Apa yang Anda lakukan ketika bersedih, stres, atau bahkan depresi? Setiap orang pasti memiliki mekanisme pengusir rasa sedihnya masing-masing. Dalam banyak kasus—terutama di sekitar kehidupan saya—membikin karya seni adalah tindakan yang dipilih. Dan puisi menjadi salah satu dari berbagai jenis karya seni itu.
Terapi melalui puisi telah berkembang sebagai metode untuk mengungkapkan perasaan dan emosi yang sulit diungkapkan secara langsung. Ini adalah pendekatan yang memanfaatkan kekuatan bahasa, imajinasi, dan kreativitas demi membantu individu menyembuhkan luka emosional, mengurangi stres, dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Puisi seringkali menjadi media yang intim, tempat di mana penulis bisa menyuarakan emosi terdalam mereka tanpa batasan bentuk atau aturan. Tidak seperti prosa yang lebih terbatas oleh struktur, puisi mengundang penulis untuk bermain dengan kata-kata dan metafora, sehingga memungkinkan eksplorasi emosi yang lebih dalam. Melalui simbol dan imaji, seseorang dapat merasakan kebebasan untuk menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dengan mudah diungkapkan lewat kata-kata biasa.
Saat saya sedang berada di titik terendah, beberapa orang terdekat menyarankan saya untuk melampiaskan perasaan melalui puisi. Seolah sudah menjadi hal lumrah bahwa menulis puisi bisa menjadi terapi bagi jiwa yang sakit. Harapannya tentu bisa menghilangkan luka pada psikis.
Asumsi umum itu sudah melekat hingga ke lingkungan akademik. Pada hari Minggu (29/9) lalu, Helvy Tiana Rosa menjadi salah satu narasumber dalam acara bertajuk “Workshop Inner Writing Poetry”. Di acara itu, ia dengan tegas berkata, “Puisi justru bisa menyembuhkan jiwa yang depresi, bukannya malah membuat orang berkeinginan bunuh diri.”
Apakah puisi sungguh dapat menyembuhkan luka batin dan dapat mencegah seseorang dari bunuh diri? Menulis puisi memang dapat dianggap sebagai medium ekspresi diri dan penyembuhan emosional. Namun sayangnya, asumsi bahwa puisi selalu bersifat terapeutik tidak sepenuhnya akurat. Faktanya, bagi beberapa orang, terutama mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental serius, puisi malah bisa menjadi pemicu yang memperparah kondisi mereka.
Eksplorasi Emosi yang Terlalu Mendalam
Akar masalahnya adalah bahwa untuk menciptakan puisi, kerap kali melibatkan penggalian emosi terdalam, seperti rasa sakit, kesedihan, atau trauma. Beberapa penyair mendapat ketenaran mereka dari puisi-puisi yang mereka tulis sewaktu sengsara. Contohnya Chairil Anwar sampai T.S. Eliot. Puisi yang mereka hasilkan berlandaskan pada ekspresi emosional.
Bagi sebagian orang, motif menulis seperti Chairil dan Eliot bisa menjadi katarsis, yakni sebuah pelepasan emosional yang membantu mereka memproses perasaan. Namun bagi yang lainnya, motif itu bisa membawa mereka jatuh lebih jauh ke dalam luka emosional yang belum tersembuhkan.
Membuat karya yang mengeksplorasi kesedihan atau kematian bisa memicu pola pikir negatif yang sulit untuk diatasi. Alih-alih menjadikan puisi sebagai katarsis, para penulis puisi yang berangkat dari motif ekspresi emosional bisa terjebak dalam lingkaran pola pikir yang gelap.
Bagi seorang dengan penyandang Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), menulis puisi tentang pengalaman traumatis dapat membuat mereka “terjebak” dalam ingatan-ingatan yang menyakitkan. Menulis tentang pengalaman traumatis tanpa bimbingan profesional bisa memperburuk gejala PTSD pada individu yang rentan.
Romantisasi Kesuraman dan Penderitaan
Ada kecenderungan untuk meromantisasi penderitaan dalam beberapa tradisi puisi. Penyair kondang macam Sylvia Plath, Anne Sexton, atau bahkan dalam tradisi yang lebih jauh seperti Charles Baudelaire, sering menggambarkan kesedihan atau kematian dengan nada yang diromantisasi: estetis, indah, dan mendalam.
Penyair sering kali merasa bahwa rasa sakit mereka adalah sumber kreativitas, sehingga mereka enggan sembuh dari “penyakit mentalnya” karena takut kehilangan inspirasi. Ini menciptakan konflik antara keinginan untuk sembuh dan menjaga identitas mereka sebagai penyair.
Kay Redfield Jamison dalam Touched with Fire (1993), mengeksplorasi hubungan antara kreativitas dan gangguan bipolar. Buku itu menunjukkan bahwa banyak seniman, termasuk penyair, merasa bahwa kondisi mental mereka merupakan sumber kreativitas, sehingga mereka tidak menggunakan totalitas untuk menyembuhkan luka batinnya.
Efek Sylvia Plath dan Gerakan Confessionalism
Terdapat riset psikologi di tahun 2001 yang menunjukkan kalau penyair merupakan profesi yanh paling potensial terkena gangguan mental dibanding pekerjaan lainnya. Dalam kasus ini, penyair perempuan lebih rentan depresi dibanding penyair laki-laki. Riset yang digarap oleh James C. Kaufman tentang Sylvia Plath Effect itu juga menjelaskan bahwa penyair, khususnya perempuan, memiliki risiko lebih tinggi terhadap bunuh diri dibandingkan dengan jenis penulis atau seniman lainnya.
Efek Sylvia Plath sejalan dengan namanya. Istilah ini diambil dari nama Sylvia Plath, seorang penyair terkenal dari Amerika Serikat, yang hidupnya diwarnai oleh depresi berat dan akhirnya meninggal karena bunuh diri pada usia 30 tahun. Karya-karyanya yang cenderung suram membuat dirinya terkung-kung oleh sakit mental yang dideritanya.
Di balik depresinya, Plath termasuk ke dalam gerakan Confessionalism. Sebuah gerakan yang mengeksplorasi kejadian-kejadian ekstrem dalam diri penulisnya. Istilah itu diciptakan pertama kalinya oleh M.L. Rosenthal saat meninjau karya Robert Lowell berjudul Life Studies di tahun 1959.
Confessional jika dialih-bahasakan ke dalam bahasa Indonesia, artinya kurang lebih mengacu pada “pengakuan dosa”. Persis dengan begitulah para penyair dari gerakan confessionalism mengekspresikan dirinya. Mereka tidak mengubah penderitaan hidupnya menjadi puisi yang lebih simbolis ataupun surealis, tapi mereka bereksresi secara jujur tentang kondisi batin yang dialaminya–termasuk juga hal-hal tabu seperti penyakit mental, masalah dalam rumah tangga, dan bahkan bunuh diri.
Dengan munculnya Efek Sylvia Plath hingga gerakan Confessionalism, kita bisa menepis anggapan umum bahwa puisi diposisikan sebagai terapi bagi orang yang berpenyakit mental. Dari kasus tersebut, puisi tidaklah menyembuhkan luka batin, malah membuat penyairnya berlarut-larut dalam derita.
*****
Editor: Moch Aldy MA