Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Merawat Ingatan Musikal Kota Malang Tiga Dekade Terakhir

Kukuh Basuki

3 min read

Membicarakan Kota Malang sangatlah tidak lengkap tanpa membicarakan musik. Bagi yang pernah tinggal di Malang, pastilah mempunyai memori musikal ketika mereka masih di sana. Di antara rimba audio tersebut, terdapat orang-orang yang secara aktif memompa denyut kreatif musikal Kota Malang. Mereka berhimpun, bermusik, menulis lagu, membuat album, dan mengadakan event. Mereka turut menyusun puzzle memori musikal orang-orang yang pernah tinggal di Malang.

Namun, sayang, banyaknya momen-momen musikal Kota Malang itu sebagian menguap begitu saja dari memori orang-orang di dalamnya. Yang tersisa hanyalah ingatan-ingatan rasa musikal tanpa nama atau bahkan terlupa selamanya.

Memori tentang musik Kota Malang tidak berbanding lurus dengan catatan yang tersisa tentangnya. Sebab, mengarsip musik masih belum menjadi kultur yang dianggap penting untuk merawat ingatan musikal dan pernak-pernik budaya di sekitarnya. Ya, ini memang permasalahan yang saya kira sangat merata.

Sedikit, ya, bukan berarti tidak ada. Para pencatat musik Kota Malang meninggalkan berkas-berkas catatan di blog pribadi, zine, website musik, majalah kampus, dan mungkin di memori digital masing-masing karena belum dipublikasi. Atau, lebih kusutnya lagi, memori musikal itu masih di dalam kepala masing-masing pelaku, pencatat, dan penikmat aktif musik Kota Malang. Tanpa usaha yang lebih akan sangat sulit mengakses tulisan atau informasi yang dapat memberi pencerahan gerak perkembangan musik di Kota Pelajar tersebut.

Alasan terakhir itulah yang membuat Penerbit Pelangi Sastra mengambil langkah inisiatif, dan saya kira sangat tepat dan cermat, menerbitkan buku Ritme Kota (2019). Bekerjasama dengan Samack, penulis musik asal Kota Malang yang sudah lama malang melintang dalam pengarsipan dan pencatatan musik, Pelangi Sastra berhasil menerbitkan satu buku penting yang mencatat musik dan hal-hal di sekitarnya yang mengiringi perkembangan peradaban di Kota Malang.

Buku ini berisi 12 tulisan musik dari 12 pelaku musik di Kota Malang. Mereka yang setidaknya pernah aktif bermusik di Kota Malang memberikan catatan berharga tentang event-event musik, perjalanan sebuah genre musik, hingga pengalaman pribadi musisi dalam membuat dan merekam musik di Kota Malang. Walaupun tidak tebal, buku ini setidaknya sudah cukup ampuh mengisi kepingan puzzle yang hilang atau tak sempat terlengkapi ketika memori musikal itu datang silih berganti setidaknya dalam dua dekade terakhir.

Buku ini dibuka oleh tulisan Radinang Hilman yang berjudul Geliat Rock Alternatif Kota Malang dalam Tiga Babak. Artikel ini seolah menjadi gerbang masuk gemuruh musik alternatif yang berkembang di Kota Malang di tiga era awal milenium. Dari tiga sub judul yang ditawarkannya, yaitu Kemunculan Scene Rock Alternatif dari Farewell Party (pertengahan 90’-an- pertengahan 2000-an), Geliat yang Semakin Panas di Berbagai Tongkrongan (2006-2010), dan Menatap Wajah Arena Musik Alternatif di Hari Ini dan Esok Hari (2010-2019), Hilman seolah mengajak kita mengenal dengan lebih cermat lagi penggerak-penggerak musik alternatif Kota Malang yang mungkin hampir terkubur ingatan lainnya.

Hilman juga cukup jeli menyegarkan ingatan kita terhadap pelopor band alternatif legendaris Kota Malang seperti Fan, Hectic, Banana Co. dan para penerusnya seperti Kee, Ebony and Ivory, My Beautiful Life, The Ratna, Headphone, Just The way I Feel, dan Idiot Bob. Event dan gig musik seperti Farewell Party dan Telepop menjadi semacam portal penyampai tongkat estafet musik alternatif kota Malang dari generasi ke generasi.

Dengan ketekunan serupa, Alfan Rahadi dan Prana Oktas menyusul dengan catatan masing-masing tentang musik emo dan hardcore di Kota Malang. Keduanya berhasil membawa bukan sekadar nostalgia, tetapi juga gerak periodik dua genre musik yang sama-sama tumbuh subur walau bergerak di bawah tanah Kota Malang.

Kultur musik tidak akan bisa berkembang tanpa adanya sokongan dari eksistensi studio rekaman baik itu mayor maupun indie. Hal itulah yang disorot oleh Fajar Adhityo dalam artikelnya yang berjudul Perjalanan Industri Record Label di Kota Malang.

Dari catatan founder sekaligus owner Tarung Record ini, pembaca menjadi lebih akrab dengan proses timbul-tenggelamnya label-label rekaman yang menyokong terproduksinya album band-band Kota Malang, bahkan nasional. Sebut saja yang paling legendaris, Borneo Record. Pada awalnya, studio rekaman yang sudah berdiri sejak era 70-an di daerah Kasin ini hanya memproduksi musik-musik daerah dan campur sari, lalu mulai menjadi tempat mastering beberapa band Kota Malang. Bahkan, Superman is Dead menggunakan jasa Borneo Record untuk proses mastering sebelum mereka bergabung dengan label mayor Sony Music.

Jika pembaca ingin melihat beberapa kerja kreatif EO musik Kota Malang dalam membuat event, pembaca bisa langsung menuju artikel di halaman 65: Malang Sub Pop: Hidupkan Tempat Wisata Mangkrak karya Dewi Ratna. Dengan berbekal pengalamannya mendatangi event musik yang pernah digelar di tempat-tempat wisata nonaktif seperti Pandai Besi di Bioskop Kelud, Sarasvati di Taman Budaya Senaputra, dan Sore di Lembah Dieng, Dewi mengarsipkan kerja kreatif panitia yang menggelar acara musik dengan tema unik sekaligus menghidupkan kembali memori warga Malang pada tempat-tempat wisata yang dulu pernah berjaya, tetapi kini sudah sepi ditinggal pengunjung setianya.

Baca juga:

Tujuh tulisan lainnya, Munir Said Thalib: Epos “Di Udara” Hingga Militansi untuk Para Los Desparaceidos (Didi Hariyadi), Dare to Art, Dare to Win: Attend Gig Dead or Alive (Zidni R Chaniago), Romantika Jogeder: Menulis Tani Maju dari Bawah Panggung (KMPL), Lahir di Kampung Glintung untuk Menantang Perbatasan (Nova Ruth), Mengapa Saya Menulis Puisi (Han Farhani), Kolase Kerinduan dalam Bingkai Houtenhand (Allesia Wyneini), dan Musik, Malang, dan Dunia yang Penuh Kejutan membuat buku ini tipis, tapi tidak ringan.

Banyaknya informasi yang sudah dirangkum oleh 12 penulis di buku ini ternyata belum cukup mewakilkan gerak musikalitas Kota Malang yang tentulah masih lebih luas lagi. Banyak sekali event musik underground berskala besar yang belum tercakup dalam buku ini seperti Parade Musik Punk dan Metal Aspirasi #3 di Gedung Sasana Budaya Universitas Negeri Malang (2007) dan Reuni Akbar Punk di Taman Krida Budaya (2016) yang dihadiri bintang tamu band punk internasional Total Chaos. Acara underground sebesar itu terlampau penting untuk dilewatkan begitu saja. Begitu juga dengan skena aliran musik lainnya seperti grunge, psychedelic, dan musik eksperimental/noise yang tidak bisa juga dibilang sedikit.

Terlepas dari kekurangan itu, buku ini layak untuk dibaca oleh siapa pun yang masih peduli dan percaya bahwa musik adalah salah satu aspek besar dalam pembentukan budaya Kota Malang. Dalam tulisan-tulisan di buku ini tersimpan kenangan, sejarah, arsip, pemikiran, dan juga tumbuh kembang denyut musik di ruang-ruang riuh Kota Malang. Peristiwa-peristiwa musikal itulah yang menjadi arsip perkembangan masyarakat dan wajah Kota Malang dalam bentuk beat, distorsi, dan sayup-sayup dentuman amplifier yang tetap menggema dari jarak yang jauh, sekalipun waktu telah berlalu.

 

Editor: Emma Amelia

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email