Yang Termaktub Dalam Sabda Kasih
: specially dedicated to William John Little, Alice Wong, Dan Keplinger, Christy Brown & Janna
I.
Di sela-sela waktu, kau mencoba memunguti repihan-repihan nasib yang rentang dari tangan kiri malaikat. Tatkala pertempuran, kau sentosa dalam dekapan seorang inang. Getir dan gempita telah mendesak ia berlari. Ia pun buru-buru membawamu melintasi tujuh lapisan langit. Ia lalai, tanpa sengaja menghempaskanmu. Suratan-suratan bahagia memudar, sebab kedua kakimu telah tewas oleh takdir.
Di tengah-tengah kehampaan, Tuhan berusaha menyucikan hatimu; mengirimkan Daud sebagai penyembuh lara yang disantuni kasih-Nya. Dan ia telah mengubah pandanganmu, bahwa setiap makhluk pantas dikasihi. Layaknya sang raja yang hirau kepada anjing mati—pangeran maha mulia.
II.
Purnama telah terlebih dahulu benderang sebelum matang. Jemarimu berulang-ulang mengetuk pintu, ingin melesat dari rahim Ibu. Dengan polos kau menerka, bahwasanya telah tiba waktu untuk menyapa dunia.
Ibumu menangis. Tubuhmu ringan, bahkan separuh kali lebih kecil berbanding boneka mewah. Saat itu, jarak maut hanya sejengkal darimu. Kau terlantar, diintubasi, hari pertamamu tak disambut oleh sorak-sorai. Hanya sahutan tangis yang berharap agar usiamu terus panjang.
Petugas-petugas kesehatan datang menyelamatkanmu. Tertera di selembar takdir, seorang bayi mungil didiagnosa disabilitas Serebral Palsi. Istilah yang asing bagi orang-orang yang tak pernah mengenal.
Ada bibir yang menyumpahi bahwa kau tak akan mampu berjalan seumur hidup. Kelak dirimu akan tertinggal oleh teman-teman sebaya.
Seisi bumi hanya tertawa. Betapa mereka tak mengetahui engkau telah lama menjangkau dunia, tanpa harus jauh-jauh berkelana.
Selamat! Akhirnya Tuhan tak menyia-nyiakan deritamu, wahai anakku.
–
Dalam Tumpahku
dunia, dengarkah kau pada teriakku?
mungkinkah lebih keras cibiran manusia yang terus menghantamku?
barangkali tak cukup fasih lidahku merapal pinta?
atau terlalu rendah harkatku hingga tak pantas dipandang setara?
Tuhan, bolehkah sebentar aku ludahkan amarah?
kebakaran ini telah melahap tubuhku perlahan, tanpa kasihan
bagaimana harus aku mengampuni patah?
sedang engkau mengirimku di tengah-tengah peperangan
lalu, dengan kekuatan yang mana harus kulawan?
takdir, larakah kau pada segala kutukan itu?
sepertimana lemahku, sepertimana ringkih tulangku
sudahkah mereka mengerti rasa letihku?
sudikah mereka seadanya mengasihi rumpangku?
aku juga ingin seperti itu
bebas menikmati sisa hidupku
bebas berkelana dengan sayapku
sungguh, aku juga ingin menjadi
sama seperti mereka…
setara; dan bukan berbeda
–
Marraine Fée
Dan sepanjang hidupnya, ia tak henti memintal kasih.
Sepersalinan songket melilit tubuh, sanggul lintang menghiasi kepala, gincu merah muda tercoret pada bibir, begitu ia tampil penuh pesona. Layaknya bidadari yang tercipta dari Firdaus-Nya. Telah jatuh hatinya pada rupawan yang perkasa. Di mahligai kasih, kala itu, tersaksikan, keduanya bertandang merajut cinta.
Pasangan itu cantik sekali, Ibu. Bagai pinang dibelah dua, berupa bintang dan purnama.
Kelak aku sudah dewasa, aku ingin lungguh di dekatmu. Akan kugenggam tanganmu, menuju ke pelaminan itu.
Katamu, kita sehidup semati, kan? Hidupmu adalah untukku. Kuatnya engkau demi nyalaku. Barangkali setelah lahirnya aku, adalah kebahagiaan yang akan kaukecapi sepanjang waktu.
Aku mengerti, Bu. Terkadang hatimu basah tatkala menyaksikan aku yang sedang belajar bertumbuh. Kuingat betul, kau tak menyukainya sama sekali, bilamana aku teledor mengamati diri.
Ibu, kita tak memiliki banyak waktu. Kau tahu, kan? Aku paling takut bila kelak engkau mendahuluiku, sedang aku tak sempat menebus dosa-dosaku dan segala penderitaanmu.
Ibu, bolehkah kelak aku ingin namamu yang bersanding denganku? Sebab, manakan hadir seorang laki-laki yang akan memakaikan sepatu di kakiku. Mustahil bila laki-laki itu akan selalu menopang rusukku dengan kedua lengannya, Bu.
Ibu, bolehkah kelak aku ingin hidup berdua saja denganmu? Sebab, manakan datang wanita lain yang mampu mengasihiku seperti luasnya hatimu. Mustahil bila wanita itu akan selalu meminjamkan pundaknya tatkala aku beruraian air mata, Bu.
Aku tahu, bila ini yang terucap dari bibirku, kau tak akan merestuinya. Aku percaya, Ia akan turut murka. Namun tak apa, sebab aku pun berkali-kali hampir mati karenanya.
Ibu, hatiku tak pernah setegar karang.
Ia pun sama ringkihnya seperti tulang-tulangku.
Ibu, akankah suatu kelak engkau menikahiku?
Darah yang mengalir pada tubuhku, tentu tak akan mengizinkan kita bercerai.
–
Tuhan, Bolehkah untuk Sekali Ini Saja, Aku Tak Ingin Menjadi Seorang Tunadaksa?
ada sepasang kaki
sedang merangkak menuju lapangan
langkahnya kesot
tak mahir menggapai langit
ada sepasang jari-jemari
sedang menghitung bintang-bintang
meski lengannya tak luas
ia terlahir dengan hati selembut kapas
mata penuh binar
berharap dewasanya tak hambar
ia tak ingin menyantap hati seorang diri
hanya untuk menangisi orang-orang yang tak pernah peduli
berjuta warna impian
yang singgah di kepalanya
sedang dunia berusaha kelabui jalan
satu demi satu
liku demi liku
O, Tuhan
teman-temanku sedang bermain di taman
masak aku harus ketinggalan?
setelah ribuan tawar-menawar dalam doa,
sudilah Engkau berbaik hati
mengizinkan ia tumbuh dengan sempurna?
–
Rengkat
lantas ia sungguh tekun menenun kasih
pada mesin jahit pemberian Ibu.
di antara belahan kain yang menutup kedua paha
ia temukan bekas tumpukan darah yang semerbak
seperti bebunga surga.
serupa rumah yang menyatukan hatinya
dengan bidadari tercinta.
dahulu Ibu pernah bicara,
sepuluh tahun lalu ia menggadai nyawa
di hadapan cahaya pencabut jiwa.
ia menuju ke kaki langit dengan
mengayuh sepeda, tanpa harta, dan berbekalkan upaya
lalu ia membawa pulang amanah-amanah
berupa sekantung janin khusus tercipta dari atas sana.
tertulis sebuah rentang waktu pada riwayatnya,
sembilan bulan dan sepuluh hari
selama itu ia akan belajar mencintai anaknya.
selama itu ia merelakan rahimnya menjadi sehangat rumah.
selama itu ia akan menikmati masa-masa berdua.
namun Sang Pencipta masih merahasiakan jalan hidupnya yang satu ini.
ada waktunya bumi berputar lebih cepat dan manusia terlalu sibuk untuk memerhati.
ada waktunya iradat Tuhan mendahului pinta dalam doa-doa.
seperti ia yang tak menduga bahwa ketubannya akan pecah tatkala hening subuh. seperti darah yang tak berhenti tumpah sebelum waktunya. atau harus menyaksikan bayinya bertumbuh rengkat sepanjang hidup. atau bayinya tak terlahir semungil bayi lain. atau manusia-manusia jahat seringkali mencoba untuk membunuh kebahagiaannya. atau ia memang harus memikul payah dan derita sebelum tiba di pintu nirwana.
lantas ia sungguh ikhlas menyulam rindu
pada gaun pernikahan yang dipakai Ibu.
di antara benang-benang yang melingkari tubuhnya
ia kembali merasakan pelukan yang ia dambakan sejak lama.
seperti teduh awan;
pada mendung yang bermukim di matanya.
kuat atau lemah yang ia bawa,
semua berasal dari perempuan yang menuntunnya
sedari belum cukup usia.
meski tak semegah gadis lain;
adapun ia sudah terlebih dahulu memenangi hati Ibu.
walau terkadang ia hanya membawa pulang
wajah cemberut dan air mata.
–
Karena Aku Tak Secantik Heather, Sayangku
nyenyakku dihempaskan mentari pagi. lagi-lagi diriku terjebak dalam sebuah imaji. ingin aku lari dari cinta yang kubancuh sendiri. ingin aku berteriak pada secangkir benci. sebuah larutan pahit yang diramu patah hati.
tak ada yang menarik tentang hari ini. hanya tanggal tiga di akhir purnama dan aku masih sendiri. duniaku masih berputar-putar di sekitar kamar, jiwa dan kepala. romansa hanyalah mitos bagi warga sebatang kara.
vinyl hitam mulai memainkan nada, runut melodi hinggap semerbak di telinga. satu demi satu huruf yang berkicau seakan-akan peluru yang meledak tepat di dadaku. ah, sebentar. izinkan aku menikmati dan menangkapnya pelan.
Why would you ever kiss me?
I’m not even half as pretty
sial, lagu ini mengutukku. aku tak akan pernah bisa dicintai (lagi). aku bukan Cinderella dan tak ada pangeran yang akan hadir lalu menyelamatkanku dari suramnya dunia. aku tahu, aku tahu! tapi aku masih (sedikit) mau mencicipi fantasi cinta.
But you like her better
I wish I were Heather
Wish I were…
ah, sudahlah. persetan dengan lagu-lagu & ideologi bucin. meski aku bukan Heather, setidaknya dunia sudah mengenalku sebagai seorang ‘survivor’.
I was born stronger, from the womb of a strong mother. Crippled, but instead God gave me wings.
So, Darling, will you defeat me?
*****
*Puisi-puisi ini ditulis dalam rangka merayakan Hari Disabilitas Internasional yang berlangsung pada tanggal 3 Desember setiap tahun.
Editor: Moch Aldy MA