Pekerja media yang gemar isu-isu kebudayaan dan humaniora. Kadang-kadang menulis, seringnya membaca.

Mengeker Kuasa

Mochammad Fajar Nur

4 min read

Ambitions and lust for power … are predominant passions in the breasts of most men.” – Samuel Adams

Moncong senapan itu mengeluarkan residu asap yang tipis. Burung-burung entah apa jenisnya, meluncur liar dari batang-batang pepohonan pinus. Suara letupan di siang bolong itu mengagetkan rehat tengah hari para burung. Peluru itu meleset jauh dari targetnya, masih menggantung di gagang pelatuk—tangan saya gemetaran. Momen itu merupakan percobaan pertama saya belajar berburu. Seorang kawan lama yang khatam keluar-masuk hutan mengajari saya cara mengeker dan menembak target buruan.

Sebut saja namanya, Arief. Saya pertama kali mengenalnya di sebuah kedai kopi pada tahun 2018. Kami satu almamater meski terpaut satu tingkat dan berbeda jurusan. Kala itu, Arief merupakan ketua mahasiswa pencinta alam di fakultasnya. Saya cepat akrab dengannya karena kami sama-sama menyukai kegiatan luar ruangan dan naik gunung. Setelah hampir sebulan lebih mengenalnya, Arief mengajak saya belajar berburu. Ajakan Arief menggoda rasa penasaran saya.

Tempat kami berburu merupakan sebuah lahan kebun milik kampus. Luasnya kira-kira dua lapangan sepakbola lebih dan ditumbuhi berbagai macam pohon dengan daun yang rindang—tempat sempurna bagi burung-burung bersarang.

Menembak buruan tak semudah yang saya bayangkan. Berkali-kali tembakan saya nyasar ke ranting pohon atau sekadar mencabik dedaunan hingga lungsur. Saya masih tak terbiasa memegang senapan; telapak tangan saya berkeringat dan genggaman saya gemetaran. Alhasil, tembakan asal yang saya lesatkan hanya membuat burung-burung kabur ke udara. Arief menertawakan saya. Kami berganti giliran menembak, lalu ia mulai menunjukkan kebolehannya.

Arief menunjuk satu dahan rendah di sebuah pohon kapuk. Ada seekor burung berwarna cokelat keabu-abuan tengah mematuk permukaan batang pohon tersebut. “Lihat, saya mau tembak yang itu,” kata Arief sambil mengarahkan moncong senjatanya ke atas pohon. “Dor!” peluru melesat dan mengenai batang pohon utama—hanya beberapa sentimeter dari dahan tempat burung yang diincar Arief bertengger. Meleset—saya tersenyum geli. Burung tadi meloncat halus ke batang yang lebih tinggi. “Dor!” kurang dari lima detik, Arief melesatkan tembakan kedua dan seekor burung juntai ke tanah. Bau amis darah tercium dan bulu-bulu melayang di antara pepohonan.

Tembakan pertama ternyata sengaja dibuat meleset dengan halus agar Arief bisa memperkirakan jarak tembak. Setelah mampu memperkirakan jarak tembak dengan tepat, tembakan selanjutnyalah yang digunakan untuk mengeksekusi target. Oleh Arief, ini disebut sebagai teknik ranging atau mengeker.

Ranging merupakan manuver-manuver terarah yang membuat jarak pemburu dengan target buruan semakin dekat. Tembakan-tembakan yang terlihat meleset itu membuat buruan lengah, lalu masuk pada jarak tembak yang telah ditentukan sang pemburu.

Baca juga:

Mengeker Kuasa

Momen berburu bersama Arief bertahun-tahun yang lalu itu mengingatkan saya pada politik di negeri kita saat ini.

Bulan Januari kemarin, ratusan kepala desa dari berbagai daerah berdemonstrasi menuntut perpanjangan masa jabatan di depan gedung DPR. Alasannya cukup menyinggung logika: butuh waktu lebih lama membangun desa sebab perlu rekonsiliasi konflik antar warga desa pasca pemilihan. Undang-Undang Desa diusulkan untuk direvisi guna meloloskan hasrat ini. Pemerintah pusat dan elit politik terkesan memberikan lampu hijau atas tuntutan ini.

Kalau bukan membangun kecurigaan akan politisasi dan mobilisasi di tingkat desa menjelang pemilu tahun 2024 mendatang, lantas apa lagi di balik semua ini? Bukan hal baru politisasi terhadap kades dilakukan menjelang pemilu. Dengan dana desa yang mampu membuat ngiler para kades, bisa saja usulan ini justru merupakan strategi barter agar kades mau dimobilisasi untuk membantu melanggengkan jabatan lain di tingkat pusat, misalnya, presiden.

Kecurigaan tersebut bukan tak berdasar. Meski pihak kades sempat membantah keterkaitan tersebut, nyatanya pernah ada gerakan mobilisasi kepala desa yang mendukung wacana tiga periode Presiden Joko Widodo pada Maret tahun lalu. Jika skenario tersebut betul terjadi, tentu ini merupakan jalan mundur demokrasi di negeri ini.

“Sejarah berulang menuju barbarisme”, tulis David Brooks, kolumnis The New York Times, ketika meninjau situasi demokrasi dunia saat ini. Brooks menilai keadaan saat ini sebagai “Abad yang Gelap”. Indonesia pernah berada di masa-masa kelam otoritarianisme hingga reformasi pecah dan demokrasi di negeri ini kembali mendapat harapan untuk bersinar. Namun, sinar itu tak dijamin benderang terus-menerus. Perlu usaha agar negeri ini tak kembali terjebak sejarah kelam.

Memelihara demokrasi, menurut Brooks, layaknya menanam bibit tumbuhan. Ia perlu dipelihara, dicabut rumput liarnya, diberi pupuk, dan disiram agar terus tumbuh. Sebab, demokrasi bukan sesuatu yang alami terjadi. Sayangnya, beragam manuver elit politik yang berkuasa justru membuat demokrasi meredup. Alih-alih memelihara demokrasi dan menghormati konstitusi, mereka justru menghalalkan segala cara agar mampu terus berkuasa dan mengulur jabatan.

Kuasa bisa sangat menggiurkan dan mengundang tendensi untuk berkhianat. Aturan—yang sejatinya mengatur dan diatur oleh penguasa untuk menjalankan jabatan dengan amanah dan membawa keadilan, justru mereka rekayasa dan langgar sendiri.

Mengapa pembuat aturan justru mengakali aturannya sendiri? Ngaire Woods dalam majalah Foreign Affairs edisi Juli/Agustus 2022 menawarkan jawaban lewat tulisannya yang berjudul What The Mighty Miss. Menurut Woods, secara psikologis, orang yang memiliki kuasa cenderung “melanggar aturan yang mereka buat sendiri dan mereka akhirnya mendapat keuntungan sebab mereka pikir mereka bisa (melakukannya)”. Ini membuat pemegang kekuasaan gelap mata; kehilangan empati dan kemampuan mendengarkan saran. “Seperti halnya kekuasaan membuat para penguasa berpikir mereka lebih kuat dibanding mereka sesungguhnya, juga mampu, mengisolasi mereka dan mendorong mereka untuk tak mendengarkan orang lain,” tulis Woods.

Saat ini, tak perlu lagi memobilisasi angkatan bersenjata untuk menunjukkan kuasa yang otoriter. Dalam negara di mana sistem demokrasinya terus berjalan dan terlihat normal, sikap otoritarian penguasa berubah bentuk menjadi serangan digital pada oposisi, pembungkaman hak bersuara, pengabaian aturan konstitusi, mobilisasi pendengung, hingga permainan politik dagang sapi. Ilmuwan politik Steven Levitsky dan Lucan Way mendeskripsikan negeri dengan ambivalensi semacam itu dengan sebutan competitive authoritarian regime.

Itulah mengapa manuver para elit politik—mulai dari tuntutan masa jabat kades hingga wacana penguluran masa kuasa presiden—perlu terus kita awasi dan curigai. Sebab, bukan mustahil tuntutan dan wacana tersebut berhasil lolos dan berakhir membuat demokrasi di negeri ini kembali mogok.

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden, misalnya, meski terlihat seperti mendayung sampan menyeberangi celah sempit, terus berjalan diam-diam. Berbagai wacana seperti penundaan Pemilu 2024 mendatang hingga rencana amandemen UUD 1945 santer terdengar. Bahkan, beberapa politikus istana memberi dukungan dan menegaskan bahwa beragam gagasan tersebut tidak melanggar hukum. Tak selayaknya wacana ini datang dan digaungkan terus-menerus oleh elit politik pusat. Sekali rencana ini berhasil lolos, pintu gerbang menuju otoritarianisme kian terbuka.

Baca juga:

Presiden Jokowi memang sempat menegaskan tak berminat kembali berkuasa, tapi ia juga tak pernah secara tegas menolak usulan ini. Sikap bersayap tersebut dikhawatirkan menjadi manuver bagi pendukung-pendukung wacana tersebut untuk terus bergerilya. Seakan-akan terencana, wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini bisa tiba-tiba muncul-tenggelam, seakan-akan memang benar sekadar wacana dan sulit untuk bisa diwujudkan.

Namun, dalam situasi ketika demokrasi bertarung dengan hasrat otoritarian, sebagaimana kolumnis politik Charles Krauthammer menyebut dalam esai The Authoritarian Temptation, “the unimaginable often becomes imaginable.”

Layaknya ranging dalam berburu burung, para elit politik ini melakukan manuver-manuver halus yang dirasa jauh dari sasaran. Tiap wacana dan tuntutan disengaja terasa bagai peluru-peluru yang jauh dari target. Namun, ketika kita lengah dan berhenti mengawal, mereka mengeker kuasa pada jarak tembak yang akurat. Sekali target buruan terkunci dan moncong senjata terarah tepat, hanya perlu peluru terakhir untuk melanggengkan kuasa.

 

Editor: Emma Amelia

Mochammad Fajar Nur
Mochammad Fajar Nur Pekerja media yang gemar isu-isu kebudayaan dan humaniora. Kadang-kadang menulis, seringnya membaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email