Wer rastet, der rostet!

Brain Drain di Tengah Masyarakat Nirapresiasi

IK Pradana

3 min read

Tagar #kaburajadulu tengah ramai diperbincangkan di jagat dunia maya. Bermula dari sarana untuk berbagi informasi pendidikan dan pekerjaan di luar negeri, hingga berevolusi menjadi perlawanan terhadap kebijakan dan tata kelola dalam tubuh negara yang cacat. Mereka yang muak dan ingin mencari penyegaranpun akhirnya berencana untuk kabur dari belenggu bengis yang dapat memandekkan gerak mereka. Tempat dengan udara yang sejuk itu mereka lihat di seberang pulau. Oasis dengan banyak gelembung kesempatan dan apresiasi. Tagar #kaburajadulu menggema dan mendorong motivasi para kaum yang lelah, menuju negeri harapan untuk mencari kelayakan hidup.

Fenomena ini disebut Brain Drain. Terjadi saat sekelompok intelektual, talenta terampil, dan pekerja profesional berbondong-bondong melakukan eksodus. Brain Drain dapat terjadi karena beberapa faktor seperti gonjang-ganjing politik, kondisi ekonomi dan sosio-kultural. Sosio-kultural menurut benak penulis menjadi poin paling krusial penyebab enyahnya talenta unggul negara ini. “Karakteristik dari masyarakat berperadaban tinggi bukan bahwa mereka kreatif, melainkan karena mereka mengapresiasi,” kata kritikus seni Clive Bell. Hal ini terejawantahkan pada lembar kehidupan masyarakat Wina abad ke-18.

Baca juga:

Wina adalah sebuah kota di Austria. Mengukir sejarah musik dengan banyak komposer hebat yang namanya lahir di sana seperti: Mozart, Haydn, Schubert dan Beethoven. Masyarakat Wina abad 18 adalah masyarakat pecinta musik yang rewel. Mereka selalu menuntut komposer untuk menggubah melodi dengan apik. Tidak ada toleransi untuk musik yang sumbang. Jika kau buruk, dengan cepat akan tergantikan oleh talenta terampil yang sedang mendaki tata laras kota Wina yang penuh persaingan.

Kendati selalu menuntut standar tinggi dan kesempurnaan dari para komposer, masyarakat Wina juga berperan penting sebagai apresiator. Menyokong dan bersorak untuk para komposer yang bersenandung dengan alat musik instrumental di tengah mereka. Saat melodi yang ditembangkan tak menggugah selera telinga, mereka akan mengkritisi. Dan ketika komposer menerima kritik lalu merevisi dengan baik, maka gemuruh tepuk tangan akan menggema. “Tak heran jika para genius musik seperti Mozart dan Beethoven maju pesat di sini,” tungkas Eric Weiner dalam memoarnya.

Berkaca pada masyarakat Wina, budaya apresiasi menjadi semacam “pelecut kejeniusan.” Sebuah hal remeh yang jauh dari kebudayaan masyarakat kita. Instrumen apresiasi pun bukan hanya sekadar tepuk tangan dan kata sanjungan semata, apresiasi juga bisa mewujud dalam bentuk sikap dan kebijakan para pemangku kekuasaan.

Ketika sekelompok intelektual dan talenta terampil memilih “minggat,” tentu saja karena banyak kesenjangan dan hal yang tidak memadai di sekeliling mereka. Dari fasilitas, gaji, dan bahkan yang paling miris adalah buah pikir yang tak pernah diapresiasi. Negara ingin melahirkan keunggulan, namun mengebiri testisnya sendiri. Sehingga buah pikir ilmuwan Indonesia kerap kali dikembangkan dan lebih dihargai di luar negeri. Seperti Dr. Eng. Khoirul Anwar yang menemukan teknologi 4G LTE berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) dan masih banyak lagi kasus serupa. Dan mungkin saja di antara kita bahkan tidak tahu ada ilmuwan dan penemu dari negara ini. Anak-anak lebih kenal pemengaruh Tiktok ketimbang tokoh-tokoh hebat negeri yang tak pernah diangkat dan dikenalkan kepada mereka.

Karena buruknya tata kelola kebijakan dan keputusan yang kurang bijak sering diselorohkan oleh penguasa, tak ayal bila banyak talenta muda dan tenaga terampil yang memilih #kaburajadulu dari negeri ini. Mereka kerap dituduh pengkhianat dan tak nasionalis. Dituntut untuk mengabdi dan andil tenaga dalam upaya membangun negeri. Padahal nasionalitas mereka kerap kali dikhianati dan hak mereka selalu dirampas. Wajar jika mereka mengalami “Nirapresiasi” kemudian memilih pergi.

Negara seharusnya jeli untuk melihat kemungkinan kerugian dari fenomena Brain Drain ini. Ketika negara dengan cuma-cuma mengekspor SDM unggulnya, apakah sudah ada pengganti untuk mereka? Yang mampu menggantikan posisi mereka dengan keilmuan yang sama baiknya? Bukankah sebaiknya merangkul para intelektual dan memfasilitasi? Menyambut gagasan hebat dari mata mereka yang berkilap dengan tantangan dan uluran tangan. Memberi apresiasi dan melecut semangat. Bergandengan bersama-sama demi kemajuan STEM di negara ini, supaya dapat turut serta tampil dalam kontestasi ilmu pengetahuan dunia.

Baca juga:

Fenomena Brain Drain tak melulu buruk, jika para pelaku rela untuk kembali dan ikut andil dalam memajukan negeri. Membagikan ilmu yang didapat dari negara-negara maju kepada bangsanya. Mungkin hanya segelintir kecil yang pulang karena merasa terpanggil dan iba oleh tempat yang melahirkan mereka. Tetapi realitanya, sebagian besar lebih memilih meninggalkan negeri ini karena tak melihat sepercik harapan tersisa dan adanya apresiator di balik dinding-dinding tebal tempat dibuatnya kebijakan.

Tentu saja tempat yang “baik” selalu dipilih ketimbang tempat yang “buruk.” Bila ini terjadi, maka negara bisa kekurangan tenaga ahli yang akan berimbas pada timpangnya kondisi sosial dan ekonomi negeri. Dan tentu akan mengacaukan proyeksi Indonesia Emas pada tahun 2045. Harapan itu akan menjadi omong kosong belaka, karena hanya menguap sampai mulut. Lubang-lubang ini amat dalam, namun negara seakan abai dan hanya menambalnya dengan lakban kertas yang rapuh.

Penulis percaya bahwa suatu hal besar selalu berawal dari hal yang kecil. Budaya mengapresiasi adalah suatu hal yang dapat dilatih. Dan tentu saja, sebuah apresiasi juga harus bergandengan dengan kritik dan saran. Mereka adalah variabel penting untuk menjaga apresiasi tetap pada jalurnya. Kita bisa memulainya dari keluarga kita. Ketika melihat pencapaian kecil, mendengar gagasan yang tak masuk akal, cobalah beri ruang untuk apresiasi muncul. Sependek, “hebat,” atau “keren” yang diucap bibir mungkin dapat mengubah dunia suatu saat nanti. Buang sungkan dan hapus mental-mental kepiting yang muncul dari rasa dengki.

Untuk nyala api yang berkilau pada mata ayah, ibu, adik, anak, kakak, dan teman kita, berilah taburan apresiasi untuk menjaga nyala hingga waktu mengobarkannya dengan penuh kebanggaan. Seperti Wina, kelak Mozart-Mozart baru akan lahir dan terukir dalam sejarah bangsa kita. Ketika budaya apresiasi terjalin kuat, mengalir pada sosiokultural masyarakat, itulah yang akan mengantar bangsa ini menuju kegemilangan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

IK Pradana
IK Pradana Wer rastet, der rostet!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email