara universal.
Pasca Pilkada
Momentum politik kerapkali menjadi pintu masuk perpecahan yang pada awalnya dimulai dengan polarisasi umum; beda pilihan. Namun, tanpa perhatian serius hal ini dapat berkembang dan lebih meruncing menuju aspek SARA (Suku, Agama, Ras dan antar golongan).
SARA dalam konteks politik Indonesia sering kali digunakan sebagai bahan bakar poltik elektoral. Keragaman sosio-kultural ini menjadi sasaran untuk menjadi sumber utama “daya politik“ dalam memenangkan pertarungan yang memicu perpecahan dan keretakan struktur sosial yang sebelumnya berjalan harmonis. Hal ini ditengarai dengan beberapa cara, seperti melalui narasi, propaganda media, bahasa kampanye hingga pada bagaiaman politisi di daerah membangun citra dan identitas yang hanya merepresentasikan sebagian kelompok belaka.
Baca juga:
SARA dalam Politik Indonesia
Kekerasan yang kerap terjadi pun sering kali dipicu oleh cara pandang dan sentimen terhadap orang yang berbeda identitas latar belakang lainnya. Dalam konteks politik, kita mengingat kekerasan horizontal antar masyarakat yang menjadi memori buruk untuk kita semua. Tragedi Sampit, Poso dan Ambon serta beebrapa konflik lainnya diberbagai tempat seringkali berhubungan dengan kepentingan politik.
Dari berbagai rentetan konflik yang terjadi, beberapa temuan mengarahkan kita untuk melihat bagaiamana politik lokal bekerja dalam setiap tragedi. Menjelang dan Pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru Soeharto, letupan konflik di Indonesia serentak dalam rentan waktu yang hampir bersamaan. Transisi pemerintahan yang berlangsung dramatis memantik kemelut politik ditingkat lokal.
Semangat utama reformasi pada tuntutan demokratisasi dan desentralisasi memantik ketegangan baru. Penyerahan sebagian kewenangan pada pemerintah daerah mendorong konsolidasi dan mobilisasi politik daerah semakin kencang. Munculnya elite-elite lokal di setiap daerah yang hadir sebagai representasi kepentingan majemuk menyebabkan iklim kompetisi semakin menegangkan.
Persaingan elite yang sangat kuat dengan latar belakangi identitas yang beragam cenderung rentan mengalami politisasi SARA. Aktor yang berjuang dalam kompetisi politik seringkali memberi penegasan akan identitas. Langkah politik berupa manipulasi perbedaan dan pengarusutamaan kepentingan kelompok tertentu adalah pemicu dari lahirnya konflik kepentingan yang menyebar hingga tingkatan akar rumput.
Kelompok pendukung militan masing – masing elit kerap kali bergesekan dan membangun kategoriasasi untuk membentuk dirinya berbeda dengan kelompok lain. Hal ini yang dijelaskan secara teoritis oleh Henry Tajfel (1982) tentang proses pemebentukan identitas sosial. Tajfel menjelaskan bagaiamana individu atau kelompok sosial berproses membagi dunianya menjadi “Kami” (ingroup) dan “Mereka” (outgroup) sebagai penegasan dan pengkategorisasian diri di antara keragaman.
Fenomena politik identitas yang terjadi di Indonesia adalah cerminan perihal kuatnya unsur pembedaan identitas yang menjadi cara pandang dominan. Praktik manipulasi dengan eksploitasi identitas sosial untuk meraih dukungan, misalnya dengan memainkan narasi “kami vs mereka” untuk menonjolkan perbedaan antar kelompok pada akhirnya memperkuat bias ingroup dan prasangka terhadap outgroup.
Catatan Van Klinken tentang konflik Poso dalam “Politik lokal di Indonesia“ (2007) dan Pujo Semedi tentang konflik Dayak vs Madura dalam “Hidup bersama raksasa“ (2022) memperlihatkan bahwa pertentangan identitas atau proses pembedaan “kami vs mereka” kerapkali berangkat dari ketimpangan sosial akibat eksploitasi yang dilakukan oleh mesin-mesin politik di tingkatan lokal.
Apa yang ingin penulis sampaikan di sini adalah, bahwa konflik identitas yang berbau SARA yang telah terjadi di Indonesia tidak sesederhana argumen salah kaprah tentang doktrin nilai kebudayaan lokal. Konflik itu berangkat dari basis material politik itu sendiri.
Baca juga:
Upaya Mitigasi Politik SARA
Unsur SARA yang sesekali masih hadir dalam agenda politik adalah alarm yang memperingatkan tentang bahaya dan dampak-dampaknya yang akan terjadi apabila tidak dimitigasi. Kewaspadaan kita terhadap politisasi SARA dalam aspek politik tentunya didasari oleh contoh imbas konflik masa lalu. Dalam hal ini, konflik yang terjadi secara horizontal selalu menjadi tragedi yang tragis dan menyisakan keretakan dalam upaya persatuan.
Dunia telah memperlihatkan bagaimana konflik yang didasari oleh perbedaan yang menyangkut SARA memiliki dampak besar bahkan radikal. Sejarah peristiwa Balkanisasi yang berlangsung di Eropa Barat merupakan contoh dari kejamnya konflik politik yang menyisakan puing-puing reruntuhan. Hal ini bisa menjadi pembelajaran untuk politik di Indonesia agar bagaimana selalu berusaha menjunjung kesatuan sebagai payung kolektif dalam proses pengukuhan utuh kita sebagai bangsa yang berlatar belakang majemuk.
Keberagamaan yang telah menjadi jati diri Indonesia semenjak berdiri menjadi sebuah bangsa adalah cerminan tentang bagaiamana kita menjadi bangsa yang besar, bangsa menjunjung pluralitas dan toleransi yang tinggi. berbagai perbedaan yang telah disatukan merupakan modal untuk politik di Indonesia untuk berbicara tentang nilai universalitas kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Untuk itu, dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, perlu kerja sama yang solid dari setiap elemen bangsa. Kesadara kritis dala berpolitik harus terus dilatih. Partai politik, penyelenggara pilkada serta stakeholders terkait harus tegas dalam menindak praktik poltik lokal yang berbau SARA. Pendidikan politik yang lebih substansial dan memberikan kesadaran politik yang rasional, konstitusional dan kritis harus diutamakan.
Di sisi lain peran – peran media dan agen negarawan seperti tokoh agama dan budayawan untuk menyebarkan nilai – nilai fundamental politik kebangsaan sangat diperlukan. Kontribusi nyata dari mereka sangat dibutuhkan demi kemajuan politik yang inklusif dan menghargai perbedaan. (*)
Editor: Kukuh Basuki