Masyarakat Indonesia tengah menghadapi pelbagai perubahan yang memengaruhi stabilitas ekonomi, sosial, dan politik mereka. Ketidakstabilan itu membuat masyarakat gelisah tentang depan mereka. Ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat juga memperparah kegelisahaan mereka.
Arus media yang kian masif membingkai narasi dan opini publik juga turut memengaruhi pandangan masyarakat. Retorika yang disampaikan oleh para politisi di media sering kali membuat kecemasan semakin meluas.
Indonesia Gelap
Tranding media sosial Indonesia Gelap hingga realisasinya melalui aksi turun ke jalan telah menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat gelisah terhadap kinerja pemerintah. Mengenai kebijakan hukum misalnya, banyaknya koruptor di Indonesia yang tidak mendapatkan hukuman setimpal.
Kebijakan ekonomi juga carut marut. Misalnya mengenai distribusi LPG yang beberapa waktu lalu membuat pelaku usaha kecil terbebani, bahkan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi mikro. Lebih dari itu, kelangkaan LPG dilaporkan juga sampai merenggut nyawa masyarakat yang lelah antre.
Baca juga:
Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran yang tak jelas juga turut membuat masyarakat merasa gelisah. Mungkin ini dimaksudkan untuk menyukseskan program Makan Bergizi Gratis. Namun implementasinya menuai polemik, mulai dari pembagiannya yang kurang merata dan kualitas makanannya yang buruk.
Masyarakat merasa cemas akan realita yang saat ini dan masa yang akan datang. Prabowo yang dinilai tegas dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan bahkan tidak mampu membuat masyarakat optimis. Kebijakan-kebijakan yang tidak memihak yang memengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung, membuat mereka semakin waspada dan kritis terhadap arah yang diambil oleh Prabowo.
Tentu saja fenonema Indonesia Gelap tidak bisa dianggap enteng. Ketelitian, tansparansi, serta tata kelola pemerintahan yang efisien dan akuntabel menjadi tuntutan masyarakat saat ini.
#KaburAjaDulu
Turunan dari Indoneisa Gelap, tagar #KaburAjaDulu secara konkret membuktikan ada persoalan mengenai ketenagakerjaan di Indoneisa. Di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, banyak yang mengalami PHK masal, penawaran dan permintaan tenaga kerja tidak berimbang.
Hari ini, peluang untuk mandapatkan kerja sangat sedikit, sedangkan sumber daya manusia di Indonesia, khususnya lulusan universitas, sangat banyak. Tak heran banyak warga negara Indonesia ingin pindah ke luar negeri untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Tak bisa dipungkiri lama kelamaan keinginan untuk “kabur” ke luar negeri berubah menjadi perlawanan atas tata kelola pemerintah yang tidak pro masyarakat. Peluang bekerja di luar negeri yang menjanjikan gaji dan kesejahteraan yang lebih baik membuat masyarakat tertarik.
Baca juga:
Dalam menangapi fenomena Kabur Aja Dulu, Luhut Binsar mengatakan, “Kau yang gelap, bukan Indonesia.” Respons Ketua Dewan Ekonomi Nasional itu seolah tidak melihat bahkan merasakan realita yang dirasakan masyarakat Indonesia, atau jangan-jangan rakyat dan pemerintah berada di dua kubu terpisah dan tidak berjalan untuk tujuan yang sama?
Meningkatnya Skeptisme
Ketidakpastian politik yang melanda, bersamaan dengan kondisi ekonomi yang tak stabil, memperburuk pandangan publik. Banyak yang merasa skeptis akan kemampuan pemerintah dalam menghadapi krisis permasalahan sosial. Lama kelamaan, sikap skeptis ini terus berkembang hingga akhirnya meragukan prioritas utama, yakni janji pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan.
Dalam konteks yang lebih luas, pemerintah dituntut untuk melakukan perbaikan mendasar agar dapat menangani situasi ini dengan strategi berkelanjutan dan menyeluruh. Kebijakan yang responsif dan adaptif terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja semakin penting untuk memenuhi ekspektasi masyarakat yang mendambakan stabilitas dan keamanan pekerjaan yang layak.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan menjadi hal yang esensial. Partisipasi aktif masyarakat dapat menghasilkan solusi yang lebih relevan dan diterima oleh semua pihak. Dengan demikian, hubungan konstruktif antara pemerintah dan masyarakat bisa terjalin, memperkuat kepercayaan dan kerja sama untuk menghadapi tantangan masa depan yang sepertinya tak terhindarkan.
Fenomena Indoneisa Gelap dan Kabur Aja Dulu membuktikan upaya publik untuk memberikan peringatan kepada pemerintah. Sementara itu, baiknya pemerintah melihat fenomena itu sebagai bentuk kepedulian sekaligus dukungan dari publik, bukan sebagai kebencian. Bentuk dukungan tidak hanya berupa pujian, melainkan juga kritik yang membangun.
Editor: Prihandini N