Pemilu sudah di pelupuk mata. Mesin partai sudah dipanasi sejak jauh-jauh hari untuk memastikan kemenangan. Namun, ternyata teknologi serba digital masih kurang dimanfaatkan oleh para kontestan untuk berkampanye secara murah dan efisien.
Dari caleg, parpol, hingga capres, kebanyakan masih berlomba-lomba menyampah baliho di jalan-jalan ketimbang melakukan kampanye secara cerdas di media sosial. Padahal, dari segi biaya, kampanye di platform digital lebih ekonomis ketimbang pasang baliho. Tidak lupa, pada baliho terpampang jargon pendek yang tidak bisa ditagih karena sedari awal tak jelas maksudnya. Padahal, pemilu adalah pertarungan ide dan gagasan. Hanya lewat pemikirannyalah kontestan bisa diuji kesiap-sanggupannya menjadi pejabat publik.
Baliho hanya interaksi satu arah, praktik kampanye malas. Pemilu yang demokratis membutuhkan banyak mimbar percakapan, perdebatan, silang pikiran, adu gagasan demi menghasilkan pemimpin yang ideal. Menurunkan kadar demokrasi dengan menolak ajakan debat antar kontestan adalah sebuah kemunafikan.
Pendangkalan Pemilu
Pemilihan langsung, mulai dari verifikasi partai politik hingga hari pemungutan suara, sangat menguras sumber daya. Sangat disayangkan bila pengorbanan sebesar itu hanya dilewati dengan cara kampanye yang dangkal. Riuh ruang publik selama ini hanya terasa diisi oleh gimmick politik yang tidak merangsang warga untuk berpikir kritis seperti gemoy dan joget-joget tanpa makna.
Pola kampanye usang seperti blusukan untuk bagi-bagi sembako juga masih dipertahankan. Padahal, blusukan ini salah satu metode kampanye yang butuh biaya mahal karena menggunakan materi sebagai amunisi utama, bukan pikiran. Yang sudah-sudah, kampanye berbiaya tinggi seperti ini adalah faktor utama maraknya perilaku koruptif yang berlanjut hingga si calon berhasil menjabat. Namun, mengapa bangsa ini tidak pernah belajar dari pengalaman berulang itu?
Sementara itu, kampanye yang mengadu ide dan gagasan lebih berorientasi jangka panjang, lain dari asal menang dan bagaimana menggarong anggaran negara setelahnya. Kampanye adu ide memungkinkan masyarakat menilai kapasitas dan kapabilitas seorang calon pemimpin, serta membuat kontrak dan mengulik janji untuk dituntut realisasinya nanti.
Belajar dari para pendiri bangsa, mereka semua adalah orang-orang konsisten yang mempertahankan kemerdekaan dengan senjata yang bernama pikiran. Sukarno, Hatta, Sjahrir, hingga Agus Salim ialah pedagog yang mengajarkan arti penting pergulatan ide. Mereka bukan sosok yang bergelimpangan harta, juga bukan orang yang mendewakan takhta.
Para pionir bangsa ini mengajarkan saktinya kekuatan pikiran. Saat mereka hadir di forum dunia untuk membela bangsa Indonesia, mereka membawa sejuta ide di kepala dan menghasilkan solusi-solusi dari sana. Mengapa kini para “pemimpin” seolah alergi berpikir?
Pemikiran pemimpin akan berbuah ide yang menetap selamanya, sedangkan sembako hanya mampir sesaat lalu hilang tanpa sempat bikin kenyang. Ide akan membekas, berjejak, dan terkenang setiap saat, sedangkan gimmick hanya riuh sesaat dan akan segera terganti oleh hal viral lain. Mengapa para “pemimpin” yang alergi berpikir itu bisa begitu pongah menilai rakyat, khususnya kelas bawah, merasa cukup hanya dengan sembako dan gimmick?
Salah satu capres bahkan membenarkan bahwa dirinya hanya mengikuti acara debat bila penyelenggara debat itu KPU. Sikap ini sangat berseberangan dengan demokrasi yang menuntut agar pemilu diadakan beriringan dengan adu ide dan gagasan di mana saja, kapan saja, tak pandang siapa penyelenggaranya. Pemilu yang demokratis hanya akan terwujud salah satunya apabila masing-masing calon menjadikan perdebatan sebagai arena pertandingan. Selama itu belum terjadi, maka pemilu hanyalah formalitas, tak mungkin bisa mendorong terciptanya demokrasi yang substansial.
Baca juga:
Demokrasi pemilu harus dikembalikan ke tempat asalnya, tempat pikiran bisa diolah dan diperdebatkan. Bangsa ini harus diasuh dan ditumbuhkan oleh ide, sesuai pakem pendiri bangsa yang gandrung berpikir. Kemacetan demokrasi belakangan tak lain disebabkan oleh ketiadaan pikiran yang punya peran sebagai benteng demokrasi itu sendiri.
Apabila demokrasi elektoral saja masih didominasi dengan baliho dan sembako, maka ke depan tidak akan ada mutu demokrasi karena pemimpin yang dihasilkan adalah sosok yang tidak diuji lewat pertarungan ide. Pemimpin Indonesia harus memiliki pandangan yang luas dan visioner. Condition sine qua non.
Mari, rayakan pemilu tahun ini dengan kompetisi pikiran, bukan kompetisi gimmick dan sentimen tak berdasar.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Mencari Pemimpin yang Berpikir”