Sejak abad 15, Makassar telah menunjukkan peran sebagai kota pelabuhan yang penting dalam perdagangan dunia. Pada saat itu, Makassar masuk ke dalam jaringan perdagangan sutra yang menghubungkan antara dunia perdagangan Asia dan Eropa. Aktivitas perdagangan dimulai dan berawal dari muara Sungai Tallo. Di muara inilah, jalur perdagangan Makassar dimulai hingga membuat Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka pada saat itu.
Akan tetapi, kejayaan Makassar sebagai daerah maritim tampaknya hanya akan dinikmati sebagai dongeng saja ke depannya. Hal ini bisa tampak pada berbagai pembangunan dan kebijakan yang dilakukan pemerintah yang kini tidak lagi memihak pada kesejahteraan nelayan. Penambangan pasir di Pulau Kodingareng dan pembiaran limbah Sungai Tallo adalah sebagian kecil dari bentuk ketidakpedulian pemerintah kepada nelayan. Padahal, kualitas perairan sangat menentukan keberlangsungan hidup nelayan ke depannya.
Memancing Limbah
Berawal dari sejarah hingga saat ini, tangkapan hasil laut menjadi salah satu sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat pulau dan masyarakat pesisir sungai di Makassar. Secara tidak langsung, peran serta nelayan juga mempengaruhi asupan nutrisi masyarakat kota. Salah satu lahan tangkapan bagi nelayan adalah Sungai Tallo. Sungai Tallo sendiri memiliki dua anak sungai yaitu Sungai Sinassara dan Sungai Pampang, menjulur masuk hingga ke berbagai kawasan kota.
Namun, keberadaan Sungai Tallo sebagai lahan tangkapan bagi para nelayan kecil tidak ditindaki serius oleh pemerintah yang dibuktikan dengan kerusakan demi kerusakan yang dialami Sungai Tallo. Akibat dari kerusakan yang dialami oleh Sungai Tallo, masyarakat Pulau Lakkang lah yang paling merasakan deritanya. Pulau Lakkang merupakan pulau yang dikelilingi oleh Sungai Tallo, jadi tidaklah mengherankan jika Sungai Tallo menjadi pusat kehidupan masyarakat Pulau Lakkang. Mulai dari jalur transportasi hingga menjadi lahan mata pencaharian.
Untuk sampai ke Pulau Lakkang sendiri tidaklah sulit, cukup bermodalkan Rp.5.000,- untuk sekali jalan menggunakan kapal kecil bermuatan 10-12 orang. Dermaga Pulau Lakkang dipenuhi dengan kapal-kapal atau perahu penangkap ikan, ini sejalan dengan mayoritas masyarakat Pulau Lakkang yang memang berprofesi sebagai penangkap ikan dan udang.
Akan tetapi, selama beberapa tahun terakhir, Sungai Tallo kerap kali menimbulkan aroma yang tidak sedap dan menyuguhkan pemandangan ikan-ikan yang mengambang di sepanjang sungai. Kondisi ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan kondisi Sungai Tallo yang dulunya masih bersih.
Menurut Haris, ketua kelompok Bonto Perak I, salah satu kelompok budidaya udang di Pulau Lakkang yang dikutip dari Mongabay, ada tiga sumber pencemaran Sungai Tallo, yaitu buangan limbah dari pabrik gula Makassar Te’ne, limbah rumah tangga dan limbah solar hasil buangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Kasus tersebut menunjukkan tidak tegasnya pemerintah dalam menyelesaikan masalah limbah sungai. Padahal, sudah ada aturan jelas mengenai sanksi pembuangan limbah pada Pasal 104 UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang berbunyi; “Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).” Pemerintah seharusnya tahu bahwa limbah bukanlah masalah sederhana bagi nelayan.
Kalau diamati sekilas, Sungai Tallo memang tampak biasa dan tidak terdapat masalah. Masalah baru muncul saat musim hujan datang. Pasalnya, para nelayan tidak bisa menangkap kepiting dan udang karena limbah yang terbawa arus air Sungai Tallo sehingga nelayan harus berdiam diri di rumah dan menunggu air sungai kembali membaik. Hal ini tentu berdampak langsung pada penghasilan mereka. Sebelum Sungai Tallo terpapar limbah, penghasilan nelayan per hari bisa mencapai 200-300 ribu dari hasil tangkapan ikan. Namun sekarang nelayan setempat hanya bisa menghasilkan 50-100 ribu per hari.
Melihat kondisi yang dialami nelayan sekarang ini, tampaknya hanya persoalan waktu saja hingga kemiskinan menggerogoti kehidupan mereka. Hal itu sekaligus mengaminkan pandangan Semedi (dalam Zid dan Alkhudri, 2019) yang mengatakan, “In Asia, where agriculture takes pride of places as the dominant economy activity, fishing communities … are marginal”.
Semakin terpuruknya kondisi nelayan di tengah hiruk pikuk kemewahan perkotaan adalah hal yang memprihatinkan. Semakin menjadi ironi karena mereka justru terpuruk di wilayah yang didominasi perairan. Bunyi Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat” seolah tidak berlaku kepada mereka yang menggantungkan hidupnya pada sepanjang aliran Sungai Tallo.
Dengan berbagai kesulitan yang dialami oleh para nelayan, para birokrat dan teknokrat yang merupakan pilar-pilar negara harus didorong untuk memahami kepentingan publik agar dapat menyeimbangkan praktik spasial atas ruang yang mengakomodasi pluralitas dan mengakhiri diskriminasi pemanfaatan ruang akibat kepentingan-kepentingan kapitalistik yang mengabaikan keseimbangan ekologi, sosial, dan kultural. (Pamungkas, 2016)