Melawan Lewat Musik, Apakah Musisi Mau dan Mampu?

Yoga Permana Niagara

3 min read

Musik bukan sekadar perpaduan bunyi-bunyian yang menyejukkan dan menghibur suasana hati, lebih jauh lagi, ia dapat menjadi zat yang membakar.

Bukanlah hal yang baru jika musik digunakan sebagai media perlawanan. Subkultur punk dan sub-genre metal muncul dan tumbuh dari sekumpulan pemuda kelas pekerja di London dan Birmingham akibat rezim Inggris yang fasis. Musik jazz dan hip hop muncul atas ketertindasan ras kulit hitam (Afrika-Amerika) di New Orleans dan New York City. Senandung musik reggae tumbuh dari semangat antiperbudakkan masyarakat Jamaika.

Di Indonesia sendiri, pada era Orde Baru (Orba), musik menjadi salah satu alat perlawanan untuk melawan rezim yang otoriter. Dimulai tahun 80-an akhir hingga 90-an akhir di mana pemuda-pemudi di segala penjuru negeri semakin muak melihat tingkah Soeharto dan kroni-kroninya yang nyaringnya kian beringas.

Skena musik pada era Orba menaruh andil yang cukup besar dalam ekosistem pro demokrasi. Mereka (musisi) sadar betul bahwa musik atau sebuah lagu dapat menjadi alat propaganda yang jitu kala itu. Skena musik pada saat itu tidak hanya dijadikan untuk bermusik saja, tetapi juga digunakan sebagai panggung teatrikal dan jual beli ideologi pembebasan dari masing-masing musisi.

Baca juga:

Pengaruh skena musik kala itu, menurut analisis Wallach (2005) dalam jurnalnya yang berjudul “Underground Music and Democratization in Indonesia” menerangkan bahwa musik underground pada saat itu telah menjadi medium bagi para musisi guna membantu menggulingkan kediktatoran Soeharto yang mengakar dan menjadi permulaan Indonesia untuk menuju sistem demokrasi yang lebih sehat.

Menuju 27 tahun pasca runtuhnya rezim Orba, bayang-bayang suramnya tak kunjung memudar. Bagaikan efek kupu-kupu akibat memilih reformasi alih-alih revolusi, kini jeratan Orba kembali kian terasa mencengkram. Aroma otoritarian yang mulai terendus menyengat. Keserakahan dan kesewenang-wenangan rezim yang semakin ugal-ugalan memang baiknya selalu kita gaung lantangkan.

Relevansi Musik Sebagai Media Protes di Era Kini

Musik tidak akan pernah berkarat. Lagu-lagu yang sudah berumur belasan, puluhan, bahkan ratusan tahun hingga saat ini, dalam kondisi sosial apa pun, masih dapat relevan. Misal, dalam kancah pergerakan sosial seperti lagu “Internasionale” yang hingga kini masih kerap dinyanyikan oleh kelas pekerja, atau lagu “Do You Hear the People Sing” yang dijadikan himne oleh demonstran di Hongkong, dan lagu “Killing in the Name” yang kerap nyaring disetel demonstran di Amerika Serikat saat protes besar terkait rasisme, hingga lagu “Bella Ciao” yang masif dinyanyikan demonstran di Chile dalam menggulingkan rezim neoliberalisme. Pada akhirnya, musik dapat menjadi sebuah simbol dan identitas yang solid.

Belakangan ini yang terbaru di Indonesia adalah ramainya lagu “Bayar Bayar Bayar” milik Sukatani yang liriknya menyampaikan fakta terkait busuknya institusi Polri. Lagu ini mendapat atensi lebih karena peredarannya seketika dilarang (baca: diberangus) dan personilnya diteror oleh aparatur. Peristiwa ini berbarengan dengan aksi demonstrasi Indonesia Gelap. Momentum menjadikan lagu ini sebagai salah satu bara yang menyulut semangat dan amarah para demonstran, apalagi salah satu tuntutan aksi tersebut adalah reformasi Polri (bukankah baiknya direvolusi?). Mungkin juga lagu ini bakal menjadi lagu wajib dan selalu relevan bagi masyarakat Indonesia selama oknum partai cokelat yang jumlahnya tak terhingga itu masih terus bertingkah represif, intimidatif, rakus, dan brutal.

Peristiwa-peristiwa demonstrasi atau aksi protes acap kali diiringi dengan lagu-lagu. Lantunan nada-nadanya serta nilai-nilai pada potongan-potongan lirik yang selalu relevan dapat menjadi pembakar semangat, pemecah kebekuan, hingga terapi relaksasi di tengah tegangnya kondisi

“Kebenaran terdapat dalam sebuah cerita fiksi dan terdapat pula kebenaran dalam sebuah lagu. Hanya saja, kebenaran dalam sebuah cerita fiksi bersifat seperti besi yang kelamaan dapat berkarat, sementara kebenaran dalam sebuah lagu menjadi seperti emas yang tidak pernah berkarat” -Vladimir Korolenko

Apakah Mau dan Mampu?

Di tengah-tengah kondisi yang semakin tidak kondusif, rezim yang memerintah dengan ugal-ugalan, hingga rumitnya segala problematika kehidupan masyarakat Indonesia, apakah musik Indonesia mampu menjadi salah satu corong perlawanan? Tentu seharusnya bisa, karena musik memiliki fungsi sebagai media kritik sosial atas rezim yang lalim dan peliknya kehidupan. Hal inilah yang seharusnya tidak luput dari para musisi sebagai pegiat seni. Karena kesenian bukan hanya ihwal estetika semata, tetapi dapat menjadi senjata. Tentulah senjata tersebut dapat digunakan untuk melawan, menyadarkan, menyatukan, dan membebaskan.

Baca juga:

Mungkin sedikitnya kita masih dapat berharap kondisi ini bakal kembali bergejolak walaupun masih sedikit musisi yang sadar akan pentingnya suatu kritik atau kampanye akan kesadaran sosial, namun kita masih bisa bernapas lega karena sedikit banyaknya masih terdapat grup musik atau musisi yang kerap menyuarakan isu-isu penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia.

Sejatinya protes-protes itu tak melulu harus dilakukan oleh grup musik yang memiliki latar musik keras nan cadas. Protes-protes juga tidak harus selalu disampaikan lewat lirik-lirik yang kritis. Namun, protes, kampanye, propaganda, hingga agitasi dapat disampaikan di sela-sela rehat aksi panggung, media sosial, hingga keterlibatan aksi nyata dalam pergerakan sosial.

Melihat fenomena Sukatani, musik di Indonesia dapat kembali berjalan beriringan dengan pergerakan sosial yang ada dan akan selalu relevan dengan Gen Z hingga Gen Alpha. Namun, semua itu tetap tergantung pada musisi dan individu-individu yang ada dalam ekosistem musik Indonesia itu sendiri. Karena diperlukan mentalitas, kapasitas, keberanian, dan konsistensi yang lebih.

Jadi, apakah musik Indonesia mampu? Dengan mengguritanya festival dan acara musik di berbagai belahan kota di Indonesia dengan antusiasmenya yang tinggi, rasanya harapan ini bukanlah hal yang mustahil untuk terjadi.

 

 

Editor: Prihandini N

Yoga Permana Niagara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email