Mahasiswa Jurusan Studi Agama Agama Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Mengenal Ekoteologi

Arie Riandry

2 min read

Alam merupakan “perwujudan” Tuhan. Merusak alam sama dengan merusak hubungan dengan Tuhan. Isu krisis lingkungan perlu menjadi perhatian setiap agama sekalipun modernitas memudarkan kepercayaan kita terhadap penanganan krisis lingkungan pada taraf membahagiakan manusia.

Sikap niretik meliputi tindakan-tindakan arogansi manusia terhadap lingkungan. Pengrusakan alam seperti penebangan liar dan eksploitasi laut adalah contoh habit atau sikap yang niretik. Alam seolah tidak bernilai di hadapan manusia, kecuali sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan hidup.

Baca juga:

Seri konferensi yang membahas mengenai agama dan ekologi dunia di Universitas Harvard pernah meninjau sumber daya intelektual dan simbolis pada kultur atau tradisi keagamaan tertentu. Tradisi keagamaan dalam tinjauan itu mencakup praktik, ritus, dan bangunan ritual yang berhubungan dengan alam.

Dalam bukunya yang berjudul Menanam Sebelum Kiamat, Sayyed Mohsen Miri memetakan dua pendekatan keagamaan untuk menangani krisis lingkungan. Yang pertama, pemecahan krisis dilakukan atas pertimbangan segala sesuatu yang metafisis, situasi yang sedang berlangsung, target perubahan jangka pendek, dan perencanaan ulang. Kedua, pemecahan krisis dilakukan melalui penjabaran ontologi yang meliputi kausalitas dan faktor yang mendorong munculnya krisis. Hal itu kemudian diikuti dengan dasar keilmuan atau epistemologis yang mencakup kerangka rohani, kerangka intelektual, serta paradigma budaya yang menyebabkan terjadinya krisis dengan tetap mengacu pada penyebab pertama. Pendekatan kedua merupakan komponen yang paling penting dan berkontribusi menimbulkan pengaruh yang lebih nyata.

Memahami Ekoteologi

Istilah ekologi diambil dari bahasa Yunani oikos dan logos. Oikos berarti habitat dan logos artinya ilmu. Dalam pengertian yang lebih universal, oikos bukan hanya tempat tinggal, tapi juga diartikan sebagai kosmos atau alam semesta. Dengan demikian, oikos diartikan secara luas sebagai seluruh alam semesta beserta makhluk hidup yang saling berinteraksi dengan keseluruhan ekosistem.

Sementara itu, teologi merupakan sebagai sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan hal transendental atau ketuhanan. Ekoteologi lantas didefinisikan sebagai relasi antara agama dengan alam atau agama dengan lingkungan. Ekoteologi secara universal dimulai dari premis mengenai relasi antara paradigma transendental atau paradigma manusia dengan kerusakan manusia.

Ekoteologi Badiuzzaman Said Nursi

Membicarakan ekoteologi tentunya tidak luput dari pemikiran-pemikiran tokoh intelektual, salah satunya Badiuzzaman Said Nursi. Nursi mengatakan bahwa kerusakan lingkungan terjadi karena kekeliruan manusia dalam memahami alam. Cara pandang yang keliru ini akan menghasilkan manusia yang niretik dalam memandang alam.

Secara khusus, Nursi mengkritik materialisme manusia pada alam. Saat dilepaskan dari nilai teologisnya, nilai sakral alam hilang dan berganti menjadi instrumen pemenuhan kebutuhan manusia semata. Inilah yang mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi terhadap alam secara masif. Selanjutnya, kegiatan eksploitasi alam ini dikapitalisasi oleh segelintir manusia dengan dalih untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Nursi menghadirkan kesadaran spiritual dalam memahami alam atau cara pandang teologi terhadap alam. Hal terpenting dalam pemikirannya adalah adanya kesadaran ontologis antara Tuhan dengan makhluknya. Artinya, eksistensi alam tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Tuhan yang merupakan puncak eksistensi. Nursi memahami alam semesta sebagai manifestasi-manifestasi (tajalliyat) Tuhan, tepatnya manifestasi dari sifat-sifat, nama, dan tindakan Tuhan. Dalam relasinya dengan manusia, Nursi mengatakan bahwa alam adalah validasi kuat bagi eksistensi Tuhan.

Dalam kacamata Nursi, refleksi mengenai substansi manusia dalam konteks memahami alam sangat penting diuraikan mengingat konsepsi manusia sering kali disalahartikan. Manusia selama ini khalifah di bumi yang memiliki porsi lebih tinggi dibanding alam semesta. Persepsi ini menimbulkan semangat kapitalisme terhadap alam yang memandang alam sebagai komoditas ekonomi. Dalam konteks ini, Franz Magnis Suseno menilai bahwa manusia modern menganggap alam dalam sifat teknokratik, yakni menempatkan alam sebagai objek yang harus dikuasai dan dimanfaatkan.

Baca juga:

Titik Temu Ekologi dengan Agama

Agama secara umum seharusnya mampu menyatukan umatnya untuk peduli terhadap lingkungan—ini merupakan amanah penting yang harus diemban oleh setiap umat beragama. Alam telah memberi berbagai manfaat, mulai dari tatanan primer hingga sekunder. Alam jugalah merupakan manifestasi Tuhan. Umat manusia yang beragama seharusnya mempunyai spirit untuk menjaga alam semesta.

Boleh dikatakan, agama memainkan kebijakan penting dalam mendobrak krisis lingkungan. Agama dapat memengaruhi kebijakan terkait lingkungan secara efektif melalui etika lingkungan agama. Tradisi agama yang merangkul isu ekologi dapat membantu mengubah persepsi masyarakat terhadap masalah lingkungan.

Di samping itu, sikap-sikap ekologis dalam hubungan antar agama yang mencakup toleransi, kebebasan, keterbukaan, dan kejujuran bisa mendorong keadilan ekososial. Akhirnya, semua manusia menyadari krisis ekologi atau kerusakan lingkungan ini bukan dari agama, melainkan kapitalisme beserta sistem ekonomi yang melihat bahwa alam ini dapat manusia eksploitasi.

 

Editor: Emma Amelia

Arie Riandry
Arie Riandry Mahasiswa Jurusan Studi Agama Agama Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email