Si Kerah Biru Berdompet Emas

Naufalda Hanum

5 min read

Angka-angka kiriman Dewa Yunani yang sedang bergulir di layar ponsel Rusdi, membuatnya tak bergegas masuk ke dalam toko kelontong. Dia masih saja berdiri di pelataran toko kelontong. Mencoba peruntungan bersama para Dewa Olimpus. Dua kali ia mengambil langkah mundur untuk orang lewat, satu kali mengabaikan sapaan orang dan tiga kali menyingkirkan notifikasi pesan dari istrinya yang membuat Rusdi tak bisa melihat layar ponselnya secara utuh.

Baru selangkah masuk ke toko, Rusdi langsung disambut bau tembakau bakar bercampur balsem. Aroma yang tidak bakal dia temui, di supermarket besar atau minimarket. Rusdi memilih tak peduli. Ia berjalan lurus melewati meja kasir. Sumber bau sekaligus singgasana si pemilik toko. Ia tidak menggubris aroma menyengat yang memberi sensasi panas di rongga hidungnya.

Ketidakpedulian Rusdi bukan karena ada banyak yang harus dibeli. Namun, fokusnya sudah lebih dulu bercabang, pada rak sembako yang harus dituju dan layar ponselnya yang heboh. Sibuk menampilkan wajah Dewa Zeus dan batu kristal warna-warni.

Berkat ketidakfokusan itu, Rusdi menghabiskan waktunya terlalu lama di dalam toko kelontong. Butuh waktu lebih dari delapan belas menit bagi Rusdi untuk sekedar memasukkan beras, minyak dan telur ke dalam keranjang belanjaanya. Itu merupakan catatan waktu yang buruk bagi seorang pegawai pabrik semacam Rusdi—yang terbiasa bekerja efisien sebab dikejar target.

“Seratus delapan puluh delapan ribu enam ratus rupiah” ujar pemilik toko, mempertebal aroma tembakau yang dideteksi hidung Rusdi.

Sepersekian detik ia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Ia membelalak, terkejut mendengar besarnya nominal yang harus dibayar untuk beras, minyak dan telur. Bahan pokok yang akan habis dalam seminggu saja.

Ia sodorkan dua lembar uang seratus ribu. Sesekali matanya melirik ke arah tangan pemilik toko, memastikan kembaliannya tidak ada yang diganti permen. Budaya yang belakangan dipelajari toko-toko kelontong dari minimarket.

Setelah menerima kantong belanjaannya, Rusdi buru-buru memindahkan kantong itu ke tangan kiri. Ia kembali menugaskan tangan kanannya untuk menopang ponsel. Alat komunikasinya dengan dewa, benda canggih yang sempat ia himpit di ketiak.

Hampir seperempat jam Rusdi hanya berdiam diri di atas motor. Masih di parkiran toko kelontong. Menatap ponsel di tangannya, tak tahu waktu dan tempat.

Buruh pabrik garmen itu barangkali telah lupa pada surat yang dia terima bulan lalu. Surat Peringatan pertama selama tiga tahun ia bekerja di pabrik. Akibat dari kecanduannya bertemu Dewa Yunani, membuatnya sibuk dengan ponsel di jam kerja.

Pada menit ke 20 barulah Rusdi meletakan ponselnya ke dasbor. Menghidupkan motor dan memulai perjalanan pulang ke kontrakan. Rumah sewa bernomor 1918.

Sesampainya di kontrakan, Rusdi memarkirkan motornya di depan pintu. Kontrakan Rusdi terbilang kecil. Sekedar ruangan open plan dengan satu sekat, memisahkan area tidur dengan dapur dan kamar mandi. Di ruangan tempatnya tidur itulah Rusdi dan istri yang baru dinikahinya selama dua tahun, beraktivitas. Tidur, makan dan menerima tamu.

Tepat di depan kontrakan Rusdi, terdapat kontrakan sejenis bernomor 1927. Selain kosong, ia juga jadi pemutus urutan angka. Mungkin karena si pemilik merintis usaha kontrakan berderetnya secara berkala. Membuat nomor rumah di lingkup RT 19 bernomor 28 sampai 45 sudah jadi hak orang lain. Gagal jadi nomor tempat buruh membuang lelah. Ya, delapan puluh persen deretan kontrakan itu memang diisi oleh para buruh. Terutama para kerah biru.

Setelah meletakan kantong belanja di samping pintu masuk area dapur yang hanya tertutup gorden, Rusdi langsung merebahkan diri ke kasur. Ia berteriak, memberi kabar kepada istrinya yang tengah mandi. Menginformasikan bahwa pesanan sudah datang sesuai perintah.

Dari dalam bilik kamar mandi, sang istri meminta Rusdi menuang beras ke dalam ember  yang memang sudah tahunan jadi wadah mereka menyimpan beras. Tapi Rusdi memilih abai dan kembali fokus pada layar ponselnya. Melanjutkan hobi barunya bersedekah pada Zeus, Dewa Olimpus yang kaya raya—Ayah dari dewa Hermes yang pandai berjudi.

Anehnya, gambar Hermes tak pernah ada dalam permainan. Barangkali pamor Zeus yang kaya raya lebih memikat ketimbangan kecerdasan Hermes. Ilusi kemenangan lebih terpancar dari sosok Zeus yang beruntung perihal harta, takhta dan wanita.

“Mas, bulan depan aku terima gajimu full kan? Sudah terlalu lama gajimu kepotong” ujar Sari, istri Rusdi yang baru saja keluar dari kamar mandi, sekadar dibalas keheningan oleh Rusdi.

Sari merasa kesal, sebab pertanyaannya tidak direspons, ditambah saat melihat beras yang dibeli suaminya masih berada di kantong belanja. Sambil memegang perut karena tengah hamil muda, ia kembali mengeluh soal beras yang belum berpindah ke wadah. Bukannya mendapat respons Rusdi yang beranjak dari kasur, Rusdi justru memintanya bagi tugas. Rusdi sudah pergi ke toko kelontong, jadi menaruh beras ke ember adalah tugas Sari yang tidak pergi.

Mendapat jawaban seperti itu, Sari langsung menjabarkan semua pekerjaannya di rumah. Mulai dari mencuci, memasak, membersihkan rumah dan rutin belanja setiap hari. Dia juga bilang, Rusdi hanya pergi belanja di hari Minggu, itu pun jarang. Di tengah keluhannya, sebagai istri, Sari juga mempertanyakan sampai kapan ia harus kehilangan ratusan ribu uang bulanannya. Bahkan sudah lebih dari dua kali dia hanya dapat separuh gaji sang suami.

Mendengar keluhan istrinya sudah menyerempet sampai gaji, Rusdi bangkit dari tidurnya. Dimintanya sang istri untuk diam, intonasinya agak keras. Selanjutnya dengan berusaha meredam emosi, Rusdi meminta istrinya mengerti bahwa dia sedang berusaha. Rusdi mengingatkan Sari soal rezeki yang mereka terima beberapa bulan lalu. Uang dengan nominal hampir dua kali lipat gaji Rusdi. Rezeki yang begitu mudah diperoleh.

Respons Rusdi justru membuat Sari dapat bahan baru untuk berdebat. Ia mengungkit bahwa rezeki yang dibanggakan suaminya sudah lama, sudah tujuh bulan lalu. Setelahnya yang dia dapat sebagai istri hanya uang bulanan yang makin mengecil jumlahnya. Sari juga mengeluhkan keras kepala Rusdi yang menolak berhenti mengadu nasib lewat game tak jelas di ponselnya.

“Kamu ini! lupa dari sini aku belikan kamu cincin emas yang gramnya lebih berat  dari mas kawin kita?” Bentak Rusdi, ia merasa terlalu disalahkan atas kekurangan keluarga mereka. Tak hanya itu, Rusdi bahkan menanyakan peran istrinya yang tak ikut andil dalam mencari pundi-pundi uang. Dia juga menjelaskan bahwa bekerja sebagai buruh pabrik dengan target harian tak manusiawi itu sangat melelahkan, Rusdi amat berharap bahwa istrinya mau paham soal kebiasaan barunya bermain dengan para dewa. Toh jika beruntung dari sana juga akan dapat uang.

Mendengar pembelaan suaminya, membuat Sari tertawa meledek. Sari mengingatkan Rusdi, bahwa cincin yang baru saja dipamerkan sudah nangkring di pegadaian. Sari bahkan bilang, kalau Rusdi masih kekeh bermain judi online, cincin kawinnya pasti juga bakal menyusul ke pegadaian.

“Tidak ada lagi yang bisa digadai selain cincin kawin ini kan? usahamu itu bukannya membuat untung malah menambah hutang. Minimal kalau sudah haram jangan sampai membuat miskin, Mas!” jelas Sari panjang lebar.

Mendengar jawaban Sari tak membuat Rusdi introspeksi. Dia memilih pergi, baginya itu sudah lebih baik ketimbang bertindak kasar secara fisik. “Hari Minggu bukannya istirahat, malah kena ceramah ini itu,” ujar Rusdi sembari menutup pintu dengan kasar. Setelahnya yang terdengar hanya suara motor menjauh dan tangisan Sari.

Rupanya Rusdi singgah di pangkalan ojek online. Dia langsung duduk di dekat orang yang ia kenal, tetangga kontrakannya. Penghuni kontrakan nomor 1946. Kontrakan di samping nomor 1927 yang kosong.

Di pangkalan ojek, Rusdi bercerita soal istrinya yang tak bersyukur atas gaji yang diberikan Rusdi. Mendengar curhatan Rusdi, si tetangga menyarankan Rusdi untuk meminta Sari ikut bekerja. Mencontoh istri dari tetangga mereka, penghuni kontrakan 1948 yang setiap pagi pergi jadi buruh cuci di kios laundry.

Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek mengatakan, bahwa cuma ada satu keahlian seorang wanita saat sudah jadi istri. Mengeluhkan gaji pemberian suami. Tukang ojek itu juga bilang, peluang selalu ada bagi yang terus mencoba. Rugi sebentar tak jadi masalah, begitu kata si tukang ojek sembari matanya fokus pada guliran angka di ponsel.

Entah kenapa mendengar saran tetangganya membuat Rusdi berpikir, bahwa sebetulnya untuk hidup berdua gajinya masih saja cukup. Bahkan bukan hal sulit untuk seminggu sekali makan ayam. Namun, ia menolak jadi alasan utama dalam permasalahan rumah tangganya. Rusdi memilih menyalahkan gajinya yang tak cukup. Jelas tak cukup kalau anaknya lahir dan kebutuhan mulai bertambah, sementara ia terlanjur terbiasa mengabdikan diri demi memperkaya bandar.

Menjelang Magrib, Rusdi baru kembali ke rumah. Dia menyadari bahwa istrinya tak masak apapun. Terlihat bekas bungkusan mi instan di keranjang sampah. Sebetulnya dia ingin langsung mengeluhkan keputusan Sari yang makan mi saat hamil muda. Namun gengsi Rusdi membuatnya memilih diam.

Dua hari berturut-turut setelah perang itu, setiap pagi Rusdi selalu membeli dua bungkus nasi uduk. Meletakkannya di meja kecil samping kasur. Sebagai sarapan sekaligus makan siang untuk Sari. Rusdi tak mau calon anaknya makan mi instan.

Di penghujung hari kedua usai perang, amarah Sari mereda. Sari memutuskan berbaikan tanpa saling meminta maaf. Seperti rutinitas biasa, Sari membuatkan segelas teh hangat untuk Rusdi yang baru saja selesai bersih-bersih setelah bekerja. Rusdi tersenyum lalu meneguk habis teh buatan istrinya.

Selesai dengan segelas teh yang melegakan hati dan tenggorokan, Rusdi bergegas mengeluarkan ponselnya. Dia kembali asyik dengan kebiasaan bermain judi. Bagi Rusdi peluang selalu ada jika terus dicoba. Membuatnya makin jumawa mempercayakan nasib pada mitos.

Melihat suaminya yang tidak bisa dilarang dengan kata-kata, Sari mencoba cara lain. Ia berniat mengajak suaminya melakukan hobi lama mereka, barangkali pergi mancing seperti saat mereka masih pacaran adalah alternatif menjanjikan.

“Besok kan tanggal merah, ayo ke Potrobayan, sudah lama pancinganmu nganggur Mas” tawar Sari.

“Besok aku kan harus ikut demo, besok itu libur hari buruh!” jawab Rusdi, mustahil baginya tak ikut demo. Menuntut kenaikan 15% upah minimum buruh. Begitulah isi hati dan pikiran Rusdi, sembari mata dan tangannya fokus pada layar ponsel. Mengadu nasib pada kesia-sian.

Apa pun hasil demo, satu hal yang pasti. Gaji Rusdi di bulan Mei tidak mungkin utuh, sebab lagi-lagi Dewa Zeus tak mengutus Hermes berpihak pada Rusdi. Barangkali untuk urusan Rusdi, Hermes lebih senang menunjukan kepandaiannya menipu ketimbang berjudi, atau barangkali itu adalah siasat Dewa Zeus agar predikatnya sebagai Dewa Olimpus yang kaya raya tak tertandingi. (*)

Naufalda Hanum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email