Bisa membayangkan hidup tanpa WhatsApp, Facebook atau Instagram? Minggu ini kita semua merasakannya.
Hanya enam jam saja tapi dunia bisa merasakan betapa tergantungnya kita pada ketiga media sosial ini. Bagi yang melakukan bisnis dengan ketiga media sosial ini mereka merasakan betapa merugikannya terputus dengan rekanan bisnis, konsumen dan pasar. Banyak orang sudah mengeluh bagaimana mereka kehilangan jutaan rupiah bahkan miliaran rupiah karena terputusnya mereka dari media-media sosial ini.
Bahkan untuk orang yang tak menggunakan Facebook, Instagram dan WhatsApp untuk bisnis, kehilangan ketiganya rasanya seperti ada secuil bagian penting dari hidup yang tiba-tiba raib, membuat banyak orang merasa hidup dalam kehampaan yang menggelisahkan.
Perasaan kecewa ketika membuka aplikasi Instagram hanya untuk mendapati layar putih yang tidak memuat apa-apa atau perasaan jengkel ketika tidak dapat melakukan pekerjaan lewat WhatsApp barangkali ekuivalen dengan rasa pahit yang membayangi mulut seorang perokok saat rokoknya habis.
Kejadian yang cuma sebentar itu lantas membuat kita sadar betapa kita telah dibuat tergantung – bahkan kecanduan media sosial.
Tidak ada penjelasan yang memuaskan kenapa hilangnya koneksi ini bisa terjadi. Kita tidak akan pernah tahu alasan sebenarnya. Ada dugaan bahwa insiden ini merupakan peringatan dari Mark Zuckerberg, pemilik Facebook, Instagram, dan WhatsApp, bagi dunia bahwa setidaknya 2 miliar penduduk dunia tidak dapat hidup tanpa mereka.
Dugaan ini muncul karena gangguan tiga media sosial ini terjadi tepat di tengah-tengah badai gugatan terhadap Facebook. Badai ini dimulai dari bocornya dokumen-dokumen rahasia Facebook ke media yang kemudian diketahui dilakukan oleh mantan pegawainya sendiri, Frances Haugen.
Dokumen-dokumen inilah yang menjadi dasar dari rangkaian investigasi bertajuk “the facebook files” yang diprakarsai oleh Wall Street Journal yang menunjukkan bahwa Facebook sejatinya telah mengetahui produk-produknya menimbulkan adiksi. Selain itu, masih ada dampak lain dari penggunaan media sosial besutan Facebook seperti perburukan kesehatan mental pada pengguna berusia muda lantaran mengonsumsi konten-konten bernuansa pamer kekayaan dan standar kecantikan, serta obsesi akan jumlah umpan balik dan pengikut di media sosial.
Facebook secara sadar tidak berbuat apa-apa untuk mempertanggungjawabkannya dan justru mengupayakan segala cara untuk membantah dugaan-dugaan tersebut, utamanya melalui riset yang dimanipulasi.
Sikap Facebook ini mirip dengan industri-industri besar seperti Big Tobacco dan Big Food yang dengan sengaja menutupi segudang problem pada proses produksi, distribusi, hingga konsumsi produknya untuk mempertahankan dan menarik lebih banyak basis konsumen.
Adiksi yang Meracuni
Obrolan saya dengan beberapa mahasiswa memberi sudut pandang dengan konteks yang lebih sesuai dengan anak muda Indonesia saat ini serta membuktikan bahwa mereka memang sangat tergantung dengan WhatsApp, Instagram dan Facebook. Mereka juga mengaku terpengaruh secara psikologis selama aktif menggunakan ketiga media sosial ini.
Sebut saja Ryn dan Pakbhe, dua mahasiswa yang berbicara tentang kesan dan dampak yang mereka rasakan dari penggunaan beberapa media sosial yang dimiliki oleh Facebook. Mereka sepakat bahwa penggunaan media sosial, khususnya Instagram, memengaruhi diri dan kesehatan mental mereka.
Namun, alih-alih terpengaruh oleh konten pamer kekayaan dan standar kecantikan ataupun jumlah umpan balik dan pengikut, Ryn dan Pakbhe lebih merasa terpengaruh oleh konten-konten produktivitas. Menurut Ryn, mengonsumsi konten-konten bertema produktivitas di Instagram membuatnya merasa minder dengan progres dan pencapaiannya.
Menurut Pakbhe, konten-konten serupa membuatnya terpikir tentang masa depan, serta menginternalisasi hustle culture atau tren mengejar sebanyak-banyaknya pencapaian tanpa memedulikan kemaslahatan diri sendiri. Meskipun begitu, Ryn dan Pakbhe tetap aktif menggunakan Instagram karena media sosial tersebut menjadi salah satu sumber hiburan utama mereka.
Selain Instagram, Ryn dan Pakbhe juga aktif menggunakan media sosial WhatsApp. Selain untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga, mereka menggunakan WhatsApp sebagai sarana kuliah dan bekerja secara daring.
Belakangan, Ryn merasa tidak nyaman, bahkan ketakutan tiap kali mendengar notifikasi pesan masuk di WhatsApp. Ketakutan Ryn bukan tanpa alasan. Setumpuk tugas kuliah dan tanggung jawab di organisasi dan kepanitiaan yang diikutinya telah menunggu untuk dibaca dan ditanggapi di ruang-ruang obrolan pada aplikasi WhatsApp yang terpasang di ponselnya.
Premis “fleksibilitas” pada kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan secara daring membuat WhatsApp Ryn dibanjiri urusan perkuliahan dan ekstrakurikuler tanpa henti, bahkan pada waktu istirahat dan akhir pekan sekalipun.
Gangguan pada Facebook, Instagram dan WhatsApp awal minggu ini sangat membuat Ryn panik. Ia tidak bisa mengakses materi perkuliahan di WhatsApp yang hendak ia pelajari untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian tengah semester. Ryn juga merasa bosan karena tidak bisa mengakses Instagram sekadar untuk mencari hiburan di sela-sela waktu belajar.
Sementara itu, Pakbhe menanggapi kejadian tempo hari dengan lebih santai. Katanya, “emang terkadang manusia harus terpisah dari teknologi, sih.”