Putra daerah Mojogedang.

Mengupas Kebernasan Luwarta

Rudi Agus Hartanto

3 min read

Narasi perihal kemajuan erat kaitannya dengan kekuasaan. Kacamata sejarah telah berupaya mengupas peristiwa, situasi, dan kondisi dalam rentang waktu tertentu. Tidak selamanya hanya kekuasaan yang mampu memproduksi narasi tersebut. Apa yang dimaksud kekuasaan dengan kemajuan—penghadiran regulasi, pembangunan fisik, dan lainnya—kerap mendapat rekognisi dari ruang lain.

Bahasa lantas menjelma menjadi medan tempur dalam penyampaian gagasan. Pragmatisme kekuasaan yang tergambar pada pidato, ceramah, dan produk hukum akan dikupas dengan berbagai bentuk di sisi lain. Demonstrasi, kajian banding, maupun karya seni—atau wujud lain—muncul sebagai respons emosional yang mewakili psikis dan sosiologis suatu masyarakat.

Baca juga:

Luwarta, melalui perilisan video lirik Barisan Pembangkang (2023) menawarkan konstruksi pengetahuan dalam tiga konteks waktu: masa lalu, kini, dan masa depan. Selamat Datang di Barisan Pembangkang milik The Obstinate (2012) digubah Luwarta menggunakan pendekatan intertekstual dan reinterpretasi. Kedua pendekatan menempatkan lirik gubahan Luwarta cenderung lebih naratif dibanding versi The Obstinate.

Tiga baris lirik versi The Obstinate dibagi menjadi tiga bagian oleh Luwarta. Adapun pada bagian pertama Luwarta menyorot proses industrialisasi atas perkawinan antara lembaga kekuasaan dan industri kapital (baca: oligarki). Perbandingan antara industri kapital, narasi kedamaian, dan pencitraan di media dikontraskan oleh Luwarta dengan narasi perlawanan individual atau hasil pengorganisasian dalam masyarakat komunal.

Bagian yang sebelumnya disebut reff oleh The Obstinate coba dinarasikan ulang Luwarta dengan menunjukkan sisi historis yang kuat. Kehadiran diksi “masa” menunjukkan bahwa terdapat pandangan historis yang coba ditawarkan. Sementara itu, diksi “Abul Hayat” muncul sebagai tokoh alter ego pranala sejarah.

Konteks Abul Hayat yang coba dihadirkan Luwarta sejalan dengan sejarah perlawanan yang dilakukan Muslim India di Kota Bengal. Ketidakadilan yang diterima Muslim India atas perlakuan masyarakat Hindu radikal dan pemerintah kolonial menghadirkan kesadaran untuk melakukan resistensi. Ekses perlawanan itu sekaligus titik awal wacana pembentukan nasionalisme India melalui jalur demonstrasi dan organisasi di tengah cengkeraman kolonialisme.

Teks lirik Barisan Pembangkang hasil gubahan Luwarta atas versi The Obstinate (baris ketiga) semakin menebalkan kritik yang telah dibangun sebelumnya. Kritik pada bagian ini sangat tajam, tepat tertuju kepada pemangku kebijakan kala menyikapi suatu gerakan masyarakat atau pola institusi keamanan dalam pengendalian massa.

Selain itu, Luwarta juga mendedah kehadiran regulasi yang tidak berpihak kepada masyarakat (misalnya: UU Cipta Kerja, UU KUHP, dan UU KPK). Catatan besar itu diberikan Luwarta melalui Barisan Pembangkang kepada segala hal yang ditentukan oleh pemangku kebijakan, baik pola standarisasi kehidupan maupun kapitalisasi sumber daya.

Bahasa Diskursif

Wacana muncul karena adanya hegemoni yang diciptakan kekuasaan. Hegemoni tidak hanya bekerja sebagai dominasi, namun juga makna yang dilahirkan oleh proses negosiasi yang mengakibatkan lahirnya suatu konsensus. Konteks tersebut menjadikan bahasa berperan sebagai produsen sekaligus penyampai wacana. Tentu saja wacana mesti disadari penerima dan penggunanya—pendengar.

Barisan Pembangkang mewacanakan kepada pendengar agar menjaga nalar kritisnya. Kedudukan bahasa yang ditawarkan Luwarta tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi menuntut supaya diselami secara logis berdasarkan pengetahuan—kognitif maupun empiris. Dengan begitu, diperlukan teks pendamping—kamus, karya sastra, literatur sejarah—dengan dukungan pengalaman empiris untuk menangkap maksud sebenarnya.

Penitipan wacana dengan cara diskursif menunjukkan keseriusan Luwarta menggarap lagu ini. Andai saja boleh memberikan sematan lain, teks yang tersaji sebagai lirik bahkan dapat berdiri sendiri sebagai puisi atau teks orasi. Barisan Pembangkang pada titik tertentu tidak hanya sekadar layak “dinikmati” sebagai lagu, tetapi juga pengingat bahwa sedang terdapat sesuatu yang tidak beres dalam sistem kehidupan sosial.

Para pemikir bahasa kritis melihat bahwa bahasa diskursif—dalam konteks ini, lirik lagu—merupakan wujud praktik sosial. Artinya, Luwarta telah melakukan praktik yang mengakomodasi kepentingan masyarakat menengah ke bawah yang sebenarnya sedang berada di bawah narasi semu kekuasaan.

Wacana Barisan Pembangkang mau tidak mau harus berhadapan langsung dengan tembok megah kekuasaan. Bahasa diskursif yang diciptakan Luwarta sedang memberikan selayang pandang kepada pendengar sebelum mereka menentukan sikap maupun tindakan.

Meski begitu, yang menjadi pertanyaan setelah itu adalah apakah Barisan Pembangkang mampu menyentuh nurani sepenuhnya? Sementara karya tersebut dihadapkan pada situasi di mana pelajaran dari masa lalu enggan dipelajari—atau sengaja ditutupi? Rasanya perlu refleksi panjang untuk menjawab hal itu.

Hakikat kehadiran suatu karya ialah dinikmati meski terdengar utopis. Tugas sedang diemban Barisan Pembangkang untuk merekam zaman, entah pengingat atau pendorong dalam melihat keadaan yang terlampau kritis.

Simbol Zaman dan Jalanan

Kehadiran beberapa simbol seperti kaset pita dan televisi dalam video lirik Barisan Pembangkang seperti memperkuat diksi-diksi yang dipilih oleh Luwarta. Keduanya adalah simbol perjalanan zaman.

Sesuatu yang kontras terasa saat visual menunjukkan kepingan emas dan gawai—media pembangun citra. Dalam pemahaman universal, keduanya erat kaitannya dengan simbol yang lekat kekuasaan. Kemudian, secara beruntun disambut visualisasi stiker, tiang lampu kota jalanan penuh poster, videotron, baliho, proyektil peluru, dan rambu lalu lintas.

Video lirik Barisan Pembangkang mencoba membangun realitas aksi massa di lapangan tanpa mengurangi sesuatu pun. Kekuatan lirik yang bernas dengan visualisasi yang lugas memperkuat kedudukan bahwa zaman harus direkam, tentu saja, oleh siapa pun.

Kemunculan potret The Obstinate secara implisit menyiratkan pesan penghormatan Luwarta kepada pemilik lagu yang ia gubah. Sementara itu, Microphone dan Bendera Maladaptif Terror Crew adalah dua hal yang saling beriringan; sebagai alat untuk menyampaikan suara dan penanda bahwa menjadi penting bagi seseorang berkesadaran atas kerja-kerja  perkumpulan komunal.

Baca juga:

Teks orasi (bisa jadi puisi) yang terdengar di akhir lagu membuat wacana yang terbangun benar-benar kuat. Entah kepada siapa “ancaman” di bait terakhir ditujukan, senyatanya justru terdengar seperti seorang orator yang mengakhiri teriakannya kala mengakhiri aksi massa. Getaran yang mungkin akan terus membanal di sepanjang waktu. Andai saja suatu saat Barisan Pembangkang diputar di suatu tempat, bisa jadi di sekitarnya sedang terjadi sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh kacamata kemanusiaan.

 

Editor: Emma Amelia

Rudi Agus Hartanto
Rudi Agus Hartanto Putra daerah Mojogedang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email