Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan. Saat ini sedang berkuliah di FH sekaligus FISIP di kampus 'pelat merah'.

Menjadi Guru Penggerak yang Berdampak

Raihan Muhammad

5 min read

“Als je een goede leider wilt worden, schrijf dan als een journalist en spreek als een redenaar.” (Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator). Pesan ini pernah disampaikan oleh H.O.S. Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa, kepada para muridnya—Sukarno, Kartosuwiryo, Semaoen, Alimin, Musso, dan lainnya—yang kelak mengubah wajah sejarah Indonesia. Kalimat tersebut tidak sekadar nasihat; ia adalah manifestasi dari pendidikan yang mencetak pemimpin berotak tajam dan berjiwa merdeka.

Dalam konteks masa kini, semangat tersebut menemukan cerminan dalam figur guru penggerak, mereka yang berjuang melampaui kurikulum kaku untuk membentuk murid yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berani menggugat ketidakadilan. Pendidikan tidak lagi sekadar mengajarkan kepatuhan; ia harus menumbuhkan keberanian untuk berpikir kritis, mengemukakan gagasan, dan, jika perlu, melawan arus yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kebenaran. Pada era yang penuh tantangan ini, apakah guru penggerak mampu melanjutkan warisan Tjokroaminoto, mencetak murid yang tidak hanya berotak, tetapi juga berontak?

Konsep ini menggarisbawahi bahwa “berontak” bukanlah sikap destruktif, melainkan bentuk pemberdayaan. Dalam dunia yang semakin kompleks, keberanian untuk mempertanyakan status quo adalah keterampilan yang tak ternilai. Murid yang berani bertanya “mengapa” pada hal-hal yang diterima begitu saja adalah murid yang tidak hanya menyerap pengetahuan, tetapi juga menciptakannya. Inilah inti dari pendidikan yang bermakna: membentuk individu yang mampu berpikir mandiri dan berkontribusi dalam perubahan sosial.

Peran guru penggerak menjadi fondasi dari paradigma ini. Mereka melampaui peran tradisional sebagai pendidik yang hanya mentransfer ilmu. Sebaliknya, mereka adalah fasilitator yang menciptakan ruang bagi murid untuk bereksperimen dengan ide, berdebat tanpa takut salah, dan menemukan jati diri mereka di tengah berbagai tantangan. Dalam prosesnya, guru penggerak pun sejatinya mesti mendorong murid untuk memahami bahwa kebebasan intelektual selalu datang bersama tanggung jawab moral.

Baca juga:

Akan tetapi, perjalanan ini tidak tanpa hambatan. Sistem pendidikan yang sering kali terlalu (baca: feodal) fokus pada angka dan peringkat cenderung mengekang kreativitas dan keberanian murid untuk berbeda. Di sinilah guru penggerak mestinya mengambil peran revolusioner, membawa visi pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada proses pembentukan karakter. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai keberanian, empati, dan kebebasan berpikir, guru penggerak bisa menciptakan generasi yang tidak hanya mampu memimpin, tetapi juga memahami makna sejati dari kepemimpinan: melayani dan membawa perubahan.

Dalam dunia yang terus berubah, murid yang “berotak dan berontak” bisa jadi adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Mereka adalah pemikir bebas, pemimpin sejati, dan pewaris semangat para tokoh besar bangsa, seperti Sukarno dan rekan-rekannya, yang dulu berani bermimpi besar karena didukung oleh seorang guru yang tidak takut menginspirasi kebebasan. Kini, saatnya guru penggerak melanjutkan warisan itu, mencetak generasi baru yang tidak hanya siap menghadapi dunia, tetapi juga siap mengubahnya.

Pendidikan Harus Berpihak pada Kebenaran

Pendidikan sejatinya tidak pernah netral. Ia selalu menjadi bagian dari alat kebudayaan yang membawa visi tertentu—apakah untuk mempertahankan status quo atau menggugat ketimpangan. Dalam hal ini, guru penggerak memiliki tugas yang lebih besar dari sekadar memenuhi target kurikulum. Mereka semestinya memastikan bahwa pendidikan berpihak pada kebenaran—terutama pada kaum-kaum termarginalkan yang sering kali terpinggirkan oleh sistem yang tak adil.

Kebenaran dalam pendidikan bukan sekadar fakta-fakta ilmiah atau teori-teori yang diajarkan di kelas, tetapi juga keberanian untuk menunjukkan apa yang benar secara moral dan etis. Guru penggerak, sebagai “motor” dalam dunia pendidikan, memikul tanggung jawab untuk mengajarkan murid-muridnya tentang keberpihakan—bukan dalam arti politik praktis, melainkan keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan. Mereka mestinya membimbing murid untuk memahami penderitaan kaum liyan, memperjuangkan hak-hak mereka yang termarginalkan, dan menciptakan ruang dialog yang inklusif.

Di tengah dunia yang semakin penuh dengan polarisasi, pendidikan yang berpihak pada kebenaran menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ketika murid diajarkan untuk bersikap netral terhadap ketidakadilan, mereka pada dasarnya diajarkan untuk menjadi bagian dari masalah. Sebaliknya, guru penggerak mesti membekali murid dengan kesadaran kritis bahwa netralitas adalah kemewahan yang tidak bisa dimiliki oleh mereka yang ingin memperjuangkan perubahan.

Mengikuti Spirit Ki Hajar Dewantara

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.” Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara ini adalah warisan abadi yang terus relevan—khususnya dalam peran guru penggerak. Sosok yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional ini tidak hanya menawarkan metode pengajaran, tetapi juga pandangan mendalam tentang pendidikan sebagai alat pembebasan. Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan proses memanusiakan manusia.

Guru penggerak hari ini adalah penerus spirit Ki Hajar Dewantara. Mereka berdiri di depan sebagai teladan, di tengah sebagai pendamping, dan di belakang sebagai pemberi dorongan. Namun, esensinya tidak berhenti di sana. Sebagaimana Ki Hajar menekankan pentingnya pendidikan yang berakar pada kebudayaan dan nilai-nilai lokal, guru penggerak pun ditantang untuk menghadirkan pendidikan yang relevan dengan konteks zaman. Pendidikan sejatinya mesti menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar memenuhi indikator-indikator administratif.

Baca juga:

Salah satu inti dari ajaran Ki Hajar Dewantara adalah konsep kebebasan belajar. Dalam praktiknya, kebebasan belajar ini bukanlah kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang terarah—yang memungkinkan murid untuk berkembang sesuai dengan potensinya, tanpa terikat oleh belenggu sistem yang seragam. Guru penggerak, dengan peran revolusioner mereka, perlu menciptakan lingkungan belajar yang mendorong murid untuk bertanya, mengeksplorasi, dan menemukan jalan mereka sendiri, sebagaimana yang diimpikan oleh Ki Hajar.

Selain itu, Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk masyarakat. Pendidikan mesti menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial, solidaritas, dan kesadaran kolektif. Guru penggerak—dalam hal ini—berperan sebagai katalis yang membantu murid menyadari bahwa pengetahuan yang mereka peroleh mesti digunakan untuk kebaikan bersama. Pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai ini adalah pendidikan yang mampu membentuk generasi murid yang tidak hanya berotak, tetapi juga berempati dan berani memperjuangkan keadilan sosial.

Mewarisi semangat Ki Hajar Dewantara berarti membawa pendidikan melampaui ruang kelas, menjadikannya sebagai alat perubahan sosial yang nyata. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan ini, guru penggerak adalah penjaga api semangat itu. Mereka (seharusnya) melanjutkan perjuangan Ki Hajar untuk memastikan bahwa pendidikan tidak kehilangan esensinya: sebagai ruang untuk membangun manusia yang merdeka, bermartabat, dan mampu berdiri tegak di tengah masyarakat global.

Pendidikan sebagai Alat Pembebasan

Pendidikan sejatinya bukan sekadar proses akumulasi pengetahuan, melainkan alat untuk membebaskan manusia dari kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelengguan sistem. Paulo Freire, dalam karyanya Pedagogy of the Oppressed, menekankan bahwa pendidikan tidak boleh menjadi proses “banking,” yang mana murid hanya dipandang sebagai wadah kosong untuk diisi pengetahuan secara pasif. Sebaliknya, pendidikan mesti bersifat dialogis—sebuah proses kolaboratif yang memungkinkan murid dan guru belajar satu sama lain dalam semangat kebebasan. Sebagaimana dikatakan Freire, “Education either functions as an instrument to bring about conformity or freedom.” Pendidikan mesti menjadi instrumen pembebasan, bukan alat untuk melanggengkan penindasan.

Dalam hal ini, guru penggerak sejatinya berperan sebagai agen pembebasan yang mengubah ruang kelas menjadi tempat pemberdayaan. Mereka menciptakan suasana belajar yang memicu dialog kritis, membantu murid memahami dunia di sekitarnya, dan memberdayakan mereka untuk menggugat ketidakadilan yang sering kali dianggap sebagai sesuatu yang normal. Pendidikan, menurut Freire, adalah cara untuk “membaca dunia” sebelum “menulis dunia”. Murid tidak hanya belajar menerima kenyataan, tetapi juga diberdayakan untuk mengubahnya.

Akan tetapi, pembebasan dalam pendidikan tidak hanya soal membebaskan pikiran murid, tetapi juga melampaui batasan-batasan sosial, ekonomi, dan budaya yang sering kali menciptakan ketimpangan. Guru penggerak (mestinya) memahami bahwa banyak murid datang dari latar belakang yang berbeda—beberapa bahkan berasal dari komunitas termarginalkan yang membutuhkan lebih dari sekadar pelajaran di buku teks. Dengan empati dan wawasan sosial, guru penggerak mesti mampu menjembatani kesenjangan ini, memastikan bahwa pendidikan menjadi alat pembuka jalan, bukan penghalang.

Lebih dari itu, pendidikan sebagai alat pembebasan menuntut keberanian untuk melawan narasi yang mengekang. Sistem pendidikan yang normatif dan kaku sering kali memaksa murid untuk mengikuti jalur tertentu tanpa memberikan ruang bagi mereka untuk menemukan potensi uniknya. Guru penggerak, sebagai pelopor perubahan, melawan homogenisasi ini dengan menghadirkan pendidikan yang inklusif dan personal. Mereka memberikan ruang kepada murid untuk mengeksplorasi ide-ide liar, menggugat otoritas yang tidak adil, dan menyuarakan perspektif yang mungkin dianggap tidak populer.

Sebagaimana Freire menulis, “The oppressors do not favor promoting the community as a whole, but rather selected leaders.” Guru penggerak mesti memastikan bahwa pendidikan tidak menjadi alat terbentuknya sistem yang elite, tetapi menjadi ruang inklusif yang memberikan setiap murid kesempatan yang sama untuk berkembang. Di tangan guru penggerak, pendidikan tidak hanya berfungsi untuk “mencetak” individu yang sukses, tetapi juga manusia yang sadar, kritis, dan mampu membawa perubahan dalam masyarakat.

Di dunia yang penuh tantangan ini, pendidikan tidak bisa hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan ekonomi. Ia mesti menjadi instrumen yang membangun keberanian moral, kekuatan intelektual, dan visi sosial yang kuat. Guru penggerak, dengan semangat pembebasan yang mereka bawa, memiliki peran untuk tidak hanya mendidik individu yang cerdas, tetapi juga pemimpin yang berani mengubah dunia. Mari menjadi guru penggerak yang berdampak!

 

 

Editor: Prihandini N

Raihan Muhammad
Raihan Muhammad Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan. Saat ini sedang berkuliah di FH sekaligus FISIP di kampus 'pelat merah'.

One Reply to “Menjadi Guru Penggerak yang Berdampak”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email