Hmmmm

Menggugat Elitisme Mahasiswa dalam Skena Gerakan Sosial

Mahameru SDW

4 min read

Marilah kita maju bersama

Makmurkan desa, bukan bayar bunga

(Mother Bank, “Jalan Jalan”)

 

Beberapa waktu lalu, Omong-Omong menerbitkan suatu tulisan yang merespon keresahan terhadap fenomena peminggiran opini mahasiswa yang diretur sebab dianggap prematur (baca: Tantangan Intelektual Mahasiswa Hari Ini).

Setelah merenungi tulisan tersebut, kemudian timbul pertanyaan: jika opini mahasiswa saja dilepeh sebegitu rupa, lalu apa kabar layer lebih bawah lagi? Yakni, opini mereka yang bahkan tak pernah sekalipun duduk di kursi universitas. Mereka yang betul-betul berada di layer masyarakat terpinggirkan. 

Peminggiran terhadap mereka yang berada di layer tersebut tidak hanya terjadi pada wilayah diskursus saja, melainkan juga dalam percakapan langsung.

Pada konteks spesialisasi keilmuan (terlebih eksakta) mungkin cara pandang demikian akan dianggap cukup masuk akal (biarpun tentu kebenaran tidaklah mutlak terletak di gelar). Namun akan menjadi persoalan jika hal demikian menerobos wilayah yang mengatasnamakan gerakan yang tentunya bersangkut paut dengan kehidupan mereka itu sendiri.

Sangat kontradiktif sekali ketika ada orang yang mengklaim dirinya mewakili kelompok tertentu. Namun kelompok yang diwakilinya tidak pernah sekalipun didengar secara penuh empati, mengenai apa yang sebenarnya dikeluhkan dan diinginkannya. Hampir melampaui Hermes.

Cara pandang semacam itu memiliki sederet asumsi yang berserakan dan perlu dipertanyakan. Sebab ada semacam “ke-seolah-olah-an” yang berjejalan. Dan tulisan ini bertolak dari sana.   

Kejumudan Representatif dan Segenap Kontradiksinya

Dalam skena sistem demokrasi di Indonesia, pemerintah (khususnya legislatif) diandaikan memiliki sense yang peka terhadap persoalan masyarakat yang diwakilinya. Akan tetapi praktik di lapangan cukup sering menunjukan hasil sebaliknya. Banyak kebijakan yang malah menimbulkan efek buruk untuk masyarakat kalangan bawah yang tetap dipahat paksa.

Ketika embanan representatif tak dapat diamanahi oleh pihak pemerintah, biasanya ada antitesa berupa parlemen jalanan yang banyak diisi oleh mahasiswa serta para akademisi. Antitesa ini berangkat dari pandangan bahwa mereka memiliki sense yang lebih akurat ketimbang pemerintah. Seolah ada asumsi bahwa mereka adalah sekelompok orang yang memang pantas dan dapat dipercaya untuk mengemban tugas tersebut.

Umum dipercayai bahwa mahasiswa/akademisi adalah para ahli yang kebal dari keterpaparan penguasa dan bersih dari ketidakobjektifan dalam melakukan penilaian. Namun pada kenyataannya, banyak di antara mereka yang malah menggadaikan narasi perlawanan untuk dapat masuk berjejer sebaris dengan penguasa. 

Baca juga:

Ada kawanku (seorang mahasiswa) yang dulunya anarkis tulen, pindah ke Marhaen, lalu bermukim di ‘kesebelasan’ timses pemenangan Ganjar. Contoh lain lagi ada yang dulunya cukup aktif merawat api kamisan, dan pada akhirnya bermukim juga di skena timses Prabowo-Gibran. Saya pikir fenomena yang kurang lebih serupa, banyak ditemui juga oleh pembaca.

Begitupun pada basis akademisi, tak sedikit dari mereka yang memilih untuk bergabung dalam sirkel penguasa. Dengan segenap kekuatan data ilmiah yang dimiliki, serta simbol kepakaran yang teruntai di baris akhir nama, mereka dapat menyajikan kebenaran dengan embel-embel ”keilmiahan”. Suatu sajian yang kerap baik dipesan oleh ‘kesebelasan’ politik, maupun para pengeruk sumber daya alam (swasta). Pada era post-truth, pabrik legitimasi merupakan usaha yang cukup legit.

Pilihan posisi tersebut (sedikit banyaknya) tentu akan memengaruhi aktivitas akademik mereka. Posisi politik atau kecenderungan individu, bukanlah barang yang selalu dapat disterilkan dalam kerja-kerja akademik. Tidak dapat dimungkiri, keduanya rentan saling memengaruhi. 

Menerabas Kesakralan Para Pakar

Wilayah akademisi selalu lekat dengan cara pandang objektif serta ‘keketatan’ dalam pemungsian nalar. Pada kenyataannya anggapan tersebut tak dapat dianggap sebagai suatu keniscayaan. Peristiwa lolosnya artikel Alan Sokal pada jurnal Sosial Teks (tempat para akademisi yang cukup tersohor mengadu gagasan) barangkali dapat dijadikan sebagai pembenaran.

Artikel yang dilayangkan Alan Sokal tersebut, menurut pengakuannya sendiri, merupakan artikel yang ditulis secara “serampangan”. Hanya mengandalkan embel-embel kepakaran, upaya pengutipan, dan pemborongan referensi pada akhir tulisan. Terlebih menurut pengakuannya, tulisan tersebut sengaja dibuat seolah memiliki kecenderungan mendukung posisi intelektual para kelompok pemikir dominan di sosial teks. Ia menganggap bahwa alasan terakhir itulah yang membuat tulisannya dapat dimuat.

Terlepas dari perdebatan panjang mengenai fenomena Alan Sokal ini, mari kita petik beberapa hal yang dapat dikaitkan dengan peristiwa yang dibahas pada tulisan ini. Yakni, bahwa akademisi tidaklah sesakral apa yang diandaikan: pasti ketat dalam menilai, jernih, netral, dan lain sebagainya.

Foucault, bahkan memiliki pemikiran bahwa pengetahuan sangatlah rentan dipengaruhi oleh kekuasaan. Bahkan pengaruhnya dapat merasuk hingga ke celah yang dianggap paling privat, yakni perihal ketubuhan. Oleh karena itu, mengunci label secara mutlak terhadap kelompok tertentu merupakan sikap yang dirasa terlalu longgar dalam pertimbangan. 

Mengunci kelompok dengan label tertentu, sama halnya mengamini bahwa manusia merupakan makhluk statis. Seolah manusia (atau kelompok tertentu) sedari setingan default telah diberi esensi mutlak yang sudah tidak bisa diobrak-abrik lagi.

Overclaim Mahasiswa

Kerangka pemutlakan esensi terselubung terhadap individu maupun kelompok (dalam hal ini mahasiswa), merupakan suatu hal yang tidak boleh diamini begitu saja. Dosis-dosis skeptikal, perlu sedikit disuntikkan. 

Persepsi terhadap meja saja direnungi orang habis-habisan (hallo Russel). Apalagi sesuatu yang memiliki implikasi (yang cukup kentara) terhadap orang banyak., menjadi perlu kiranya untuk direnungi juga walau tidak habis-habisan.

Mahasiswa, seolah dianggap sebagai kelompok yang ditakdirkan untuk melakukan perubahan. Dalam konteks kesejarahan di Indonesia, memang tak dapat dielakkan bahwa mereka selalu berkontribusi atas perubahan yang terjadi. Akan tetapi apakah hanya mahasiswa saja yang dapat melakukan perubahan? 

Seolah-olah ada semacam suratan takdir yang membuat ketunggalan perannya tak dapat disangkal. Padahal kenyatannya, tidak semua aktor yang melakukan perubahan, berasal dari kelompok mahasiswa (contoh: Tan Malaka).

Ada dilema sebetulnya atas esensi yang disematkan tersebut. Kendati, kurang lebih saya sepakat dengan Sartre, bahwa eksistensi mendahului esensi (manusia dan ke-berperanan-nya bukanlah suatu hal yang mutlak terberi sedari muasal). Namun pengupayaan penekanan peran terhadap mahasiswa memiliki implikasi yang dapat dikatakan bermanfaat. 

Manfaatnya terletak pada format moral yang dapat dijadikan sebagai rel mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa. Sehingga ada acuan moral beserta konsekuensi sosial terhadap mereka yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Namun menjadi masalah ketika hal tersebut disirami dengan romantisme berlebih.

Eksklusivitas Gerakan

Masih umum ditemui demonstrasi eksklusif yang diinisiasi oleh mahasiswa. Di mana ketika demonstrasi berlangsung, mereka menolak orang-orang tak beralmet (memakai jas universitas) untuk masuk barisan. Tentu mereka memiliki alasan yang beragam atas tindakannya itu. Salah satunya (yang biasa terdengar) ialah tentang kemungkinan kerusakan yang disebabkan oleh mereka yang tak beralmet. Seolah-olah yang beralmet sudah dapat dipastikan tidak akan merusak. Seolah olah yang beralmet sudah tentu beradab. Sementara yang tidak beralmet seolah dapat dipastikan sebaliknya. 

Baca juga:

Mahasiswa bukanlah sekelompok orang suci yang sudah pasti terlindungi dari motif-motif jahat, perilaku culas dan kegagalan dalam bernalar. Jika kita sadar dan bersedia menerima fakta, banyak mahasiswa yang memiliki perilaku sebaliknya dari hal-hal yang kerap diromantisasir. Bahkan saat ini iklim apatisme dirasa lebih dominan.

Begitupun mereka yang bukan mahasiswa. Tidak semua dari mereka sesuai dengan anggapan yang banyak disematkan secara diam-diam. Bahwa mereka bodoh atau semacamnya. Ada banyak diantara mereka yang berupaya belajar secara mandiri atau membuat komunitas belajarnya sendiri.

Penutup dan Maksud

Dengan pelbagai penyangsian yang dilakukan diatas. Penulis tidak memiliki pretensi semacam pengalih pusatan kendali atau semacamnya. Penulis percaya bahwa tak ada kelompok khusus yang ditakdirkan memiliki posisi sebagai senjata utama dalam perubahan. Oleh karena itu upaya peleburan perlu dilakukan.

Ketidaksesjsjran akademik bukan berarti sama artinya dengan peminggiran. Terlebih jika yang dipinggirkan adalah mereka yang diklaim sebagai yang diwakilkan.

Akan lebih progresif kiranya jika situasi ketidaksejajaran itu dipandang dengan penuh empati dengan memperkecil kessenjangan yang ada. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat lingkar studi secara mandiri yang dikelola bersama dan bisa diakses gratis oleh semua kalangan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 







 

 

Mahameru SDW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email