Seorang Youtuber asal Denmark, Kristian Hansen, pernah mendokumentasikan perjalanan yang dia lakukan saat mengunjungi beberapa kelompok masyarakat adat Dayak yang hidup jauh di pedalaman Pulau Kalimantan. Perjalanan puluhan kilometer menyusuri hutan dan sungai harus dia tempuh untuk bisa bertemu langsung dengan mereka, suku asli Tanah Borneo.
Kristian harus menempuh perjalanan menyusuri hutan sepanjang 20 kilometer untuk sampai di Desa Juhu, salah satu pemukiman Dayak Meratus. Begitu juga ketika dia mengunjungi salah satu pemukiman Dayak Bahau di daerah Long Bagun, Mahakam Ulu. Perlu waktu tidak kurang dari 31 jam menyusuri sungai dengan tiga perahu berbeda untuk bisa bertemu langsung dengan mereka.
Baca juga:
- Butet Manurung Sang Pendidik Suku Anak Dalam
- Suku Mapur: Punahnya Orisinalitas Budaya di Tanah Bangka
Melihat situasi dan kondisi di masa kini, nasib beberapa kelompok masyarakat adat Dayak itu tentu adalah dampak dari kebijakan pembangunan yang belum merata di pulau Kalimantan. Karena tujuh puluh sembilan tahun sejak merdeka adalah waktu yang lebih dari cukup untuk pemerintah hadir melalui pemenuhan hak hidup layak bagi mereka sebagai bagian dari warga negara.
Tetapi, bukan faktor eksternal akibat dari kegagalan pemerintah saja yang membuat sebagian kelompok masyarakat adat Dayak masih hidup terisolasi sampai sekarang. Sejarah hidup mereka juga punya andil yang cukup besar dalam membentuk situasi dan kondisi di masa kini. Sebuah kisah panjang tentang orang-orang bebas yang menolak untuk takluk dan dikuasai.
Suku Merdeka yang Kabur dari Negara
Melalui buku ini, Bima Satria Putra ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa anarkisme yang identik dengan anti terhadap berbagai bentuk intervensi kekuasaan, termasuk negara, adalah nilai-nilai yang lebih dahulu hidup bersama dengan keseharian suku Dayak di masa lalu. Bima yakin kalau sesuatu yang asing bagi mereka bukanlah anarkisme, melainkan negara yang justru baru datang belakangan.
Sejarah hidup suku Dayak adalah kisah tentang perlawanan terhadap otoritas yang ada di tanah Borneo. Jauh sebelum menjadi bagian dari Indonesia, mereka adalah orang-orang merdeka yang selalu berjuang untuk menghalau dan menghindar dari berbagai upaya penaklukan. Baik upaya penaklukan oleh kerajaan maupun upaya penaklukan oleh pemerintah kolonial di masa lalu.
Sebagian dari mereka masih hidup terisolasi dengan keterbatasan fasilitas dan infrastruktur serta jauh dari kesibukan pusat-pusat kota di pulau Kalimantan sampai sekarang. Hal itu merupakan salah satu jejak yang tersisa dari cerita panjang tentang perjuangan suku Dayak mempertahankan nilai-nilai tradisi yang sudah ada jauh sebelum negara hadir dan mencoba untuk melakukan intervensi.
Berdasarkan kutipan dari berbagai catatan etnografi yang disajikan, jika mustahil bagi mereka untuk menghalau dan melawan, maka menghindar dan kabur dari kejaran negara (kerajaan dan pemerintah kolonial) adalah jalan terakhir yang terpaksa harus diambil oleh suku Dayak untuk bisa tetap hidup merdeka. Bahkan jika terpaksa harus pergi jauh semakin ke dalam hutan-hutan di Pulau Kalimantan.
Melarikan diri dan kabur dengan menjaga jarak dari negara pada dasarnya juga adalah strategi awal untuk melawan upaya penaklukan. Karena saat negara memutuskan untuk coba melakukan intervensi kepada suku Dayak, perjalanan menuju pemukiman mereka sudah merupakan medan perang tersendiri yang tidak sedikit menggugurkan prajurit-prajurit yang dikirim dalam upaya itu.
Mencegah Bibit Negara Tumbuh dari Dalam
Di masa lalu Dayak adalah suku yang anti terhadap berbagai bentuk intervensi kekuasaan. Namun, secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kategori. Sebagian hidup sebagai kelompok yang egaliter dan sebagian yang lain hidup sebagai kelompok yang terstratifikasi ke dalam kelas-kelas sosial dengan status, peran, serta kewenangan yang tentu saja memiliki perbedaan.
Oleh karena itu, orang-orang Dayak di masa lalu (terutama sebagian kelompok yang terstratifikasi) sadar bahwa negara bukan hanya bisa masuk dari luar, melainkan juga mungkin bisa tumbuh dari dalam. Bibit negara bisa tumbuh jika kewenangan yang dimiliki oleh status dan peran tertentu dalam kelompok mereka tidak dibatasi untuk menjadi terlalu besar menuju model kekuasaan khas negara.
Baca juga:
Model kekuasaan khas suku Dayak cukup berbeda dengan yang ada pada negara. Supaya tidak terpusat hanya kepada segelintir orang, mereka memiliki nilai-nilai tradisi yang khas untuk mendistribusikan kekuasaan yang ada dalam kelompok. Bagi sebagian kelompok yang egaliter bahkan tidak ada status dan peran tertentu yang memiliki kewenangan untuk memberikan perintah.
Kewenangan itu diberikan secara bergantian kepada siapa saja sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Bima memberikan contoh, saat sedang berburu dalam hutan, mereka akan patuh kepada perintah dari salah satu anggota kelompok yang diakui memiliki kemampuan paling baik dalam hal berburu. Tujuannya tentu agar mereka tidak pulang dengan tangan kosong.
Sedangkan bagi sebagian kelompok yang terstratifikasi, relasi kuasa antar kelas tidak terbangun secara timpang. Sebagai contoh, ketika ada perintah yang tidak disukai atau tidak dikehendaki, anggota kelompok dengan kelas sosial yang lebih rendah bisa dengan bebas menolak walaupun perintah datang dari anggota kelompok dengan kelas sosial yang lebih tinggi.
Begitu juga dengan penyelesaian konflik. Tidak ada “hakim” yang punya kewenangan untuk memutuskan sebuah perkara di antara pihak-pihak yang sedang berseteru. Ketimbang memutuskan dengan tegas siapa yang salah dan harus dihukum, fokus mereka justru mencari kesepakatan yang bisa diterima bersama agar penyelesaian masalah tidak mengakibatkan keretakan sosial dalam kelompok.
Jejak Anarkisme di Tanah Borneo
Pada akhirnya, tulisan panjang Bima dalam buku ini seperti ingin memberikan pernyataan kepada pembaca bahwa anarkisme bukan sesuatu yang asing dan baru bagi masyarakat Indonesia. Anarkisme sebagai istilah mungkin memang datang dari “luar”, tetapi, jejak paham itu sebagai nilai bisa dilacak bahkan jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka tujuh puluh sembilan tahun yang lalu.
Sejarah hidup masyarakat adat Dayak menjadi pendukung argumentasi itu. Orang-orang Dayak di masa lalu mungkin belum pernah mendengar dan tahu istilah anarkisme. Tetapi, lebih dari sekadar tahu, nilai dari pahami itu justru sudah jauh-jauh hari tumbuh dalam tradisi dan kehidupan mereka. Meresap ke dalam nilai-nilai tradisi mereka sebagai suku asli tanah Borneo. (*)
Editor: Kukuh Basuki