Menulis apa pun yang bisa ditulis. Menulis karena boleh. Instagram: @azvagen

Menggenggam Telepon ala Jokpin

Wahyu Agil Permana

3 min read

Joko Pinurbo dikenal sebagai penyair yang gemar mempermainkan dan mendayagunakan keunikan kata-kata bahasa Indonesia, sehingga tidak sedikit puisinya yang hanya dapat dinikmati dalam bahasa Indonesia. Ia kerap memadukan puisinya dengan absurditas kejadian sehari-hari. Caranya yang lihai dan piawai dalam mengolah kata, menjadikan puisi-puisinya memberikan nuansa tersendiri bagi pembacanya. Dan tentu hal tersebut membuat penyair yang akrab disapa Jokpin ini digandrungi oleh banyak orang, terkhusus para pegiat sastra.

Telepon Genggam, merupakan salah satu karya Jokpin yang cukup epik, bahkan ia sendiri mengatakan bahwa di antara semua buku kumpulan puisinya, mungkin Telepon Genggam adalah kumpulan puisi yang paling “uwuwuwu” (dalam buku Telepon Genggam, hal-77). Kumpulan puisi dalam buku ini bukan serta-merta puisi-puisi yang dapat mengernyitkan dahi dan mengerutkan alis pembacanya, melainkan puisi-puisi sederhana–tetapi juga kompleks–yang dapat mengotak-atik perasaan pembacanya dan mengantarkan pada sebuah pemaknaan: “gila sih ini, nggak ada lawan!”.

Coba kita biarkan puisi Jokpin itu terbaca sendiri sebagaimana yang ditulisnya. Bisa jadi pembaca akan terpingkal-pingkal karena ternyata dia sangat nakal, dan begitu selesai mereka mungkin akan berani bicara, “kalau seperti ini, saya juga pasti bisa bikin puisi!”.

Baca juga:

Perjalanan Menyenangkan

Membaca menjadi sebuah kenikmatan, suatu perjalanan menyenangkan. Puisinya sudah bisa dinikmati begitu saja karena sejak pembacaan pertama terasa sajaknya tak memiliki pretensi tentang bahasa yang suci. Dia mencoba menghilangkan kesakralan bahasa yang tinggi atau rumit dipahami menjadi kelucuan, parodi, dan penyamaran. Dia sembunyikan puisi itu sebagai rimba, telepon genggam, foto, mahasiswa, boneka, ibu, anak kecil, binatang, perempuan pelukis, gadis manis, perempuan misterius, lelaki tanpa celana, ibu, buku, tanda baca, dan sudah tentu: tubuh, yang merupakan keahlian dan nyaris merupakan obsesi dari seluruh buku puisinya.

Begitu memasukinya, pembaca tidak berhadapan dengan struktur sajak yang rapi, rima teratur, bunyi manis, atau pilihan kata asing yang sukar dipahami dan butuh kamus untuk mencari kemungkinan makna tersiratnya. Yang dia sodorkan justru berbagai kosakata sehari-hari yang hampir tak ada bedanya dengan percakapan orang-orang di televisi atau bantah-bantahan di ruang umum. Kalau puisi ternyata bisa berbentuk seperti prosa yang hampir kehilangan ikatannya dengan bentuk, bunyi, dan ciri khas puisi lainnya, apa yang membuat puisi bebas karya Joko Pinurbo ini tampak istimewa?

Yang utama bisa jadi permainan bahasa dan makna. Kadang-kadang petanda permainan itu dengan sengaja dia tunjukkan dengan penggunaan huruf italic dan pengulangan. Dia berusaha mengejutkan dan menggoyahkan iman pembaca karena ternyata bahasa yang digunakannya sering penuh teka teki dan permainan. Dia mengejek pandangan umum dengan membolak-balikkan susunan kata, melemparkan kesan harfiah jauh-jauh ke laut, kemudian mencoba membiarkan kata itu berkembang dan main-main sendiri, atau dia pupuk, kalau tidak, akan dia buahi kata-kata itu biar membawa makna baru yang segar dan penuh isi.

Upaya itu dia tekadkan beberapa kali, misalnya di bagian ke-5 sajak “Sudah Saatnya” dengan seperti ini: sudah saatnya kata-kata yang mandul kita hamili; yang pesolek ngapain dicolek, toh lama-lama kehabisan molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi berahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi. Di puisi terakhir buku ini, “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”, dia mewisuda lulusan kata-kata dengan sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan mereka harus pergi cari kerja sendiri. Jokpin agaknya makin enggan menggunakan bait dan baris. Sebagai gantinya dia berdayakan alinea (paragraf) yang lazim dilakukan penulis prosa.

Dalam hal memain-mainkan bahasa, Jokpin sudah tak lagi segan dan ragu. Bisa jadi dia merupakan eksponen utama penyair kontemporer Indonesia yang tak pernah lelah mencoba melelehkan kekakuan bentuk dan bahasa puisi, mendekatkannya sedemikian rupa kepada pembaca bahkan dengan menggunakan kosakata profan sekalipun, sehingga pembaca tak lagi berjarak dengan bahasa dan ungkapan.

Meski terkesan mudah dan terang karena penggunaan teknik itu, sebagaimana kata semua kritik, puisi Jokpin tidak bisa jatuh jadi murahan. Itu karena dia ternyata pandai menyembunyikan kedalaman, misteri, dan menunggu munculnya kejutan, salah satunya dalam “Selamat Tinggal” yang hanya terdiri dari kalimat pendek: Ia tidurkan telepon genggamnya di kuburan, lalu ia buang ke laut. Rasanya puisi seperti itu pasti bukan untuk kaum awam, melainkan justru harus didedah berpanjang-panjang oleh sejumlah pakar.

Baca juga:

Melihat Jokpin Bermain-main

Telepon Genggam memperlihatkan proses lebih lanjut bahwa unsur main-main Jokpin memang menonjol sekali, melebihi yang pernah dilakukannya pada buku-bukunya yang lain, sambil di sana-sini meletupkan parodi, memunculkan kejutan, aforisme, dan truisme. Dari yang sederhana, misalnya mengganti “malang dapat ditolak, untung dapat diraih” hingga perlambang serius, contohnya “mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka.”

Dia gemar sekali memasukkan unsur keseharian, makian, olok-olok ke dalam puisi-prosanya bisa jadi karena ingin tahu sebenarnya apa dampak penggunaan itu terhadap pembacaan dan pemaknaan. Perkiraannya ada dua kemungkinan, pertama Jokpin ingin mendekatkan puisi kepada pembaca dengan mencari kekuatan ungkapan sebagaimana iklan televisi yang suka pernyataan hiperbolik kepada pemirsa. Agar pembaca terus terpana dan tak berhenti sebelum selesai.

Kedua dia ingin agar puisinya bisa merambah ke mana saja, dengan subjek, kosakata, diksi, dan gaya yang baru. Kemungkinannya bisa sangat luar biasa, sebab citra-citra yang digunakan Jokpin tak pernah usang. Untuk buku ini jumlahnya tak perlu banyak, cukup 32 buah, rasanya Jokpin bisa menjamin pembaca akan memiliki pengalaman baru atau terheran-heran ternyata ada puisi yang bisa lancar sekali dibaca, bahasanya bersih, membuat segar, tak membuat orang terbata-bata atau terhenti terhalang kosakata tak dimengerti atau bisa bikin alergi.

Joko Pinurbo makin dalam masuk ke bentuk puisi-prosa. Ini kecenderungan cukup kuat yang harus “diwaspadai” ke mana muaranya, sementara sejumlah penulis prosa malah mencari keindahan dan menempuh eksperimentasi lewat kalimat-kalimat puitik dan penuh metafora. Puisi terpanjang di buku ini, “Laki-laki Tanpa Celana”, sudah sempurna betul sebagai prosa, lengkap dengan permainan waktu dan percakapan. Apa dia betul-betul kerasukan adagium William Wordsworth, bahwa: “puisi adalah kata yang tepat dalam susunan yang tepat”, maka tak ragu lagi menempuh jalan itu?

 

 

Editor: Prihandini N

Wahyu Agil Permana
Wahyu Agil Permana Menulis apa pun yang bisa ditulis. Menulis karena boleh. Instagram: @azvagen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email