Isah datang kepada Canting Wiggers di Weltevreden, Batavia, berkat ide kenalannya, Diti, yang merupakan koki Keluarga Wiggers. Karena keluarga Wiggers tidak membutuhkan buruh cuci, akhirnya Canting menjadikan Isah sebagai sahabat. Isah yang parau berniat mencari kedua putrinya di Batavia, malah tak menemukan apa-apa selain jalan buntu. Jadilah Isah menumpahkan semua kisah hidupnya pada Canting dan Ferdinand Wiggers. Sepasang suami istri itu pun menuliskan kisah Isah dan mengabadikannya dalam sebuah buku.
Kembali hadir novel berlatar sejarah Indonesia yang mengangkat kisah seorang Nyai, setelah karakter Nyai pernah ramai diperbincangkan berkat tokoh Nyai Ontosoroh yang muncul dalam novel dan juga film Bumi Manusia. Novel Lebih Putih Dariku hadir menyapa pembaca Indonesia sejak pertama kali terbit Juni 2022 lalu oleh Penerbit Marjin Kiri. Sebelumnya, Lebih Putih Dariku telah terbit dalam bahasa Belanda pada 2019 dengan judul Lichter dan ik.
Novel Lebih Putih Dariku ditulis oleh penulis perempuan asal Belanda, Dido Michielsen. Ia merupakan seorang penulis dan jurnalis yang telah menulis beragam karya nonfiksi. Novel fiksi pertamanya yang setebal 288 halaman ini berhasil memenangkan Nederlandse Boekhandelsprijs pada 2020 silam.
Kisah Isah, Nyai dari Keraton Yogya
“Aku jadi malu jika teringat sifat-sifat untuk menjadi orang baik: halus, adil, dan sabar. Dalam dua puluh empat jam terakhir terlihat jelas kalau aku tidak menguasai ketiganya, jadi aku tidak layak menyebut diriku sebagai orang Jawa sejati.” – halaman 98
Isah merupakan anak perempuan Jawa yang dididik di dalam lingkungan Keraton Yogya yang konservatif. Terlebih dia harus terbiasa mengalah kepada kedua sahabatnya, Karsinah dan Yatmi, yang memiliki kasta lebih tinggi daripada dirinya. Setelah ditinggal Karsinah menikah, ibunda Isah berniat untuk menjodohkan Isah dengan pangeran. Namun, Isah menolak. Akhirnya, Isah yang saat itu berumur enam belas tahun berniat untuk kabur dan hal itu mengubah takdirnya.
“Setiap orang bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Jaring-jaring kedudukan dan status yang tipis dan tak kasat mata ini berlaku dalam segala hal, dan semakin kamu bertambah usia, hal ini akan kelihatan lebih jelas. Lalu, sebagai orang dewasa akhirnya menyadari dirimu tersekat dalam batas-batas yang sudah digariskan itu, dan tidak bisa lain selain menerimanya, kecuali kalau kamu sendiri meronta untuk membebaskan diri.” – halaman 25
Keinginan kuat Isah untuk melihat dunia luar begitu besar. Isah tak sengaja berjumpa dengan Adriaan Rudolph Willem Gey van Pittius, atau biasa dipanggil Gey, seorang petinggi prajurit Belanda di Kampemenstraat. Saling terpikat satu sama lain, Isah akhirnya memilih tinggal bersama Gey untuk menjadi seorang Nyai. Sebagai sosok Nyai baru, Isah diceritakan beradaptasi dengan perannya dengan baik. Ia mengatur keuangan, mengatur koki dan jongos, menata rumah, dan melayani tamu dengan “tak terlihat”.
Tak lama, Isah hamil. Dalam kehidupan singkatnya bersama Gey yang “hanya hangat diranjang”, ia dikaruniai dua orang anak, Pauline dan Louisa. Tak lama setelah kelahiran Louisa, Gey tiba-tiba pamit pada Isah untuk pergi ke Belanda dalam waktu yang sangat lama. Perannya sebagai Nyai pun terhenti begitu saja. Gey kemudian menyarankan agar Pauline dan Louisa diasuh oleh Arnold dan Lot, sepasang suami istri yang merupakan sahabat Gey, dengan pendidikan Belanda. Isah yang sakit hati pun terpaksa harus memohon kepada Arnold supaya ia tidak dijauhkan dari kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Akhirnya, sepasang suami istri itu mengizinkan Isah untuk menjadi pengasuh bagi kedua anaknya sendiri, dengan catatan anak-anak itu tidak boleh mengetahui jika Isah adalah ibu kandungnya.
Peran menyakitkan itu dijalani Isah selama bertahun-tahun lamanya. Hingga Pauline dan Louisa satu persatu mulai pindah ke Batavia untuk melanjutkan sekolah asrama ke jenjang yang lebih tinggi. Isah dipindahkan untuk bekerja di Purwokerto, tapi pikirannya terus melayang pada kedua anaknya. Berkat bantuan sahabatnya, Kampret, Isah akhirnya berhasil kabur ke Batavia untuk mencari anaknya.
Dan begitulah akhirnya Isah bertahan hidup dan bertemu dengan Keluarga Wiggers. Isah menyatakan jika ia menyerah mencari anak-anaknya setelah mereka benar-benar menghilang tanpa jejak. Isah harus menanggung luka di hatinya seumur hidup hingga ia meninggal pada 1917.
Nyai dalam Kehidupan Era Kolonial
Isah mungkin adalah satu di antara ribuan Nyai di era penjajahan kolonial Belanda. Reggie Bay dalam bukunya Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda memaparkan jika kata “Nyai” (terkadang Nyahi) merupakan kata dari bahasa Bali. Penggunaan istilah itu muncul berbarengan dengan fenomena perempuan Bali yang menjadi gundik orang-orang Eropa di wilayah VOC pada abad 17. Di abad 19, sosok Nyai mendapatkan beberapa julukan kurang mengenakkan, seperti inlandse huishoudster (pembantu rumah tangga pribumi), moentji atau mondje (mulut kecil), snaar atau snoer (pelacur atau perempuan panggilan), meubel (perabot), inventarisstuk (barang inventaris), boek (buku), serta woordenboek (kamus). Dua istilah terakhir mengemukakan peran Nyai sebagai penerjemah bahasa Pribumi kepada para suami mereka.
Reggie Bay dalam bukunya yang komprehensif tersebut banyak menuliskan kutipan-kutipan kesusasteraan di era kolonial yang merepresentasikan perlakuan terhadap Nyai di masa itu. Dalam kutipan-kutipan cerita, sering Nyai direpresentasikan sebagai makhluk bodoh, licik, penuh perhitungan, menggoda, bahkan berbahaya. Padahal, jika kita mengeksplorasi lebih jauh kisah-kisah Nyai sungguhan di era kolonial, sering kali posisi Nyai-lah yang tidak diuntungkan. Nyai sering ditinggalkan tuannya tanpa kompromi dan sering kali hidupnya berakhir sendirian dan tragis.
Kedatangan VOC ke Hindia Belanda menyisakan satu masalah serius, yakni masalah perkawinan. Perkawinan yang berlangsung antara prajurit laki-laki Belanda dengan perempuan Belanda hanya terjadi di lingkungan elit. Semenjak pertumbuhan pesat Hindia Belanda pada abad 18, fenomena Nyai meningkat tajam. Perkawinan campur ini menghasilkan anak-anak campur yang disebut sebagai voorkinderen. Reggie Bay juga mencatat jika sering kali anak-anak tersebut dialihkan kepada pasangan Eropa lain dengan memberi imbalan dan melupakan peran Nyai sebagai ibu kandung mereka. Hal ini sama persis dengan apa yang terjadi kepada Isah dan kedua anak perempuannya di dalam novel.
Melalui novel Lebih Putih Dariku, Isah menjadi simbol kesetiaan sekaligus kerentanan perempuan. Meski hal yang terjadi pada hidup Isah begitu sulit, Isah dan nilai-nilai Jawa yang dianutnya senantiasa membuatnya selalu berteguh hati, bekerja keras, dan berdiri dengan kakinya sendiri hingga akhir hayat.
***
Editor: Ghufroni An’ars