Bagi penyair Joko Pinurbo, prosa sesungguhnya bukan hal yang asing. Selama ini ia sudah menulis beberapa cerita pendek. Tapi, memang baru kali ini novel pertamanya lahir. Berhasilkah?
Jokpin, demikian ia biasa disapa, menerbitkan buku puisi pertamanya, Celana, pada tahun 1999. Buku puisinya yang lain di antaranya; Baju Bulan, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu, Buku Latihan Tidur, serta Surat Kopi.
Penyair menulis prosa, entah cerpen atau novel, bukan hal yang aneh. Belum lama ini penyair senior, Goenawan Mohamad, juga telah menerbitkan novel, Surti + Tiga Sawunggaling. Contoh lain, Sapardi Djoko Damono. Ia bereksplorasi menulis cerpen-cerpen mini serta menovelkan puisinya, Hujan Bulan Juni yang terbit 2015 lalu.
Baca juga: Kritik Sastra: Menilik Duet Arief Budiman dan Goenawan Mohamad
Srimenanti, novel pertama Jokpin yang terbit 2019, adalah perayaan bagi jiwa-jiwa yang mencintai puisi. Berangkat dari seorang penyair yang nakal, Jokpin berhasil melahirkan kenakalan-kenakalan baru dalam novel perdananya. Begitu piawai Jokpin dalam bermain kata-kata. Tidak hanya menyusun, tetapi juga dalam menghidupkan maknanya. Bagi saya, Jokpin telah berhasil menaburkan sihir magisnya sebagai penyair dalam novel pertamanya.
Meniti latar belakang novel ini, beberapa kejadian pun memang lahir dari keseharian yang dekat dengan pengarang. Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang ada di dalam novel ini. Beberapa nama sastrawan pun turut hadir meramaikan cerita. Beberapa di antaranya adalah Sapardi, Faisal Oddang, Aan Mansyur, Butet, dan masih banyak lagi. Bahkan, tokoh-tokoh fiksi yang Jokpin hadirkan di dalam novel ini pun lahir dari beberapa tokoh-tokoh yang telah lama ia ciptakan di dalam puisi-puisinya. Di antaranya adalah Eltece, kependekan dari lelaki tanpa celana, sosok hantu laki-laki dengan darah mengental di ujung kelaminnya.
Baca juga: Luka dan Pertanyaan-Pertanyaan Aan Mansyur
Hantu ini dikenal senang batuk-batuk di kamar mandi disertai dengan rintihan: “Sakit, Jenderal.” Dari sosok Eltece ini pula, Jokpin seolah ingin menyentuhkan kepercayaan mistis yang masih sering dipercayai oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, penggambaran Eltece pun mengingatkan saya pada kekejaman yang terjadi pada era Orde Baru, di mana banyak sekali aktivis dan korban-korban dari berbagai kalangan yang telah diculik dan menjadi saksi dari kekejaman pada masa itu.
Rintihan “Sakit, Jenderal!” betul-betul telah mengingatkan saya pada kejadian di masa Orba, lebih-lebih kepada Jenderal Penculik. Dalam imajinasi saya langsung tergambar Eltece sebagai korban kekejaman Orba. Ia mungkin telah diculik, disiksa, disakiti, dan berujung mati. Persis seperti korban-korban kekejaman Orba lainnya. Darah mengental di kelaminnya adalah simbol dari kekejaman yang tak terkira.
Praduga saya diperkuat dengan kisah Srimenanti yang langsung teringat mendiang bapaknya setelah bertemu dengan Eltece. Diceritakan pada suatu malam, saat pulang dari bermain teater, bapaknya dijemput beberapa orang tak dikenal. Sejak itu, ia tak pernah lagi melihatnya. Ia tak tahu menahu apa yang terjadi. Sampai ia dengar cerita-cerita tentang para aktivis dan seniman yang diculik, disiksa, dan konon dikerat kemaluannya.
Melalui kehadiran Eltece, Jokpin ingin mengabadikan trauma kekejaman Orba. Trauma itu tidak hanya mengusik Srimenanti, tetapi juga bagi pembaca.
Di samping Eltece, ada dua tokoh utama yang menjadi sorotan dalam novel ini. Yang pertama tentu saja Srimenanti, seorang pelukis perempuan yang tidak mengikuti aliran apa pun dalam melakukan ibadah melukis. Dan yang kedua adalah saya, seorang penyair sinting yang gemar sekali pada puisi Sapardi. Dan akhirnya, saya sepakat, bahwa sosok saya dalam novel ini, tak lain adalah Jokpin sendiri. Dalam imajinasi saya, Jokpin seperti sedang menulis biografinya sendiri. Namun, menggunakan cara yang unik, dengan memberikan bumbu-bumbu fiksi, yang berhasil ia racik dengan begitu mengasyikkan.
Kisah kedua tokoh ini digambarkan secara berbeda dan bergantian, tetapi tetap dalam satu konteks cerita yang selaras. Kedua tokoh ini memiliki persoalan yang berbeda, tetapi kemudian dipertemukan dalam satu gagasan yang saling melengkapi.
Secara umum, novel ini banyak diramu oleh penggalan puisi Sapardi dan Jokpin sendiri sebagai penulis. Maka jangan heran jika pembaca akan menemukan rangkain cerita yang mengalir dari puisi ke puisi, lebih-lebih kepada puisi-puisi Jokpin yang telah ia terbitkan sebelumnya.
Uniknya, penggalan puisi yang ditampilkan banyak menghadirkan imaji visual dan auditif kepada pembaca. Puisi-puisi itulah yang secara tidak langsung menjadi ruh dalam cerita Srimenanti. Gaya bahasa yang Jokpin gunakan mampu meninabobokan para pembacanya, lebih-lebih kepada mereka yang memang mencintai puisi.
Kendati demikian, tidak diragukan pula bahwa kepiawaian Jokpin dalam mempermainkan kata sungguh berhasil melahirkan situasi yang optimal bagi pembaca.
Untuk selanjutnya, pembaca akan menyadari betapa Jokpin dengan masifnya mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi nilai-nilai puisi. Beberapa ungkapan seperti, “puisi itu menghaluskan jiwa” (hal. 80). atau, “puisi lebih mujarab”, “sebagai sekutu puisi”, “menunaikan ibadah puisi”, adalah cara Jokpin mengajak pembaca dalam mengagungkan derajat puisi.
Novel ini bisa dikatakan adalah pengembangan beberapa karya Jokpin lainnya. Cerpennya Ayat Kopi, ikut mengisi bagian penting dalam buku ini. Kata-kata semisal, celana, kamar mandi, kulkas, dan kopi, memang tak asing lagi bagi puisi-puisi Jokpin. Kata-kata itu juga tidak luput memberi kenangan pada buku puisinya: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016), Buku Latihan Tidur (2017). Semuanya itu seperti dihidupkan kembali dan ikut memberi peran penting pada novel ini.
Tetapi, karena itu pulalah, banyak yang mengatakan bahwa Jokpin seperti tidak memiliki keberanian untuk melepas ke-aku-annya. Cukup banyak pembaca yang merasa kecewa dengan novel perdananya ini. Sebab mereka menilai, bahwa Jokpin terkesan monoton, terutama dalam memberikan tokoh, jalan cerita, dan sudut pandangnya yang terkesan seperti itu-itu saja.
Sebagai pecinta Jokpin, saya pun tidak menutup mata akan hal itu. Benar, cuplikan kejadian yang terjadi di dalam novel ini, beberapa memang diambil dari kumpulan puisinya yang sudah terbit lebih dulu. Dalam hal ini, Jokpin hanya terkesan seperti sedang menggabungkan beberapa puisi lamanya, dan menyatukannya dengan jalan cerita hidupnya. Untuk melakukan ini pun, penulis tentu butuh kepiawaian, tetapi, pembaca justru meyakini, bahwa seorang Jokpin, mestilah mampu untuk membuat gebrakan baru. Tetapi, pada akhirnya Jokpin tetap memilih sebagai Jokpin, si penyair nakal yang nekat menerbitkan sebuah prosa dengan pendekatan yang sangat puitis.