Bagi banyak orang, meraih titik tertinggi karir secara wajar dan sah menuntut kerja berat. Tapi bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) agaknya ada yang lebih sulit, yakni mengakhiri jabatan dari puncak karir secara elok.
Di awal karir politiknya, Jokowi kebanjiran dukungan berlimpah. Rejeki itu selayaknya dipahami sebagai hadiah ketimbang hasil usahanya sendiri. Betapa jauh nasib Jokowi dari banyak politikus lain: demi merebut jabatan, mereka siap mengorbankan apa pun, termasuk dana raksasa, harga diri, hingga mengkhianati rekan sekubu.
Kita masih ingat, Sebelum sukses dalam pilpres 2024, Prabowo berupaya berkali-kali, tetapi ia berkali-kali gagal. Berbagai siasat sudah dicoba Anies Baswedan, belum juga ada hasilnya. Dulu Sukarno terseret dalam perang revolusi sebelum jadi presiden. Sebelum naik tahta, Suharto merestui jika bukan mendorong, terjadinya banjir darah saudara sebangsanya.
Tanpa usaha jungkir-balik seperti mereka, Jokowi terpilih sebagai presiden. Ia mujur. Dalam dua pemilihan umum terdahulu (2014, 2019) ia menerima limpahan suara mereka yang takut jika saingannya (Prabowo Subianto) menang. Sungguh ironis, Jokowi sendiri tahun 2024 yang mendorong suksesnya Prabowo menjadi RI-1.
Ironisnya lagi, kini Jokowi menjadi tokoh yang paling banyak dicaci, termasuk oleh mantan pendukungnya sendiri. Mungkin pendukung Jokowi masih sangat banyak. Bahkan mungkin lebih banyak ketimbang pendukung politikus lain. Tapi yang kecewa jumlahnya membengkak terus dan suara mereka semakin galak.
Mungkin tidak semua kritik dan cacian terhadapnya tepat. Seperti juga mungkin tidak semua pujian di awal karirnya tepat. Ketika ia dipuja, berbagai hal yang bagus di negeri ini oleh pendukungnya dianggap sebagai jasa beliau. Ketika ia mengecewakan, dia dipersalahkan beramai-ramai atas berbagai perkara yang kurang baik di negeri ini. Terlepas dari semua itu, tidak berlebihan jika dikatakan Jokowi telah gagal merawat dengan baik dukungan yang pernah dihadiahkan kepadanya.
Apa yang dihadapi Jokowi juga dialami banyak politikus lain. Presiden AS Joe Biden juga merasakan kesulitan mundur sebagai calon presiden Partai Demokrat dalam pemilihan umum Amerika Serikat (November 2024). Setelah didesak rekan sekubu dan kewalahan menghadapi saingannya Donald Trump, akhirnya ia mundur dengan berat hati.
Walau tertunda, keputusan Biden belum terlambat. Berbagai pihak memuji Biden mengutamakan partainya ketimbang ego sendiri. Kini partainya lebih berpeluang menang dalam pemilihan umum. Seandainya Biden ngotot bertahan lalu kalah pemilihan umum, bukan hanya prestasinya berpuluh tahun hancur. Ia juga akan dikecam rekan separtai.
Lee Kuan Yew (1923-2015) mundur dari karirnya pada saat yang tepat. Sebagai perdana menteri Singapura (1965-1990), Lee berkuasa dengan tangan besi seorang diktator. Masa itu diktator dan militerisme marak di mana-mana. Indonesia jatuh ke lembah otoriterisme di bawah rezim militer Orde Baru (1967-1998), pimpinan Jendral Suharto (1921-2008). Filipina diperintah diktator sipil Presiden Ferdinand Marcos (1917-1989) yang memberlakukan Undang-undang Darurat Perang sejak 1972.
Bertahun-tahun Lee berkuasa tanpa oposisi atau saingan. Begitu pula Suharto dan Marcos. Tapi berbeda dari Suharto dan Marcos, Lee cerdik memilih turun dari tahta di saat masih berjaya. Sesudah mundur, ia menikmati penghormatan berlanjut dari mayoritas warganya. Suharto dan Marcos ambruk sambil diterpa badai caci maki rakyatnya dan ditinggalkan pendukung internasional mereka.
Lee mengakhiri karir lebih awal dan berusia lebih panjang daripada Suharto dan Marcos. Lee menikmati masa pensiun 25 tahun, jauh lebih panjang dan lebih dimuliakan ketimbang masa pensiun Suharto (10 tahun) yang dilengserkan secara tidak terhormat. Apalagi masa pensiun Marcos (3 tahun) yang hidup menderita sebagai pelarian politik.
Presiden Sukarno (1901-1970) juga kesulitan mengakhiri karir politik dengan elok. Ia terpaksa turun dari tahta (1966), ketika sudah tak berdaya di hadapan tentara RI. Ia menghabiskan sisa hidupnya sakit-sakitan sebagai tahanan rumah.
Tidak banyak orang bermental sekuat Lee atau Biden. Tapi Indonesia punya beberapa. Mohammad Hatta (1902-1980) sadar saat yang terbaik (Desember 1956) untuk mundur dari jabatan sebagai wakil presiden mendampingi Sukarno. Begitu pula Sultan Hamengkubowo IX (1912-1988) yang menolak dicalonkan ulang (Maret 1978) sebagai wakil presiden untuk mendampingi Suharto.
Seperti Sukarno mau pun Suharto, Jokowi berkuasa tanpa saingan politikus yang menandingi popularitasnya. Maka posisinya sangat aman dan nyaman. Tapi posisi begitu membuat ego mereka membengkak besar berbisul. Popularitas berlimpah yang tersedia bukannya dihargai, dijaga, dipelihara dan diolah jadi modal untuk mengakhiri jabatan secara elok. Modal itu disepelekan dan disia-siakan. Akibatnya sungguh tragis.
Karir dan pensiun jadi urusan semua orang di semua bidang. Bukan hanya politikus elite. Musik, pesta atau novel sebagus apa pun harus ada akhirnya. Begitu juga karir. Seindah apa pun awalnya, semua keindahan itu berantakan jika berakhir buruk atau terputus mendadak.
Baca juga:
Mengapa banyak orang kesulitan mengakhiri jabatan? Jawabnya pasti banyak dan beraneka untuk orang berbeda-beda. Sebagian menunda pensiun, karena tidak rela melepas status juga imbalan dan hak istimewa yang menyertai status itu. Mereka lupa atau menyangkal semua ada batas waktunya.
Sebagian lain belum puas dengan prestasi yang ada dan mengejar ambisi lebih tinggi. Batas kekuatan yang tersisa diabaikan. Yang lain bukan tak mau tapi takut pensiun. Mereka tidak tahu pensiun bisa indah dan membahagiakan.
Banyak tips dalam buku, talk show atau seminar tentang meniti karir. Bukan bagaimana mengakhiri karir dengan elok. Mengapa? Apakah karena memacu produktivitas tenaga kerja secara maksimal menguntungkan sistem kapitalisme yang sedang merajalela. Soal pensiunan berbahagia atau menderita, tidak dipedulikan dalam kapitalisme. Itu dianggap urusan pribadi.
Banyak orang belajar membina karir setinggi mungkin. Tapi tak banyak yang merasa perlu belajar bersiap mengakhiri karir di waktu yang tepat dengan bekal secukupnya. Waktu tepat dan bekal yang cukup itu relatif dan berbeda-beda untuk setiap orang. Jika dipersiapkan matang, masa pensiun bisa seindah atau lebih indah ketimbang saat berada di puncak karir.
Waktu terindah dalam sehari biasanya bukan tengah hari dengan terik matahari di atas ubun-ubun, tapi menjelang matahari terbenam. Bumi dan cakrawala berpesta sejuta warna. Tapi keindahan itu tidak berlangsung selamanya. Banyak yang menyia-nyiakan saat itu atau baru sadar sesudah senja berlalu. Lalu yang tersisa hanya gelapnya malam, sebelum mereka merebahkan diri dan menutup mata. (*)
Editor: Kukuh Basuki