Akhir-akhir ini kita selalu disuguhkan sebuah narasi tentang anak muda, bagaimana muda-mudi harus bersikap dan bergerak, mulai dari politik praktis sampai isu-isu perubahan iklim. Partai politik hingga beberapa organisasi masyarakat sipil tengah gencar melancarkan narasi ini.
Tulisan ini berangkat dari keresahan saya mengenai fenomena tersebut. Lalu muncullah sebuah pertanyaan dalam angan-angan saya, apakah betul narasi itu datang tulus dari muda-mudi? Atau jangan-jangan ada kepentingan lain yang hanya memanfaatkan kepolosan mereka untuk tujuan tertentu, misalnya politik praktis, seperti untuk mendulang suara atau memakai muda-mudi semata demi kebutuhan laporan program atau proyek. Tentu hal seperti ini perlu diurai dan dijadikan diskursus.
Muda-mudi adalah entitas yang tengah beranjak dewasa, mencari jati diri, dan tengah memantapkan pilihannya. Narasi-narasi yang berkembang tentu akan menjadi preseden buruk bagi pengalaman proses mereka menjadi dewasa. Dampaknya akan sangat berpengaruh pada “trust” dan “trauma“, jika pada satu titik mereka merasa hanya dijadikan subjek dari kepentingan-kepentingan yang tidak ada kaitannya dengan mereka.
Baca juga:
Muda-mudi Harus Bebas Memilih
Mengacu pada WHO, muda-mudi adalah mereka yang berusia 15-24 tahun. Artinya mereka adalah yang tengah mengenyam sekolah menengah atas sampai perguruan tinggi, dan tengah menapaki usia di mana harus menentukan pilihan: setelah lulus sekolah mau bekerja, kursus, atau kuliah; setelah lulus kuliah mau lanjut studi atau bekerja. Pada masa-masa itu mereka juga akan dihadapkan pada preferensi politik sampai aneka isu yang akan menjadi bagian dari sejarah proses kognitif mereka.
Di situasi tersebut, muda-mudi tengah menapaki status baru di lingkungan sosial, sebuah transisi menjadi dewasa dan menjadi bagian penting dari sebuah ekosistem sosial. Pilihan menjadi kunci dalam proses kognitif dan sosial mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Giroux dalam “Born to Consume: Youth and the Pedagogy of Commodification“, muda-mudi ini merupakan investasi sosial di masa yang akan datang dan menjadi simbol untuk masa depan yang menjanjikan. Artinya mereka dianggap sebagai generasi yang melanjutkan kehidupan, bahkan dibebani harapan.
Itulah mengapa proses-proses pendidikan sampai upaya mengatur mereka untuk menuruti beban harapan dari generasi sebelumnya, sangat kentara dalam aneka injeksi pengetahuan, seperti yang terjadi di keluarga, sekolah, sampai organisasi. Mereka dibentuk sedemikian rupa untuk menjalankan harapan yang terkadang mereka tidak ketahui dan terlibat dalam prosesnya. Saya teringat sebuah persoalan fundamental freedom of choice, bagaimana mereka pada akhirnya tidak punya pilihan. Ini terjadi karena mereka adalah subjek harapan yang tidak berangkat dari pengalaman mereka sendiri, tetapi dipaksakan untuk tujuan tertentu.
Di Indonesia, situasi ini tergambar sangat jelas. Sejak lahir mereka dibebani harapan, diatur agar sesuai keinginan orang tua dan lingkungan sosial. Bahkan pada kondisi terkini mereka mulai diarahkan dan diatur untuk menjadi subjek yang dimanfaatkan dalam proses komodifikasi, di mana mereka menjadi subjek yang digunakan sebagai alat untuk melipatgandakan keuntungan dan mencapai tujuan generasi di atas mereka.
Baca juga:
Contohnya bagaimana partai politik hingga organisasi masyarakat sipil membangun narasi mengenai muda-mudi yang berangkat dari kepentingan mereka. Bagaimana mereka hanya menjadi simbol dari sebuah tujuan yang tengah ingin dicapai, seperti untuk mendulang suara dan mengokohkan kekuasaan. Di sisi lain mereka juga dijadikan komoditas untuk memenuhi target proyek atau program yang kadang mereka tidak tahu, hanya dilibatkan tanpa dimintai partisipasinya. Muda-mudi tidak punya kebebasan memilih, tidak berpartisipasi dalam proses, dan kehilangan hak. Mereka hanya menjadi pemanis. Dan semua narasi adalah koersi dari orang tua atau kepentingan yang dipaksakan dari pemikiran top-down.
Muda-mudi Harus Berdiri Sendiri
Melihat situasi demikian, hemat saya muda-mudi harus mulai berani menyuarakan pendapatnya dan berdiri sendiri tanpa terintervensi harapan-harapan beban generasi sebelumnya. Mereka punya dunia sendiri dan punya kebebasan dalam menentukan pilihan. Muda-mudi memiliki pengalaman mereka sendiri, yang pastinya akan menjadi pengetahuan untuk menentukan apa yang ideal menurut mereka.
Di sini saya ingat Greta Thunberg yang mengatakan: Adults keep saying: “We owe it to the young people to give them hope.” But I don’t want your hope. I don’t want you to be hopeful. I want you to panic. I want you to feel the fear I feel every day. And then I want you to act. I want you to act as you would in a crisis. I want you to act as if the house is on fire. Because it is.” – At the World Economic Forum in Davos, Switzerland, in January
Greta menyadarkan kita bahwa muda-mudi bukan pengemban harapan orang tua, mereka punya jalan dan pilihannya sendiri. Dalam hal terkait krisis iklim, tugas dan peran dalam melawannya bukan beban anak muda, tapi semua orang, termasuk orang tua. Dengan demikian di sini kita sadar, muda-mudi punya kebebasan memilih dan sejajar dengan generasi sebelumnya. Mereka berdiri sendiri atas segala pilihan, termasuk dalam lingkungan sosial.
Muda-mudi harus bersuara, menunjukkan mereka punya arah dan tujuan sendiri, bukan disetir kepentingan orang tua, politik praktis, atau organisasi yang hanya mementingkan program atau proyek. Sudah saatnya muda-mudi merebut narasi mereka sendiri dan berdiri tanpa intervensi: menentukan masa depan sendiri, preferensi politik, dan menjadi bagian utama dalam narasi isu yang disuarakan. Melawan dominasi adalah jalan untuk menunjukkan bahwa muda-mudi bukan boneka yang hanya bisa diatur, melainkan manusia seutuhnya yang punya kuasa dan kehendak atas masa depannya sendiri.
Editor: Prihandini N