Kala mengerjakan tesis yang tak kunjung selesai, Malinoa kerap menjadi bagian playlist musik saya. Rima empuk sekaligus menusuk terkadang cukup untuk mengalihkan fokus: antara melanjutkan perang dengan tugas akhir atau memerhatikan kelindan wacana di barisan lirik. Rasanya, sajian kepadatan diksi tak boleh terlewatkan sekalipun hanya satu saja.
Melalui album 13 Years of Change (2022), Malinoa berupaya mereproduksi peristiwa dalam hidupnya sejak tahun 2008 dalam bentuk musik. Yang dikatakan olehnya sebagai pelunturan ego untuk sesuatu yang “enak” sepertinya sudah terbayar lunas oleh kehadiran album tersebut.
Saya baru sekali menonton penampilan Malinoa secara langsung di sebuah acara di Pamedan Pura Mangkunegaran akhir Agustus lalu. Pertunjukan tersebut mewarnai obrolan saya bersama kawan selama perjalanan pulang dari Solo sampai Mojogedang. “Kenapa kita baru sekarang menontonnya?” ucap kawan saya dalam bahasa Jawa, terdengar seperti keluhan tetapi juga seperti pertanyaan. Karena sulit menemukan jawaban yang tepat, saya akhirnya hanya mengiakan pernyataan itu.
Sampailah kami di warung nasi goreng. Di situlah rasan-rasan berlanjut. Kawan saya membahas persoalan musikalitas yang saya tak begitu tahu. Saya meresponsnya dengan pengalaman di Mangkunegaran serta pembacaan tipis ketika mendengar Malinoa di kamar sempit saya.
Malam itu, orang-orang di depan panggung seperti kesurupan. Ada yang berteriak lantang, berjingkrak, bermain crowd surfing, bahkan ada pula yang menari seakan menikmati alunan musik dangdut. Area kosong pemisah antara panggung dan penonton duduk tiba-tiba penuh begitu saja. Semuanya berbaur, menikmati suguhan khas Solo serupa teh manda: Malinoa & the dogpack. Kian berlanjut, penonton duduk semakin mengikis.
Seraya menikmati dari kejauhan—di belakang jajaran kursi, hanya nggumun kiranya memenuhi kepala saya. Aksi panggung yes-yes-yo Malinoa dan kawanan terlihat sangat elegan bersanding dengan tempat gelaran yang telah berdiri ratusan tahun dan merekam begitu banyak peristiwa sejarah kerajaan Mataram hingga Republik.
Irisan emosional antara penampil dan penonton sama sekali tidak terasa berjarak. Kehangatan tersebut lantas membuka jembatan yang memungkinkan siapa saja bisa bebas menikmatinya. Ketika mengedarkan pandang kepada orang-orang di sekitar saya, mereka fokus melihat ke arah panggung. Tak banyak jeda untuk Malinoa cuap-cuap, ia dan kawanan terus menggeber panggung hingga selesai.
Singkat kata, presentasi mereka berhasil meraup perhatian. Hanya pada lagu Alpha ia berceloteh sedikit panjang bahwa lagu tersebut ia persembahkan kepada sang istri—meski akhirnya upayanya untuk mendapat pelukan tak berbalas. Kejadian itu justru menandai keromantisan di antara mereka tanpa dibuat-buat.
Begitu padatnya diksi bukanlah persoalan. Bersama bunyi alat musik dan sajian visual, bahasa bekerja sedemikian rupa dalam mengantarkan pengertian. Daya pragmatik di balik ketiganya membentuk ikatan menarik nan teatris, cukup padan dengan keintiman yang terjadi di halaman Pura Mangkunegaran.
Kerja Rima di Album Pertama
Secara garis besar, pertautan antara topik keluarga, dinamika hidup, persoalan ekologi, dan ketidakadilan memayungi album 13 Years of Change. Pikiran liar saya menduga keberadaan delapan lagu yang ada tidak hanya rekaman peristiwa hidup Malinoa, tetapi juga pandangannya terhadap hal-hal privat dan persoalan sosial.
Andai hanya didengar sekilas, mungkin konteks tersebut urung terasa. Pada platform penyedia musik digital, lirik tidak tersedia. Seolah-olah, pendengar diajak mengulang masa kejayaan radio—mesti saksama memerhatikan. Strategi ini cukup asyik untuk mengetahui selarasnya permainan rima, wacana, dan, tentu saja, anggukan kepala mengikuti beat.
Mungkin, sering terdengar seorang musisi mengatakan “album ini menggambarkan keadaan…”, “saya ingin mengajak pendengar untuk…”, “album ini mewakili…”, “saya ingin menjadi diri…”, dan lainnya. Apakah perkataan itu salah? Tentu saja tidak. Semua kembali kepada kebebasan berkarya masing-masing. Namun, apa yang disebut Malinoa sebagai sesuatu yang “enak” cukuplah menggambarkan kesederhanaan harapannya—dalam arti luas, pun upaya reproduksi peristiwa dalam hidupnya seakan menegasikan fase betapa dinamisnya pemahaman dan dimensi pandang seseorang.
Meskipun begitu, bukan berarti ketika mendengarkan Malinoa harus membaca rilis 13 Years of Change. Kini, sudah tak zaman medan perang pengotakan suatu genre. Seseorang tak perlu khawatir mendengar hip hop, lalu mendapat justifikasi minor dari penikmat genre lain. Dengan begitu, mungkin saja seseorang akan menangis, merasa terwakili, atau bahkan menggerakkan kaki berangkat aksi. Sebab, cakupan wacana lagu-lagu di album ini dapat berdiri sendiri meski Malinoa menyebutnya sebagai urutan kejadian.
Penggambaran lirik-liriknya yang naratif serupa mendengar seseorang sedang bercerita. Bangunan setiap lagu sangat dekat dengan pola membaca buku kumpulan cerpen: urut dari halaman awal atau dipilih sesuai judul yang eye catching. Cara ini menciptakan keterbacaan wacana yang semakin heterogen. Terlebih, setiap lagu pada album ini beririsan dengan waktu.
Tulisan lain oleh Rudi Agus Hartanto:
Saya samar-samar teringat pernyataan kawan saya sewaktu nasi gorengnya hampir habis bahwa musikalitas Malinoa sangatlah elegan. Meskipun begitu, saya tak begitu ingat indikator yang disebutkannya karena berhubungan dengan gitar, keyboard, bass, drum, dan alat-alat lainnya. Saya menyepakati pernyataan kawan saya tanpa melibatkan indikatornya—entah mengapa, saya cukup sulit menangkap hal-hal seperti ini, dialah yang sering merekomendasikan untuk mendengar ini-itu dan, untung saja, dia jarang sekali mengecewakan.
Alih-alih menyesal, saya justru merasa beruntung mendapat rekomendasi untuk mendengarkan Malinoa. Lagu-lagu Malinoa memberikan angin segar bagi referensi musik saya yang terlampau sempit. Saya pun mempunyai tambahan bahan rasan-rasan dan rebutan memutar lagu dengan kawan di tongkrongan. Tak boleh luput, lagu-lagu Malinoa juga menjadi penambah keberanian untuk bertemu pembimbing tesis yang menguras adrenalin.
Editor: Emma Amelia